Barry si Monyet Sombong
By: Mesya Naila Safa
Kelas:X IIS 3
Simba sang raja hutan sedang berbahagia, istrinya telah
melahirkan seorang pewaris takhta kerajaan hutan. Oleh karena itu Simba meminta
pengurus kerajaan mengadakan sebuah festival untuk merayakan kelahiran anaknya.
Selain itu Simba meminta diadakannya perlombaan yang bisa menjadi tontonan
rakyat.
Salah satu perlombaan yang dilombakan adalah perlombaan melompat
rintang. Kiki si kelinci, bertugas untuk merekrut para pesaing dalam perlombaan
ini. Dan Barry si monyet masuk dalam salah satu kandidatnya.
Kiki kelinci mendatangi kandidat-kandidat pesaing yang turut
akan memeriahkan perlombaan melompat kerajaan. Ketika Kiki kelinci menemui
Barry, Barry langsung menolak mentah-mentah. Dengan angkuh ia menyatakan bahwa
kehebatannya tak perlu diuji lagi, ia paling lihai dalam , itu sudah mutlak.
Tapi Kiki si Kelinci berkata, jika Barry tak ikut perlombaan ini,
siapapun yang akan memenangi perlombaan nanti lebih berhak mendapatkan gelar
juara melompat se-hutan karena sudah diakui oleh Simba sendiri. Dengan remeh
Barry menerima tawaran itu , dan mengejek Kiki karena tak percaya bahwa dia
akan memenangi perlombaan itu. Barry dikenal oleh para penduduk akan
keangkuhannya.
Sebelum Kiki pergi, Kiki memberikan selembaran tentang tantangan
yang akan peserta hadapi dalam perlombaan. Dan dengan mentah-mentah pula Barry
menolaknya.
Sebulan sebelum pertandingan, kandidat-kandidat lainnya sibuk
menyiapkan diri mereka untuk ajang perlombaan. Mereka bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan gelar yang mereka impikan. Berbeda dengan Barry, Barry
hanya bermalas-malasan di rumah. Dari 29 hari yang diberikan
untuk berlatih, baru sehari sebelum bertanding Barry menyiapakan dirinya.
Tiba saatnya perlombaan. Para penonton mulai berbondong-bondong
memadati pinggiran lintasan. Para kandidat juga sedang melakukan pemanasan
ringan, begitupula Barry. Para kandidat lain memandang Barry takut, takut kalah
bersaing dengannya.
Para pemain bersiap-siap di garis start. Wasit bersiap untuk
meniup peluit. Priittt, speluit berbunyi, para pemain berlari menuju rintangan
pertama. Barry juga langsung tancap gas. Barry dengan mudah mendahului para
peserta lainnya.
Rintangan pertama adalah melewati genangan lumpur hidup dengan
cara bergelayutan diatas pohon. Tidak semudah yang terpikir. Semua ranting yang
terlihat memang tampak seperti ranting pada umummya, tetapi ada beberapa yang
"menyamar" menjadi ranting. Seperti ular yang dicat menyerupai warna
ranting, atau ranting yang sebenarnya patah tetapi dibentuk sedemikian rupa
seperti ranting yang kuat.
Barry dengan semangat menghadapi rintangan pertama. Langsung ia
meraih ranting yang dia lihat pertama kali. Dan Barry pun jatuh. Jatuh? Barry
yang lihai dalam hal seperti ini jatuh? Ya ia terjatuh. Lumpur hidup
segera melahap
Barry. Cemoohan penonton santer terdengar. Barry sekuat tenaga
mencoba keluar dari sana. Tetapi hal itu sia-sia. Semakin ia meronta-ronta,
semakin kuat lumpur hidup menghisapnya. Barry ketakutan dan cemas minta
tolong dikeluarkan. Tim Medis Kerajaan datang menghampiri Barry, menariknya
keluar.
Barry tak habis pikir dia akan langsung kalah segera
setelah rintangan pertama dimulai. Dia sangat menyesal karena kesombongannya
itu. Keluar dari lumpur hidup, Barry lari terseok-seok keluar dari arena
pertandingan dengan menanggung rasa malu.
Kerja
Keras Membuahkan Hasil
By:
Luthfia Nur Alyssa
Kelas
:X IIS 3
Menjadi
orang yang berprestasi pasti menjadi dambaan setiap individu. Dengan prestasi, kita
bisa mendapatkan berbagai keuntungan. Sama halnya dengan Nindy yang sangat
ingin menuai prestasi dengan mengikuti lomba menyanyi tingkat nasional.
Diketahui, selama ini ia berkali-kali mengikuti lomba tetapi belum pernah
menjadi juara. Sampai-sampai teman-temannya meragukan dirinya untuk mengikuti
lomba. Teman-temannya bahkan rmeremehkannya.
Suatu
ketika, Nindy sedang berjalan menuju ruang musik untuk berlatih. Saat hampir
sampai di ruang musik, ia langsung disambut oleh celotehan-celotehan yang
meremehkannya,
“Hey
Nindy, sudahlah kamu nyerah aja, gausah ikut-ikut lomba lagi,”kata seorang
temannya.
“Iya
tuh bener, ngapain ikut, toh juga ga akan menang, cuma bikin malu
aja!hahaha”ejek Doni.
Dengan
perasaan tidak karuan, antara kesal dan sedih, ia memberanikan diri untuk
menjawab,
“Terserah
ya mau bilang apa, tapi setidaknya aku lebih berani mencoba daripada kalian
yang hanya bisa mengejek,”
Dua
temannya tadi hanya tertawa mendengar perkataan Nindy. Dalam hati Nindy, ia
bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa memenangkan lomba itu. Dia berjanji
akan terus berlatih dengan maksimal. Oh ya, Nindy adalah orang yang sangat
pekerja keras. Ia akan terus berusaha sampai hal yang ia inginkan tercapai.
Dengan keluarga yang terus mendukungnya tentunya. Namun, beberapa temannya
terus meremahkannya. Terkadang itu membuatnya agak goyah untuk terus berusaha.
Ia
pun merenungkan perkataan beberapa temannya yang meremehkannya. Saat itu juga,
Ibunya berkata kepadanya,
“Tidak
usah merenungkan hal itu. Ibu dan ayah yakin kamu pasti bisa. Mereka hanya iri
karena tidak memiliki keberanian mengikuti lomba sepertimu,”kata Ibunya.
“Iya
bu, aku mengerti. Aku akan berusaha untuk membuktikan bahwa aku pasti bisa
menjadi juara,”balas Nindy.
Hari
demi hari berlalu, Nindy dengan semangat dan dukungan keluarganya selalu
berlatih dan berlatih demi mencapai keinginanya menajdi juara lomba bernyanyi
tingkat nasional itu.
Sampai
akhirnya, tiba saat di mana lomba itu dimulai. Nindy dengan ditemani Ibunya,
menghadiri lomba itu. Dengan perasaan campur aduk, akhirnya nomor urut Nindy
dipanggil. Sebelum memulainya, ia berdoa terlebih dahulu. Barulah kemudian,
saat ia mulai menyanyikan lantunan nada yang indah dari sebuah lagu, juri dan
para penonton terkagum-kagum mendengar suaranya. Sesaat setelah ia selesai
menyanyikan lagu itu, tepuk tangan meriah dari para penonton dan juri langsung
terdengar menggema di gedung itu. Nindy sangat senang mendengarnya.
Sampai
akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu, yaitu pengumuman pemenang tiba. Nindy dan
ibunya sangat cemas dengan hasilnya. Pembawa acara itu pun mengumumkan,
“Pemenangnya
adalah... nomor urut 2!Selamat,”
Yaa,
itu adalah nomor urut Nindy! Ia menang! Ia pun naik ke atas panggung untuk
menerima piala. Setelah itu, ia menghampiri ibunya dan berkata,
“Alhamdulillah
ya bu aku menang,”syukurnya.
“Iya
alhamdullilah, Ibu yakin kok kamu bisa,”kata ibunya.
Keesokan
harinya, saat di sekolah, teman-temannya, guru-gurunya mengucapkan selamat
kepadanya. Doni dan beberapa teman lain yang seringkali mengejeknya meminta maaf.
Nindy pun memaafkannya dan mereka menjadi teman dekat sekarang. Sekarang Nindy
yakin bahwa dengan usaha dan doa, apa yang diinginkan bisa tercapai.
Brigitta
RD
X
IIS 3/5
Ketika
Mereka Tahu
Namaku Karin. Hari ini
tepat 2 bulan aku duduk di bangku SMA. Tidak banyak yang berubah, kecuali
teman-temannya. Selama dua bulan ini aku sudah berhasil mendapatkan beberapa
teman. 7 orang diantaranya sudah dekat denganku. Ya… setidaknya jauh lebih
banyak dari perkiraanku.
Kenapa aku bilang
begini? Karena di sekolah aku termasuk anak yang pendiam. Aku merupakan seorang
penderita bipolar disorder sekaligus anak yang memiliki indra keenam.
Singkatnya, aku bisa melihat hantu. 'Kelebihan’ tersebut sudah aku dapatkan
sejak kecil. Sedangkan masalah gangguan mental itu baru kudapatkan setelah
mengalami pembullyan di SD. Jujur, awalnya aku terganggu dengan kehadiran
hantu-hantu itu. Ditambah lagi aku kesulitan untuk mengontrol emosi yang mudah
berubah ini. Seringkali orangtua dan teman-teman memanggilku ‘aneh’ atau ‘gila’.
Begitupun dengan teman-teman SMPku. Mereka menjauh perlahan-lahan tanpa
bertanya sedikit pun kenapa aku begini. Sejak itu aku tidak mau dekat dengan
banyak orang. Aku menjadi anak yang tertutup dan memilih diam karena aku tidak
mau menakuti mereka. Satu-satunya teman setiaku adalah hantu-hantu itu. Mereka
yang selalu menemaniku belajar dan menungguku saat tertidur di kamar. Miris
memang. Tapi itu sungguh lebih baik dibanding melihat tatapan sinis dari orang
lain.
“Hoi, jangan ngelamun!”
tegur Sandra, temanku.
“Eh, iya. Hehe…,” aku
menggaruk belakang leherku yang tidak gatal. Sebenarnya aku tidak melamun, tapi
sedang menatap wanita berwajah pucat di sudut kelas. Kasihan, dia sedang
sendirian.
“Kantin aja, yuk!
Daripada dikelas bosen tau,” ujarnya lagi.
Aku menyambut ajakannya
dengan anggukan. Kami berdua jalan keluar kelas. Ketika melewati hantu wanita
itu, aku melemparkan seulas senyum tipis untuknya. Dia hanya menatapku datar.
Huft. Setibanya di kantin, Sandra dengan semangat mengantre di salah satu tempat
yang berjualan bakso. Ya, itu bakso favoritnya.
“Lo enggak mau bakso?
Enak loh,” katanya. Aku hanya menggeleng pelan dengan senyum tipis. “Lagi diet,
hehe,” jawabku asal. Andaikan saja aku bisa menjelaskan padanya kalau ada hantu
penjilat di dekat gerobak bakso itu, mungkin Sandra tidak akan mau makan bakso
itu lagi. Tapi sudahlah. Toh kalau aku bilang, itu hanya akan menambah
masalahku.
Kemudian aku memilih
duduk di salah satu meja bersama dengan 3 temanku yang lainnya, Sasa, Anna, dan
Stella. Mataku menatap ke sekeliling kantin. Senyumku melebar ketika melihat
seseorang yang baru masuk ke kantin. Reno, seorang cowok dari kelas X MIA 4
yang sangat kukagumi sejak hari MPLS. Tapi sayangnya perasaan itu harus kutepis
jauh-jauh karena aku tidak mau mendekatinya sedikit pun. Aku tidak mau dia malu
karena disukai oleh orang dengan gangguan mental sepertiku.
“Eh, kalian udah tau
belom sih. Katanya abis jam istirahat ini bakal diadain razia tas gitu. Makanya
abis istirahat kita nggak boleh masuk kelas,” ucap Anna.
Sasa menepuk dahinya.
“Aduh, liptint gue masih di tas lagi! Disita nih pasti!”
“Untung enggak bawa
liptint hari ini,” sahutku santai. Sepertinya Sasa orang yang paling cemas
diantara kami semua.
Benar saja, ketika jam
istirahat usai, kami diminta duduk di lapangan. Tidak ada seorang murid pun
yang boleh masuk ke kelas. Guru-guru kami berhasil menyita beberapa novel, make
up, dan barang yang tidak pantas dibawa ke sekolah. Setelah diceramahi
habis-habisan, kami diizinkan kembali ke dalam kelas.
“Karin, dicari Bu Rina!”
teriakan Shafa membuat seisi kelas menjadi hening. Dipanggil guru BK memang
membuat deg-degan.
Aku berjalan tenang
menuju ruang BK. Entah kenapa aku memiliki firasat aneh. “Permisi, Bu. Ibu Rina
memanggil saya?”
“Oh iya, Karin. Silakan
duduk,” Bu Rina mempersilakan aku duduk. Wajahnya sangat ramah, tidak segalak
guru BK kebanyakan. “Tadi Ibu menemukan ini di tasmu,” Bu Rina menyodorkan
sebuah buku.
Mataku terbelalak.
“I-itu buku diari saya, Bu.”
Bu Rina mengangguk
pelan. “Ibu tau. Maaf, tadi tidak sengaja terbuka. Ibu sudah baca tulisanmu.”
Dadaku berdebar-debar.
Bu Rina menggenggam tanganku. “Ibu sudah tau. Ibu mengerti,” ucapnya lembut.
Hanya dengan 2 kalimat
sederhana berhasil membuat air mataku mengalir pelan.
Mengerti.
Itu yang aku ingin
dengar selama 7 tahun ini. Aku ingin orang lain mengerti dengan kondisiku. Aku sudah cukup frustasi karena tidak
seorang pun memahami keadaanku, termasuk keluargaku sendiri. Mereka menganggap
aku bertingkah lebay ketika aku tidak bisa mengontrol emosiku. Mereka
menganggapku aneh ketika aku bilang bisa melihat hantu. Percayalah, itu semua
bukan keinginanku. Orang mana yang mau dirinya mengalami gangguan mental? Tidak
seorang pun mau itu. Gangguan mental itu muncul begitu saja setelah aku
terbayang-bayang dengan kejadian pembullyan dulu. Tapi tidak seorang pun
memahamiku.
“Saya capek, Bu,”
ujarku, akhirnya. Masih dengan tangisan yang belum berhenti.
Bu Rani menggenggam
tanganku erat. “Sabar ya. Kamu udah boleh tenang. Disini enggak akan ada yang
bully kamu lagi. Enggak akan ada yang menghina kamu. Mereka juga pasti bisa
mengerti kok. Ibu janji,” katanya lembut.
***
Sejak pembicaraan
panjang di ruang Bimbingan Konseling, rasanya aku bisa lebih tenang. Aku lebih
percaya diri. Aku semakin yakin kalau indra keenam ini adalah suatu kelebihan
dari Tuhan. Dan aku semakin yakin bahwa menderita bipolar bukan berarti aku
gila. Mulai detik ini aku janji, bahwa bipolar disorder dan pengalaman burukku
di masa lalu tidak akan memengaruhiku di masa kini.
Aku Karin, umurku 15
tahun. Dan aku penderita bipolar disorder.
Having bipolar disorder
doesn't mean you are broken. It means you are strong and brave for battling
your mind every single day.
Nama : Salsa Khusnus Solekhani (31)
Kelas : X IIS 3
Obat-obatan
Senja mulai menampakkan batang hidungnya.
Menandakan gelap dan sunyinya malam mulai datang. Dunia malam bukan hak asing
bagi seorang remaja laki-laki bernama Nata. Entah apa yang dia lakukan saat
malam, yang jelas Nata jarang sekali berada di rumah. Banyak orang yang
berfikir bahwa peringainya ini disebabkan karena ayahnya adaah salh satu
pejabat negara.Sudah beribu-ribu kali ia pergi dari rumah saat tengah malam
dengan mobil yang ayahnya berikan. Namanya mungkin tidak asing lagi untuk
polisi. Namun ia selalu lolos dari polisi ntah apa yang diperbuat, dan
orangtuanyapun tidak tau menau tentang hal ini.
Pernah pada suatu malam, ayah Nata dihubungi
polisi karena suatu hal. Anaknya ini tertangkap membawa banyak obat-obatan di
dalam mobilnya. Siapapun yang melihat obat sebanyak itu tentunya akan
berfikiran negatif. Kasus yang dialami Nata kali ini adalah kasus yang paling
serius yang ia buat. Kini Naka ditahan di penjara bukan lagi akibat
kebut-kebutan atau menabrak mobil orang. Ayahnya sangat marah dan merasa
kecewa. Namun saat ditanya mengapa Nata membawa banyak sekali obat-obatan, ia
tidak pernah mau menjelaskan. Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya
“Biarkan saya menjelaskan sendri kepada polisi
serta ayah saya saat persidangan nanti, sekarang saya hanya butuh sekumpulan
anak terlantar di tempat kalian menangkap saya ” ucap Nata dengan nada
datarnya.
Pada awalnya polisi tidak memperdulikan ucapan
Nata. Namun selama ia di tahan ia hanya mengucapkan kalimat tersebut, maka
pihak kepolisian memutuskan untuk mencari anak-anak terlantar yang Nata maksud
sebagai saksi apa yang telah dilakukan Nata pada malam tersebut. Para polisi
kesulitan menemukan anak-anak itu, karena pada lokasi penangkapan hanya
terdapat sekumpulan orang dewasa yang nampak kebingungan. Tidak satupun dari
mereka yang peduli akan kehadiran pihak kepolisian.
Hingga akhirnya salah satu polisi menemukan
seorang anak dan hendak menanyakan dimana anak-anak yang lainnya. Anak itu
hanya menggeleng dan berkata
“Pak polisi tidak perlu tahu” jawab anak itu
takut-takut
“Kenapa? Saya mempunyai amanat untuk membawa
sekompok anak untuk dijadikan saksi pada persidangan salah seorang remaja”
Jawab pihak polisi
“Siapa nama remaja itu? Anak itu mulai penasaran
“Natakha Alvaro” jawab polisi singkat
“Aku mau ketemu dia, tolong pak polisi anterin
aku kesana ya” balas anak itu antusias
Pada saat hari persidangan tiba, ayah Nata sangat
bingung karena pengacara yang membela Nata tidak memiliki cukup bukti, mendapat
kejelasan tentang kasus yang Nata alamipun tidak. Berbeda dengan Nata yang
bersikap sangat tenang karena ia sudah mengetahui bahwa saksi yang ia minta
akan hadir menemani.
Persidangan pun dimulai. Banyak pihak yang
menuntut Nata karena dianggap ia adalah seorang pengedar narkoba. Pengacaranya
Nata hanya bisa membantah sedikit-sedikit. Hingga akhirnya saat untuk saksi
berbicara membuat seluruh orang yang ada di persidangan menjadi diam tanpa
bantahan sedikit pun. Anak itu berkata yang sebenarnya
“Aku datang kesini bukan paksaan dari pak polisi,
namun aku mau menolong kak Nata yang kalian sebut sebagai pengedar narkoba.”
Para hadirinpun mendengarkan dengan saksama
“Malam itu kak Nata membawa banyak sekali
obat-obatan untuk teman-temanku. Mereka semua terserang wabah yang membuat
mereka sudah tidak lagi bisa menemaniku. Mereka sudah tidak lagi sehat karena
obat yang harusnya dibawa kak Nata untuk diminum tidak sampai-sampai. Semua
orang kebingungan tidak tau siapa lagi yang dapat membantu. Hingga satu persatu
temanku pergi selama-lamanya. Kak Nata bukan pengedar narkoba. Aku dan
teman-temanku adalah alasan kenapa kak Nata melanggar lalu lintas, mengebut,
serta membawa banyak obat. Itu karena dia lah yang pontang-panting membawa kami
ke rumah sakit serta membayar seluruh tagihannya. Kalian tidak pernah peduli
pada rakyat kecil seperti kami, anak terlantar. Kalian hanya memikirkan bagaimana
caranya agar kami tidak mengemis belas kasihan di lampu merah tanpa
mempertimbangkan alsan kami melakukan itu semua,” Anak itu menjawab sambil
menahan sesak ingin menangis
Seluruh orang yang ada di dalam persidangan
tercengang. Hingga akhirnya para polisi mengecek sendiri ke rumah sakit dimana
teman-teman anak terlantar tersebut berada. Mereka menanyakan apa saja yang
telah seorang Nata lakukan terhadap mereka. Jawaban mereka sama
“Nata menolong kami, ia selalu menolong kami
mengatasi kesulitan. Namun belakangan ini dia tidak datang mungkin karena saat
ini dialah yang sedang mengalami kesulitan.” Jawab para orangtua dari anak-anak
terlantar tersebut.
Seluruh polisi yang menyelidiki kasus ini sangat
tidak menyangka dengan apa yang sebenarnya telah Nata lakukan. Karena semua
bukti yang sangat kuat untuk membuktikan bahwa apa yang telah Nata lakukan
adalah perbuatan baik yaitu untuk menolong. Maka pihak kepolisian memutuskan
untuk membebaskan Nata. Sejak saat itu pihak kepolisian sering mengunjungi
warga yang pernah dibantu Nata. Apa yang dilakukan Nata sudah membuka banhyak
mata dan karena itulah ia memiliki pembawaan tenang saat tertangkap polisi.
Genoveva Brigitta
X IIS 3 / 14
Pengalaman
Yang Berharga
Hari ini aku akan menjalani Masa
Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS)di sekolah yang baru ini. Oh ya, kenalkan
nama aku, Christella atau biasa dipanggil Stella, sekarang aku bersekolah di
SMAN 68 Jakarta. Aku ingin menceritakan kejadian ku berkenalan dengan seorang
murid pria yang sama-sama menjalani MPLS di SMAN 68 ini. Saat itu aku
berkenalan dengannya ketika aku berada di Restoran makanan cepat saji yang
berada di dekat sekolahku.Disaat itu aku , dan teman angkatanku sedang
menjalani kegiatan Pra-MPLS, saat sedang mendengarkan di lapangan kejadian
tidak mengenakkan menimpaku, aku pingsan karena belum sempat sarapan sebelum
berangkat , oleh karena itu aku harus beristirahat di UKS dan Mamaku datang
untuk menjemputku , dan membawaku makan di restoran. Lalu ada seseorang yang
tiba-tiba bertanya kepadaku “Eh lo anak 68 ya?” dan aku menjawabnya dengan
“iya,lo juga ya?”, lalu dia menjawabku “iya, eh duluan ya”. Sebenernya aku
ingin menanyakan namanya dan juga kelasnya , tapi dia sudah pergi duluan
jadinya aku tidak sabar menanti hari senin karena aku sangat penasaran
dengannya.
Kegiatan hari Senin diawali
dengan upacara pembukaan MPLS dan silahturami dengan guru-guru. Saat ingin
mengantri untuk bersalaman dengan guru, aku melihat dia di depanku dan disaat
itu pula aku mengetahui kalau Ia bernama Juan dari nametag yang Ia kenakan.
Lalu Ia berkata “hai, eh lo yang kemarin ketemu pas hari Sabtu ya? Sampe lupa
waktu itu kenalan, kenalin nama gue Juan, salam kenal ya, loh kok lo gak pake
nametag? Saat itu aku tidak tahu kalau harus memakai name tag ketika upacara
dan aku menjawabnya dengan “iya gue kemarin yang ketemu lo pas hari Sabtu,
salam kenal ya nama gua Stella” dan dia akhirnya pergi karena dipanggil oleh
temannya dan aku juga bergabung dengan temanku.
Akhirnya aku masuk ke kelasku
yang berada di lantai 4, ketika ingin memasukki kelas aku bertemu dengan Juan
lagi yang ternyata sekelas denganku, kita berdua sama-sama kaget karena
ternyata kita akan menjadi teman sekelas, saat pemilihan ketua kelas ternyata
Juan terpilih menjadi ketua kelas yang baru, dan aku terpilih sebagai
sekretaris yang baru.Ternyata wali kelas kami menyuruh ketua dan sekretaris
yang terpilih untuk membuat jadwal piket yang baru.
Saat pulang sekolah aku pulang
dengan menggunakan angkutan umum karena sekolahku terletak di daerah yang
sangat padat kendaraan. Jadi, aku memilih untuk pulang dengan Transjakarta,
ketika aku menunggu Bus yang menuju ke tujuanku, aku bertemu dengan Juan, dan
ternyata dia juga turun di halte yang sama denganku, di perjalanan menuju rumah
dia mengajakku untuk mengobrol bersama, tentang sekolah yang dulu, dan ternyata
dia banyak mengenal teman-temanku ketika SMP karena pernah bertanding bersama.
Tak terasa, akhirnya aku sampai juga di halte yang aku tuju, dan aku harus
berpamitan dengan Juan karena arah tujuan akhir kami yang berbeda. Sesampainya
di rumah, saat aku mengecek line , ternyata Juan mengechat aku untuk membuat
bersama jadwal piket yang ditugaskan oleh wali kelasku.
Hari ini adalah pelaksanaan demo
ekskul yang bertujuan untuk mengetahui dan mengenal ekskul apa saja yang ada di
SMAN 68 ini. Aku tertarik untuk mengambil ekskul basket yang latihannya akan
dimulai sejak besok, dan ternyata Juan juga mengambil ekskul yang sama
denganku. Seiring berjalannya waktu, aku semakin dekat dengan Juan karena kita
sering pulang bersama, ekskul bersama,mengerjakan tugas bersama, dan hal-hal
lainnya.
3 tahun berlalu, dan akhirnya
aku memasuki jenjang kuliah. Perjuanganku di SMA ini tidak sia-sia, akhirnya
aku masuk di Universitas Indonesia jurusan ekonomi, Juan pun juga diterima di
Universitas Indonesia jurusan ekonomi. Dan kami pun bersahabat selamanya.
Pemerah Susu dan Embernya
Suatu
masa, tinggallah seorang wanita yang bekerja di sebuah perkotaan. Suatu ketika,
ia dikabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia sehingga ia harus kembali ke desa
untuk menjalankan peternakan ayahnya. Ayahnya juga meninggalkan sebidang sawah
yang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayahnya meninggalkan
seekor sapi betina yang sedang hamil, dan seekor banteng yang digunakan untuk
membajak sawah. Ia pun ditantang untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup hanya
dengan menggunakan sisa hasil peninggalan ayahnya.
Tak
terasa, sudah 6 bulan ia menjalani peternakannya sendiri. Selama 6 bulan, ia
berhasil mengelola peternakan dengan baik. Hasil sawah ia jual untuk memenuhi
kebutuhan. Tak terasa, musim dingin pun tiba. Seluruh tanaman kering ditutupi
salju. Ia berpikir keras bagaimana cara untuk tetap bisa bertahan hidup tanpa
menjual hasil sawah. Ia pun teringat bahwa sapi betinanya yang sedang hamil
menghasilkan susu. Ia pun bergegas mengambil ember untuk memerah sapinya.
Sambil
memerah sapi, ia membayangkan apa yang bisa ia buat dengan susu hasil
ternaknya. Ia bisa membuat mentega dan keju dari susu agar mendapat nilai jual
yang lebih tinggi. Selesai memeras, ia membawa ember susunya di kepalanya.
Sambil berjalan, ia membayangkan apa yang bisa ia lakukan dengan uang penjualan
susunya. Ia akan membeli ayam dan ayam-ayam itu akan bertelur. Telur-telur itu
akan menetas dan ia mendapat lebih banyak ayam yang akan menghasilkan lebih
banyak telur. Ia akan menjadi kaya dengan uang-uang itu.
Tak
disadari, ia mengangguk-angguk sendiri menyetujui idenya. Seember susu yang ia
bawa di kepalanya jatuh ke tanah. Dengan itu, hilanglah semua angan-angannya
tentang mentega, keju, ayam, uang, dan kebanggaannya. Uang hasil ternak yang
harusnya ia gunakan untuk membeli makan hari itu hangus. Ia pun harus menunggu
keesokan harinya agar bisa memerah susu lagi.
Hari ulang tahun berdarah
By : Raihan Ananda
X IIS 3
Namaku Rani, aku adalah anak terakhir dikeluargaku.
Seharusnya sebagai anak terakhir aku dimanja-manja oleh orang tuaku, diberi
kasih sayang setiap harinya, diberi kado doa dan ucapan ketika ulang tahun,
diberi semangat dalam lomba dan ya seperti anak yang paling disayang. Tetapi
itu tidak terjadi sama sekali terhadapku tidak sekalipun tidak akan pernah.
Orang tuaku lebih sayang kepada kakakku Dina, mereka selalu
membanggakannya,mengutamakannya selalu dimanja memberikan semua yang ia mau.
Sedangkan aku? tak pernah sama sekali, mereka selalu menjadikanku yang terakhir
bahkan tak penting lagi aku selalu diabaikan tak pernah dianggap ada.Ulang
tahunku pun mereka tak ingat, mereka lupa kapan aku dilahirkan, aku tidak
pernah diberi ucapan, dan aku ingin tau apakah nanti mereka semua akan ingat
dengan ulang tahunku.
Aku ingin mengeluarkan semua amarahku, kesedihanku, semua
yang telah aku pendam selama ini di hari ulang tahunku nanti. Aku akan membunuh
mereka, mereka yang tidak ingat ulang tahunku. Mereka yang tidak pernah
menyayangiku
23.13 WIB
Aku bangun dari tidurku, menyiapkan alat-alat yang akan aku
gunakan nanti. Entah itu pisau, kapak,atau jarum suntik milik ayahku. Aku juga
menyiapkan kue yang telah ku buat sendiri. Kue sederhana dengan lilin kecil di
tengahnya, dengan warna merah darah yang aku dapatkan bahannya di ruang praktik
kedokteran ayahku dibungkus dengan plastik yang bertuliskan nama seseorang.
Tapi aku tidak perduli itu, aku akan tetap menyiapkannya untuk aku makan nanti
tepat jam 12 malam. Aku sempat kebingungan akan menggunakan pisau, kapak, atau
jarum suntik itu apa semuanya, entahlah yang pasti aku akan menggunakan salah
satu dari alat-alat itu nanti.
23.59 WIB
1 menit lagi ulang tahunku. Aku sudah menyiapkan kue lezat
ini di hadapanku. Hanya dengan menghitung detikan saja aku akan meniup lilinnya
lalu menyantapnya. 9 8 7 6 5 4... 3... 2... 1 "fiyuhhhh" aku meniup
lilinku tepat pada jam 00.00. Kini
saatnya dimulai
Aku membuat harapan agar semua amarahku yang telah kupendam
selama ini agar terbalaskan. Kemudian aku memakan kuenya dengan lahap walau
terasa sedikit hambar.
00.15 WIB
Aku berjalan ke kamar kakakku dengan pisau yang kugenggam di
belakangku. Aku akan membunuhnya terlebih dahulu, karena semasa hidupnya dia
selalu membuatku menderita membuat orang tuaku mengabaikanku, kini saatnya
untuk membalasnya. Kini aku telah disamping kakakku. Kakakku tertidur sangat
pulas, aku mencoba membangunkannya.
"Kak Dina, bangun." ucapku dengan lembut.
"Ahhhh apaan sih aku masih ngantuk ngerti ga sih" bentak kakakku
masih dalam keadaan menutup mata. "Kakak ingat hari ini hari apa?"
tanyaku dengan menyeringai. "Ahhh aku sudah bilang aku masih ngantuk Aku
tidak perduli sekarang hari apa ngerti" bentak kakakku lagi. Aku hanya
menyeringai lagi dan menyiapkan pisaunya untuk segera menusuknya. "sudah
pergi sana" bentak kakakku lagi sambil menengok ke arahku dan kemudian aku
menusukkan pisauku tepat ke arah mulutnya. Kuhujamkan pisauku ke mulutnya
berkali kali hingga tak terasa pisauku sudah hampir membelah dua kepalanya,
darahnya pun bercucuran. Namun Ia masih saja meronta-ronta. Aku pun menusukkan
pisauku tepat dijantungnya dan membiarkannya terus menancap. Malaikatpun
mencabut nyawanya. Haha teriakku dalam hati akhirnya 1 dendamku terbalaskan.
00.45 WIB
Aku menyiapkan alat yang lain, kapak di genggamanku dan
suntikan biusnya di kantung celanaku. Aku menuju kamar kedua orang tuaku.
Kebetulan sekali, ayahku sedang berjalan menuju kamar kakakku. Dengan segera
aku bersembunyi dan mengendap-endap berjalan di belakangnya. Saat aku sedang
mengikutinya. Tiba-tiba ayahku berhenti dan menengok ke arah bawah saat aku
telurusi ia sedang memperhatikan jejak kaki berwarna merah (darah kakakku) di
lantai "sial" aku lupa untuk membersihkan diriku. Aku pun segera
berlari kearah ayahku, sebelum ayahku melihatku. Aku pun mengambil posisi untuk
membunuhnya. Ayahku menengok ke belakang "Ayah ingat dengan hari
ini?" ucapku ke ayahku sambil mengangkat kapakku "Rani apa yang kau .
. ." Ucap ayahku terpotong, aku telah menebas kepalanya darah bermuncratan
dari kepalanya. "AAAAAAA" Teriak ibuku, ternyata ibuku sedang
mengamatiku yang telah memotong kepala ayahku. Aku menghampirinya dan mencoba
untuk mengarahkan kapakku ke kepalanya. Tetapi ibuku menahannya "Anak
durhaka kau" Teriak ibuku dengan ketakutan dan amarahnya sambil
mengeluarkan air matanya. Aku tidak hanya diam, aku segera mengambil jarum
suntik dari kantungku. Aku menusukkannnya ke ibuku. Dia tersentak kesakitan dan
beberapa detik kemudian dia pingsan. Ternyata obat biusnya bekerja. Ku seret
ibuku ke gudang tempat dimana aku sering meluapkan amarahku. Dimana ada 3
boneka besar yang aku ibaratkan mereka. Saat aku kesal aku berlari ke gudang
dan menusuk-nusuk boneka itu. Sekarang aku telah mengikat tangan ibuku dibesi
dan kakinya dibesi yang lain. Aku akan menunggunya sampai aku terbangun, dan
aku akan menusuk-nusuknya seperti boneka boneka itu.
03.48 WIB
Kini aku telah membawa mayat kakakku dan ayahku tidak lupa
dengan kepalanya yang telah terpisah. Mati ataupun hidup mereka selalu
menyusahkanku. Ibuku sudah bangun kini ia meronta-ronta dan memaki diriku agar
aku melepaskan ikatannya. "Ibu apakah kau tak ingat hari ini hari apa?
ucapku dengan polos. "Tidak ingatkan?Hah?"jawabku kini dengan nada
yang lebih tinggi. "eee hmm haaari hahahari" ucap ibuku terbata-bata
karena tidak tahu. "Lupa ya? hah? menyayangiku saja tidak pernah bagaimana
kamu bisa tahu hari apa ini" bentakku lagi. "Kau tak ingat siapa yang
kau lahirkan pada tanggal yang sama seperti sekarang? Aku pada tanggal dan
bulan yang sama aku telah kau lahirkan? kau tak ingat? hah? Ini hari
lahirku" bentakku lagi lebih keras "Mamamaaf ibu tau hari ini kamu
berulang tahun tatappi.." Jawab ibuku. "hahaha ya kamu tau karena aku
sudah beritahukan" bentakku lagi. "Kini semuanya sudah terlambat tak
ada lagi maaf untukmu ibu, kau telah melupakanku, kini aku akan
membalasnya" jawabku sambil mengangkat pisau yang mengkilap di tanganku.
"jajajangan jangan, ibu mohon jangan nak. Aku sangat sayang padamu."
mohon ibuku. "Diamlah Ibu, aku sedang mencoba untuk menikmatinya"
ucapku, "tolong maafkanl......" ucapan ibuku terpotong dengan pisau
yang tertancap tepat ke mulutnya yang cerewet, akhirnya tibalah saat dimana aku
bisa meluapkan segala amarahku dengan menusuk lubang matanya,
kugoyang-goyangkan pisauku keatas dan bawah, ibuku hanya bisa mengeram
kesakitan dengan mulut yang bercucuran darah, kemudian aku mengambil pisauku
namun bola matanya masih tertancap di pisauku, dengan perasaan sedikit jijik
bercampur dengan rasa senang aku melepas pisau itu lalu kuraih kapakku
melayangkan memotong kepalanya. Aku ingin memulai hidup yang baru kembali tanpa
keluarga dan sama seperti dulu tanpa kasih sayang. Aku pergi dari rumah dan
meninggalkan pesan bertuliskan "Sebenarnya aku sangat menyayangi mereka
tapi Mereka Lebih Baik Mati".
First Look
By: Rizky Ajie Pratama
X IIS 3
Langkah sepatunya
masih terdengar nyaring. Menggelegar dan meraung di ujung
daun telinga ku. Hatiku seperti
memintanya untuk kembali, menikmati 46 detik percakapan yang baru kulalui.
Rancu, sepertinya aku terpeleset oleh pesonanya. Rasanya ini pertama kali aku
bertemu denganya, namun sudah serasa seperti sudah pacaran 5 tahun nyaris hijab
qobul.
Masa SMA memang
aneh untukku. Terlebih karena aku lulusan Pesantren di Tempat antah-berantah.
Hampir tidak pernah liat akhwat di dunia nyata. Paling sesekali, caraka di
gedung madrasahku seorang perempuan yang berumur 40 tahunan. Aku sering
melihatnya sepulang madrasah. Karena itu, ibarat Indominus Rex dalam film Jurrasic world yang kaget ngeliat dunia di
luar kandangnya. Akulah sang indominus itu yang takjub sendiri melihat akhwat
atau sebut saja perempuan berdandan baju sekolah SMA. Nama ku Hafizh dan aku
anak SMA
Namanya Aura,
mungkin dari Aurelia atau Aurora. Dia selalu melewati kelas ku tiapkali bel
ISHOMA berbunyi. Saat itulah aku “cuci mata” Astaghfirullah, menikmati 3 detik
pemandangan. Kadang, aroma parfum Bodyshop nya menggelitik di hidungku.
Meledek, sapa piss...ajak kenalan piss...buruan, sikat pis. Setan memang
menyesatkan. Terkadang ia melihat dan tersenyum ke arahku. Aku hanya bengong
kaya orang idiot. Senang sekali bisa menikmati momen itu.
“Tan, beli piscok
ama taichan berapaan?”, tanya ku sama tante Sumi. “Satu dua ribuan tong, kayak
kagak pernah beli aja”, balas tante Sumi. “Nih tan adanya gocapan, ada
kembalian gak?”, kata ku minta kembalian. “waduh, gaada pis cari pecahan sana.”
kata tante Sumi. “nih tan, saya yang bayarin”Aura mengulurkan duit selembaran
lima ribuan. “tuh makasih pis.”kata tante Sumi. “eh..iii..iyaa..Makasih”kataku
lara. “iya, sans..eh BTW nama lo siapa?”....Rancu.
Kami pulang bersama
setelah istirahat lalu berkenalan. Anak SMA lain pulang pakai moge – moge kayak
Ninja, CBR, R25, dll. Dia pun mengikutiku pulang dengan menggunakan
TransJakarta. Aku memilih TJ karena aku gak mau ngerepotin orangtuaku buat
ngerogoh saku mereka untuk beliin moge. Lagipula, lebih baik aku menyimpanya
untuk kuliah. Dia banyak bercerita tentang Sekolah Menengah Pertamanya. Katanya
dia disukain cowo borju gitu, tapi dia gak suka. Dia suka tipikal Cowo
sederhana dan loveable. Aku gak begitu ngerti soal cowo “loveable” tapi yah, i
will try.
Ibu ku di diagnosa mengidap penyakit leukimia. Tersentak,
seperti penopang tubuh ku terhanyut dan terbawa arus. Membuat fokusku bubar tak
karuan. Tak ada waktu tuk memikirkanya. Sudah 25 line chat darinya yang belum
aku read. Rasanya aku kejam, setelah dia menyadari kode – kode dariku aku
menghilang. Menghilang dari dunia nyata, maya, maupun dunianya. Maaf, aku takut
terlalu mencintaimu.
Ruang tunggu itu hening. Hanya suara decitan mesin print
resep yang terdengar. “Passien Anna” suara itu memecahkan keheningan itu. Aku
langsung menghampiri stand bertuliskan “PENGAMBILAN OBAT” ketika mendengarkan
nama ibu ku disebut. “yang ini di minum 3X sehari ya mas, kalo yang ini cukup
1X sehari”, kata Apoteker. “Makasih ya mas.”,kataku. “Jadi, ibu lo sakit,lo gak
kasih tau gw fizh?”...Aura.
“AURA?”aku
terkaget dan memeluknya. “lo ngapain disini?”kataku. “gue tau fizh, gw tau
perasaan lo.”katanya. “Gue nyesel, dan gue mau lo.”...
“Ra, gue seneng lo mau nerima gue,
Tapi gak sekarang”kataku. Dia tertegun mendengar kata – kataku. Terlukis di
wajah manisnya rasa kecewa dan sedih. “Ibu gue kritis ra, dia butuh gue”kataku.
Tetes airmata mulai mengalir di wajahnya menambah cantik di wajahnya. Aku
tersenyum dan menghapus air matanya. “sans”kataku. “Hah”dia penasaran maksud
dari ucapanku. “iya, kata pertama yang terucap saat pertama kita ketemu”. Kata
ku.
“kata yang memecah
kecanggungan gue sama lo”kataku. Dia tersenyum. “tunggu 10 – 12 tahun lagi, gue
bakal kembali untuk mempertanyakan kembali cinta itu”kata ku. Ia tersenyum lalu
memelukku. Terima kasih, itu sudah cukup bagiku
Akibat Kelalaian Ira
By : Fathiya Irfani
X IIS 3
Pada liburan kemarin, Iza, Ira,
dan Zahir berlibur ke Taman Safari bersama-sama.
Ada pengalaman yang takkan
kulupa. ketika selesai melewati lorong yang berisi reptil kami menuju sebuah
taman yang isinya gubug-gubug yang didalamnya ada sebuah macan yang telah
jinak, Zahir ingin masuk ke gubug untuk berfoto dengan macan, "Ira tolong
foto aku dengan HPmu ya! Jangan lupa untuk mematikan lampu senter pada
pengaturannya, karena tidak diperbolehkan oleh pihak kebun binatang, Ra",
perintah Zahir. Ira langsung asal pencet saja, karena dia pikir pasti lampu
senter pada HPnya tidak akan menyala ketika siang hari. Tiba-tiba ketika Ira
memfoto Zahir, lampu senter pada HPnya menyala, Macan pada gubug itu pun
langsung loncat. Zahir langsung mengumpat ke belakang gubug. Semua orang yang
berada disitu sangat terkejut dan berlarian kemana-mana. Untung saja pawang
para macan itu langsung datang ke gubug itu. Lalu Zahir langsung keluar dari
gubug dan ketakutan akibat kelalaian Ira.
Popo
si tikus yang nakal
By:
Ori Muhammad
X IIS
3
Dahulu ada kelompok tikus yang
menetap di atap sebuah restoran,di dalam kelompok itu terdapat tikus tikus muda
yang suka bermain di dapur restoran.Salah satunya bernama Popo.Popo sangat
nakal,ia selalu melanggar nasihat kakek tikus.
Suatu hari Popo sangat bosan,ia
mengajak teman temannya bermainke aula restoran,padahal kakek tikus selalu
berkata jangan pernah bermain direstoran pada siang hari. "Aku tidak mau
ikut,kakek selalu bilang untuk tidak bermain di restoran pada siang hari,"
kata teman Popo."Pasti kakek menyimpan sesuatu yang menyenangkan dibawah
sana, Ayolah kita harus melihatnya!" Popo meyakinkan "Aku tidak
mau,kamu saja sana!". "Baiklah aku akan pergi sendiri." Akhirnya
Popo pergi bermain sendirian.
"Huh mereka semua
menyebalkan,padahal disini kan sangat menyenangkan." Popo yang baru sekali
main di restoran pada siang hari sangatlah senang karena melihat aula penuh
dengan pengunjung.
"ADA TIKUS DIBAWAH
SANA!!!" Teriak seorang pengunjung,setelah itu semua pelayan mengejar
Popo. Popo sangatlah ketakutan,untungnya di dekat pintu dapur ada lubang untuk
menuju ke atap, selamatlah popo walaupun kakinya terjepit di lubang tadi.
Popo menangis sambil menghampiri
ibunya,ibunya bertanya apa yang terjadi lalu Popo menceritakan semuanya. "Nak
janganlah sekali sekali melanggar perintah orang tua,mereka lebih mengetahui
yang baik untuk kamu". Setelah mendengar nasihat ibu, Popo jadi sadar dan
berjanji tidak melanggar nasihat orang tua.
Hari
oleh
Najla Khalishah Andanti
X
IIS 3
Aku membuka mataku, menatap langit-langit kamarku.
Ruangan ini sangat gelap, walaupun aku bisa melihat sedikit. Aku beranjak dari
kasur dan menyibakkan gorden-ku. Sinar matahari langsung menyinari kamarku,
walau agak redup.
Di luar sana, di sebuah kota yang maju,
kehidupan telah berlangsung. Gedung pencakar langit di mana-mana, kendaraan
sudah memenuhi jalan raya, asap kelabu mengepul di udara, membuat jendelaku
sedikit kotor. Untung saja, aku tidak membukanya. Asap itu beracun. Maksudku,
itu polusi, tentu saja beracun.
Jangan sekali-kali kalian melihat ke atas
langit. Matahari selalu bersinar lebih terang setiap hari. Langit tidak lagi
berwarna biru. Kini, berwarna abu-abu. Asap telah menutupi langit Bumi.
Tidak hanya dari Indonesia, asap-asap itu
juga berasal dari negara lain, terutama negara industri. Kalau kalian tanya di
mana pepohonan untuk menanggulangi polusi udara, aku akan menjawab kalau
populasi mereka tinggal sedikit.
Sekarang, ada yang namanya oksigen buatan,
yang dipasang di setiap jalan dengan jarak 200 m per-benda itu.
Aku memutuskan untuk mandi terlebih
dahulu. Air yang keluar lebih sedikit hari ini. Aku tersenyum miris. Tentu saja
sedikit, air yang tercemar sudah meningkat. Jika dulu hanya berwarna cokelat,
sekarang air d danau berwarna-warni. Hijau tua yang menjijikkan, kuning pucat,
dan biru yang terlalu mencolok. Bahkan, kali di dekat apartemenku berwarna
hitam.
Selesai mandi dan berpakaian, aku meraih
tas dan memasang sepatuku. Walaupun ini masih jam tujuh, sedangkan kelasku
dimulai pukul 10, aku sudah keluar dari apartemenku. Tak lupa aku memakai
masker khusus yang dapat menyaring polusi udara. Dan, kacamata khusus untuk
menghindari debu dan pasir.
Walaupun ibukota sedang mengalami
kehancuran, aku cukup menikmati jalan pagiku. Mengamati kehidupan di ibukota
telah menjadi daya tarik tersendiri bagiku. Aneh, memang.
Kali ini, aku mengambil jalan yang berbeda
dari kemarin untuk sampai ke kampus. Aku tidak takut tersesat. Tinggal melihat
dari atap gedung dan mencari gedung kampusku yang berwarna sangat mencolok.
Ketika aku melewati jalan raya, kendaraan
sama sekali tidak bergerak. Inilah mengapa kita perlu berjalan kaki saja untuk
sampai ke kantor atau sekolah. Atau, bisa aja pergi dengan kereta. Tetapi, biasanya,
jam enam sudah ramai.
Ketika aku berbelok ke arah gang sempit,
aku bisa melihat banyak sampah yang berserakan dan ebberapa orang yang tidur di
jalan. Kekayaan mungkin sudah dialami penduduk Indonesia, tetapi kemiskinan
juga merajalela.
Menyedihkan, memang, tetapi, apa yang bisa
kuperbuat? Kita semua berusaha bertahan hidup di dunia yang sudah tercemar ini.
Paham individualisme telah berkembang pesat, tidak hanya di Indonesia, tetapi
juga di seluruh bagian dunia.
Ketika aku keluar dari gang, aku disambut
oleh kemacetan lainnya di sebuah jalan raya. Aku memilih untuk berbelok ke arah
kiri. Aku berjalan sambil memandangi sekitar. Semua pejalan kaki menggunakan
masker. Beberapa menggunakan kacamata anti pasir.
Mataku menangkap papan reklame sebuah
kafe. Kebetulan juga, aku belum sarapan. Aku memasuki kafe bernama Spring Day
itu. Nama yang bagus, tetapi tidak sesuai dengan keadaan.
Di ruangan tertutup itu, banyak orang yang
menghisap rokok, tidak peduli jika ada orang yang asma di sana. Bahkan, bartender-nya juga menggunakan masker.
“Selamat datang di Spring Day CafĂ©, Anda
ingin memesan apa?” tanya bartender
itu dengan nada datar. Hidup segan, mati tak mau.
Aku membaca menu di kounter. Mungkin, pagi
ini, aku akan mengisis darahku dengan kafeina dan roti bakar rasa bluberi.
“Cappucino dan blueberry toast, satu,” jawabku agak keras karena suasana yang
ribut, “dan, dibungkus.”
“Satu cappucino dan satu blueberry toast,” dia mengetik di
komputer kasir, “semuanya menjadi Rp50.000,00.”
Aku mengeluarkan uang berwarna biru dan
menyerahkannya ke bartender.
“Uangnya pas, ya,” kata bartender itu, meletakkan uang
pemberianku di dalam kasir. Lalu, memberikan struk belanjaan kepadaku, “dimohon
tunggu sebentar di sebelah sana.”
Aku menurut dan menunggu di samping kanan kasir.
Aku memerhatikan sekitar. Kafe ini dipenuhi oleh asap-asap para perokok.
ironisnya, jumlah wanita yang merokok setara dengan perokok pria. Aku juga
melihat beberapa siswa SMA dan SMP, yang bolos sepertinya, sedang bergerombol
di pojok, merokok dan mengobrol. Tunggu, apa itu seragam SD juga? Oh, ya ampun,
sangat parah.
“Ini pesanannya,” pegawai yang lain,
dengan suara yang sedikit ceria, menyodorkan pesananku, “terima kasih sudah
memesan, silahkan berkunjung kembali!”
“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum,
walaupun dia tidak bisa melihatnya.
Aku keluar dari kafe itu sambil membuka
bungkus roti bakar bluberi-ku. Udara hangat langsung menerpa tubuhku. Aku
mendesis karena wajahku panas, lalu memakan roti bakarku. Aku mengecek jam
tanganku, sudah pukul delapan lewat. Walaupun masih ada waktu dua jam, aku
belum tahu di mana letak kampusku.
Aku mengeluarkan ponselku untuk melihat
GPS. Walaupun aku lebih suka menaiki gedung tinggi untuk memastikan lokasiku,
aku sedang malas. Berdasarkan GPS-ku, lokasiku dan kampusku masih lumayan jauh.
Kalau jalan kaki, kemungkinan besar aku akan sampai tepat waktu. Jadi, aku mulai
berjalan kaki menuju kampusku sambil memakan sarapanku.
Kadang, aku ingin melepas jaketku ketika
berjalan-jalan seperti ini, karena, serius, udara panas sekali. Tetapi, aku
berpikir sebaiknya memakai jaket karena debu dan sinar matahari yang menyengat.
Aku memasuki area yang ramai dan berisik
sekali, entah karena klakson atau yang lainnya. Aku mengambil headseat-ku dari tas dan memakainya
untuk meredam suara. Suaranya terlalu bising, membuat kepalaku berdenyut lagi.
Di tambah udara panas dan debu halus. Lengkap sudah hidup ini.
Aku berjalan dengan arus manusia yang
sibuk dengan diri mereka masing-masing. Aku memerhatikan hal kecil seperti ada
anak kecil yang sepertinya tersesat, atau seseorang yang terjatuh di kerumunan.
Tetapi, aku tidak bisa menolong mereka. Ada arus yang harus aku ikuti
Aku terus berjalan mengikuti arahan
GPS-ku, seperti berbelok di gang atau memotong arus kendaraan. Ternyata, masih
ada jalan yang masih bisa bergerak, walaupun kecepatannya 10 km/jam.
Beberapa menit kemudian, aku melihat
gedung tinggi yang mencolok, itu kampusku. Aku melirik jam tanganku, bentar
lagi aku akan masuk. Aku segera berjalan menuju kelasku yang berada di lantai
lima bagian Selatan.
Ketika aku memasuki kelas, bel masuk
berbunyi. Aku segera memilih tempat duduk di dekat jendela, barisan tengah agak
ke depan. Orang yang duduk di sampingku dua tahun lebih tua dariku, namanya Kak
Naritha.
“Kak Naritha,” panggilku.
“Hm?” Kak Naritha menoleh ke arahku.
“Sekarang tanggal berapa?”
“Hmm..” Kak Naritha mengecek ponselnya,
“tanggal 17 Agustus, kenapa?”
“Kakak gak inget hari ini ada apa?”
Kak Naritha mengerutkan kening, “Emangnya
hari ini ada apa?”
Aku tersenyum maklum dan manggut-manggut.
Aku menopang dagu dan menatap ke luar, ke arah ibukota negaraku yang perlahan
hancur ini. Lihatlah, anak bangsanya saja tidak ingat hari ulang tahunnya.
Apa yang akan terjadi pada Ibu Pertiwi di
kemudian hari?
Tamat.
Education
for All Genders
By:
Sharika Tharaadiva N
X IIS 3
There once lived a little girl near
the woods. Every day she would go out to town to buy bread and milk for her
mother. She would wash her clothes near the lake and hang them up during the
day beneath the warm sun. Every time she would go to town she could hear
whispers from the villagers, she knew she was different. She wanted to go to
school like the boys, she wanted to play ball with them, but she was to afraid,
she knew that girls weren’t allowed to do those things. Girls are supposed to
wash clothes, cook, clean and take care of house. She knew she had more
potential than that.
One day she sneaked into the school
for boys. She hid in the closet where the kids would put their backpacks in
during the day, she would sneak out during lunch, hoping nobody saw her. She
learned to read, write, do math and more. She continued to go to school for a
month until, she heard a knock on her door. She wondered who it could be, since
her house is in the middle of nowhere. She opened the door, it was Xavier, from
class.
“Alison, I knew you would be here,
that school is not safe for you.” he said.
“I can take care of myself, I cant
spend all day at home cooking and cleaning.”
“If anyone knew you were going to
school there, you would be in big trouble, but I see how much you love
learning.” He said
“How would you know?”
“I see you sneak during the back
door everyday, don’t worry I wont tell. But I agree with you, girls should have
a equal rights to learn as well. I will teach you every day, after school.” He
said.
“Thank you.” She smiled and she
couldn’t stop all day.
She met Xavier near the lake. He
brought books and they learned all day. They would run around the woods and up
the hill to watch the sunset. He would read her books until she fell asleep.
They would walk around town, she would pick up every pink flower on the ground
and sometimes she would put it in her hair, that made him smile. He made her
feel special, important.
One day, he didn’t show up to their
usual meeting spot. She waited all day, still nothing. 3 days, nothing. She
decided to go into the school. Xavier was absent for days. She went to his
house, she saw Xavier on the bed with a letter on the table. He died of cancer,
he wanted her to keep on learning, to make a difference in this village. Everyone
should go to school and learn, no matter their gender.
10 years has passed, Alison made a
school for boys and girls. She made a difference to the town just like what
Xavier said. She spent her whole day making kids smile and laugh.
Orangtua Bagi Amira
By: Safira Martiza
X IIS 3
Hari itu adalah hari pertama Amira pergi ke sekolah barunya.
Dia berangkat dengan perasaan campur aduk, sekelebat ingatan menghampiri
pikirannya ketika dia sedang menunggu bus Jakarta untuk datang ke haltenya.
Yaitu nasihat kedua orangtuanya. Orangtuanya berkata hati – hati dalam bergaul.
“Berbaur tetapi tidak melebur” itulah kata – kata ibunya yang selalu dia
rapalkan dalam hati.
Akhirnya bus datang, dan Amira perlahan naik kedalam bus tersebut. Dari sudut matanya
dia melihat seorang laki – laki berseragam SMA sedang menghisap rokoknya dengan
memejamkan matanya, yang langsung Amira tebak bahwa laki- laki itu satu sekolah
dengannya karna lambang sekolah di gesper laki – laki tersebut. Dalam Sekejap
tercium bau rokok disekitar Amira yang otomatis membuat Amira mengibas –
ibaskan tangannya diudara. Beberapa menit kemudian bus tersebut sampai didepan
sekolah barunya. Amira turun dari bus tersebut dan mulai memasuki area sekolah
tersebut.
Amira mencoba berkenalan dengan beberapa murid baru disana
yang disambut baik oleh mereka. Hingga seseorang menyapa Amira “Amira ya?”
tanya orang itu yang dijawab anggukan oleh Amira. “Namaku Nada.” lanjutnya. Setelah kejadian itu mereka
menjadi teman dekat yang sangat akrab karena memiliki beberapa kesamaan.
Setahun kemudian, Amira menjadi anak yang lumayan populer
akibat berteman dengan Nada, dia masuk kedalam kelompok terkenal atau yang anak
– anak lain bilang “geng” terkenal disekolah. Amira mulai melupakan kata – kata
orangtuanya yang dulu selalu dia ingat dikepalanya. Pada awalnya dia memang
ingin berbaur dengan cepat disekolah barunya yang memang terjadi, tetapi dia
melupakan kata – kata ibunya waktu itu, untuk tidak melebur kepada sikap
negatif teman – temannya. Tapi perlahan
– lahan dia mengikuti sifat negatif Nada yaitu suka membully adik kelasnya.
Hingga pada suatu saat, dia dan teman – temannya ingin
menemui adik kelasnya di kamar mandi untuk di “introgasi”. “Jadi kamu tak ingin
memberiku uang?” teriak Amira didepan muka adik kelasnya sambil mendorong
pundak adik kelas nya tersebut. “ma- maaf kak. Aku tidak membawa banyak uang”
jawab adik kelasnya tersebut dengan ketakutan. Amira dan teman – temannya masih
melanjutkan aksi palak – memalak tersebut tanpa sadar bahwa ada kepala sekolah
diujung pintu kamar mandi yang sedang mengamati mereka. Tanpa menunggu lebih
lama lagi kepala sekolah pun turun tangan dan membawa Amira dan teman –
temannya untuk keruangan kepala sekolah. Dan Amira bersama teman – temannya pun
mendapat hukuman skorsing 2 minggu.
Setelah kejadian tersebut Amira menyadari apa yang telah dia
perbuat. Dia menyesali apa yang telah di lakukan selama setahun belakangan, dan
memegang teguh apa yang dikatakan orangtuanya.
Komentar
Posting Komentar