KUMPULAN CERPEN X IIS 3





Barry si Monyet Sombong
By: Mesya Naila Safa
Kelas:X IIS 3


Simba sang raja hutan sedang berbahagia, istrinya telah melahirkan seorang pewaris takhta kerajaan hutan. Oleh karena itu Simba meminta pengurus kerajaan mengadakan sebuah festival untuk merayakan kelahiran anaknya. Selain itu Simba meminta diadakannya perlombaan yang bisa menjadi tontonan rakyat.

Salah satu perlombaan yang dilombakan adalah perlombaan melompat rintang. Kiki si kelinci, bertugas untuk merekrut para pesaing dalam perlombaan ini. Dan Barry si monyet masuk dalam salah satu kandidatnya.

Kiki kelinci mendatangi kandidat-kandidat pesaing yang turut akan memeriahkan perlombaan melompat kerajaan. Ketika Kiki kelinci menemui Barry, Barry langsung menolak mentah-mentah. Dengan angkuh ia menyatakan bahwa kehebatannya tak perlu diuji lagi, ia paling lihai dalam , itu sudah mutlak. Tapi Kiki si Kelinci berkata, jika Barry tak  ikut perlombaan ini, siapapun yang akan memenangi perlombaan nanti lebih berhak mendapatkan gelar juara melompat se-hutan karena sudah diakui oleh Simba sendiri. Dengan remeh Barry menerima tawaran itu , dan mengejek Kiki karena tak percaya bahwa dia akan memenangi perlombaan itu. Barry dikenal oleh para penduduk akan keangkuhannya.

Sebelum Kiki pergi, Kiki memberikan selembaran tentang tantangan yang akan peserta hadapi dalam perlombaan. Dan dengan mentah-mentah pula Barry menolaknya. 

Sebulan sebelum pertandingan, kandidat-kandidat lainnya sibuk menyiapkan diri mereka untuk ajang perlombaan. Mereka bersungguh-sungguh untuk mendapatkan gelar yang mereka impikan. Berbeda dengan Barry, Barry 
hanya bermalas-malasan di rumah. Dari 29 hari yang diberikan untuk berlatih, baru sehari sebelum bertanding Barry menyiapakan dirinya.

Tiba saatnya perlombaan. Para penonton mulai berbondong-bondong memadati pinggiran lintasan. Para kandidat juga sedang melakukan pemanasan ringan, begitupula Barry. Para kandidat lain memandang Barry takut, takut kalah bersaing dengannya. 

Para pemain bersiap-siap di garis start. Wasit bersiap untuk meniup peluit. Priittt, speluit berbunyi, para pemain berlari menuju rintangan pertama. Barry juga langsung tancap gas. Barry dengan mudah mendahului para peserta lainnya. 

Rintangan pertama adalah melewati genangan lumpur hidup dengan cara bergelayutan diatas pohon. Tidak semudah yang terpikir. Semua ranting yang terlihat memang tampak seperti ranting pada umummya, tetapi ada beberapa yang "menyamar" menjadi ranting. Seperti ular yang dicat menyerupai warna ranting, atau ranting yang sebenarnya patah tetapi dibentuk sedemikian rupa seperti ranting yang kuat. 

Barry dengan semangat menghadapi rintangan pertama. Langsung ia meraih ranting yang dia lihat pertama kali. Dan Barry pun jatuh. Jatuh? Barry yang lihai dalam hal seperti ini jatuh? Ya ia terjatuh.  Lumpur hidup segera melahap 
Barry. Cemoohan penonton santer terdengar. Barry sekuat tenaga mencoba keluar dari sana. Tetapi hal itu sia-sia. Semakin ia meronta-ronta, semakin kuat lumpur hidup menghisapnya. Barry ketakutan  dan cemas minta tolong dikeluarkan. Tim Medis Kerajaan datang menghampiri Barry, menariknya keluar. 

Barry  tak habis pikir dia akan langsung kalah segera setelah rintangan pertama dimulai. Dia sangat menyesal karena kesombongannya itu. Keluar dari lumpur hidup, Barry lari terseok-seok keluar dari arena pertandingan dengan menanggung rasa malu.





























Kerja Keras Membuahkan Hasil
By: Luthfia Nur Alyssa
Kelas :X IIS 3
Menjadi orang yang berprestasi pasti menjadi dambaan setiap individu. Dengan prestasi, kita bisa mendapatkan berbagai keuntungan. Sama halnya dengan Nindy yang sangat ingin menuai prestasi dengan mengikuti lomba menyanyi tingkat nasional. Diketahui, selama ini ia berkali-kali mengikuti lomba tetapi belum pernah menjadi juara. Sampai-sampai teman-temannya meragukan dirinya untuk mengikuti lomba. Teman-temannya bahkan rmeremehkannya.
Suatu ketika, Nindy sedang berjalan menuju ruang musik untuk berlatih. Saat hampir sampai di ruang musik, ia langsung disambut oleh celotehan-celotehan yang meremehkannya,
“Hey Nindy, sudahlah kamu nyerah aja, gausah ikut-ikut lomba lagi,”kata seorang temannya.
“Iya tuh bener, ngapain ikut, toh juga ga akan menang, cuma bikin malu aja!hahaha”ejek Doni.
Dengan perasaan tidak karuan, antara kesal dan sedih, ia memberanikan diri untuk menjawab,
“Terserah ya mau bilang apa, tapi setidaknya aku lebih berani mencoba daripada kalian yang hanya bisa mengejek,”
Dua temannya tadi hanya tertawa mendengar perkataan Nindy. Dalam hati Nindy, ia bertekad untuk membuktikan bahwa dia bisa memenangkan lomba itu. Dia berjanji akan terus berlatih dengan maksimal. Oh ya, Nindy adalah orang yang sangat pekerja keras. Ia akan terus berusaha sampai hal yang ia inginkan tercapai. Dengan keluarga yang terus mendukungnya tentunya. Namun, beberapa temannya terus meremahkannya. Terkadang itu membuatnya agak goyah untuk terus berusaha.
Ia pun merenungkan perkataan beberapa temannya yang meremehkannya. Saat itu juga, Ibunya berkata kepadanya,
“Tidak usah merenungkan hal itu. Ibu dan ayah yakin kamu pasti bisa. Mereka hanya iri karena tidak memiliki keberanian mengikuti lomba sepertimu,”kata Ibunya.
“Iya bu, aku mengerti. Aku akan berusaha untuk membuktikan bahwa aku pasti bisa menjadi juara,”balas Nindy.
Hari demi hari berlalu, Nindy dengan semangat dan dukungan keluarganya selalu berlatih dan berlatih demi mencapai keinginanya menajdi juara lomba bernyanyi tingkat nasional itu.
Sampai akhirnya, tiba saat di mana lomba itu dimulai. Nindy dengan ditemani Ibunya, menghadiri lomba itu. Dengan perasaan campur aduk, akhirnya nomor urut Nindy dipanggil. Sebelum memulainya, ia berdoa terlebih dahulu. Barulah kemudian, saat ia mulai menyanyikan lantunan nada yang indah dari sebuah lagu, juri dan para penonton terkagum-kagum mendengar suaranya. Sesaat setelah ia selesai menyanyikan lagu itu, tepuk tangan meriah dari para penonton dan juri langsung terdengar menggema di gedung itu. Nindy sangat senang mendengarnya.
Sampai akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu, yaitu pengumuman pemenang tiba. Nindy dan ibunya sangat cemas dengan hasilnya. Pembawa acara itu pun mengumumkan,
“Pemenangnya adalah... nomor urut 2!Selamat,”
Yaa, itu adalah nomor urut Nindy! Ia menang! Ia pun naik ke atas panggung untuk menerima piala. Setelah itu, ia menghampiri ibunya dan berkata,
“Alhamdulillah ya bu aku menang,”syukurnya.
“Iya alhamdullilah, Ibu yakin kok kamu bisa,”kata ibunya.
Keesokan harinya, saat di sekolah, teman-temannya, guru-gurunya mengucapkan selamat kepadanya. Doni dan beberapa teman lain yang seringkali mengejeknya meminta maaf. Nindy pun memaafkannya dan mereka menjadi teman dekat sekarang. Sekarang Nindy yakin bahwa dengan usaha dan doa, apa yang diinginkan bisa tercapai.













Brigitta RD
X IIS 3/5

Ketika Mereka Tahu

Namaku Karin. Hari ini tepat 2 bulan aku duduk di bangku SMA. Tidak banyak yang berubah, kecuali teman-temannya. Selama dua bulan ini aku sudah berhasil mendapatkan beberapa teman. 7 orang diantaranya sudah dekat denganku. Ya… setidaknya jauh lebih banyak dari perkiraanku.

Kenapa aku bilang begini? Karena di sekolah aku termasuk anak yang pendiam. Aku merupakan seorang penderita bipolar disorder sekaligus anak yang memiliki indra keenam. Singkatnya, aku bisa melihat hantu. 'Kelebihan’ tersebut sudah aku dapatkan sejak kecil. Sedangkan masalah gangguan mental itu baru kudapatkan setelah mengalami pembullyan di SD. Jujur, awalnya aku terganggu dengan kehadiran hantu-hantu itu. Ditambah lagi aku kesulitan untuk mengontrol emosi yang mudah berubah ini. Seringkali orangtua dan teman-teman memanggilku ‘aneh’ atau ‘gila’. Begitupun dengan teman-teman SMPku. Mereka menjauh perlahan-lahan tanpa bertanya sedikit pun kenapa aku begini. Sejak itu aku tidak mau dekat dengan banyak orang. Aku menjadi anak yang tertutup dan memilih diam karena aku tidak mau menakuti mereka. Satu-satunya teman setiaku adalah hantu-hantu itu. Mereka yang selalu menemaniku belajar dan menungguku saat tertidur di kamar. Miris memang. Tapi itu sungguh lebih baik dibanding melihat tatapan sinis dari orang lain.

“Hoi, jangan ngelamun!” tegur Sandra, temanku.

“Eh, iya. Hehe…,” aku menggaruk belakang leherku yang tidak gatal. Sebenarnya aku tidak melamun, tapi sedang menatap wanita berwajah pucat di sudut kelas. Kasihan, dia sedang sendirian.

“Kantin aja, yuk! Daripada dikelas bosen tau,” ujarnya lagi.

Aku menyambut ajakannya dengan anggukan. Kami berdua jalan keluar kelas. Ketika melewati hantu wanita itu, aku melemparkan seulas senyum tipis untuknya. Dia hanya menatapku datar. Huft. Setibanya di kantin, Sandra dengan semangat mengantre di salah satu tempat yang berjualan bakso. Ya, itu bakso favoritnya.

“Lo enggak mau bakso? Enak loh,” katanya. Aku hanya menggeleng pelan dengan senyum tipis. “Lagi diet, hehe,” jawabku asal. Andaikan saja aku bisa menjelaskan padanya kalau ada hantu penjilat di dekat gerobak bakso itu, mungkin Sandra tidak akan mau makan bakso itu lagi. Tapi sudahlah. Toh kalau aku bilang, itu hanya akan menambah masalahku.

Kemudian aku memilih duduk di salah satu meja bersama dengan 3 temanku yang lainnya, Sasa, Anna, dan Stella. Mataku menatap ke sekeliling kantin. Senyumku melebar ketika melihat seseorang yang baru masuk ke kantin. Reno, seorang cowok dari kelas X MIA 4 yang sangat kukagumi sejak hari MPLS. Tapi sayangnya perasaan itu harus kutepis jauh-jauh karena aku tidak mau mendekatinya sedikit pun. Aku tidak mau dia malu karena disukai oleh orang dengan gangguan mental sepertiku.

“Eh, kalian udah tau belom sih. Katanya abis jam istirahat ini bakal diadain razia tas gitu. Makanya abis istirahat kita nggak boleh masuk kelas,” ucap Anna.

Sasa menepuk dahinya. “Aduh, liptint gue masih di tas lagi! Disita nih pasti!”

“Untung enggak bawa liptint hari ini,” sahutku santai. Sepertinya Sasa orang yang paling cemas diantara kami semua.

Benar saja, ketika jam istirahat usai, kami diminta duduk di lapangan. Tidak ada seorang murid pun yang boleh masuk ke kelas. Guru-guru kami berhasil menyita beberapa novel, make up, dan barang yang tidak pantas dibawa ke sekolah. Setelah diceramahi habis-habisan, kami diizinkan kembali ke dalam kelas.

“Karin, dicari Bu Rina!” teriakan Shafa membuat seisi kelas menjadi hening. Dipanggil guru BK memang membuat deg-degan.

Aku berjalan tenang menuju ruang BK. Entah kenapa aku memiliki firasat aneh. “Permisi, Bu. Ibu Rina memanggil saya?”

“Oh iya, Karin. Silakan duduk,” Bu Rina mempersilakan aku duduk. Wajahnya sangat ramah, tidak segalak guru BK kebanyakan. “Tadi Ibu menemukan ini di tasmu,” Bu Rina menyodorkan sebuah buku.

Mataku terbelalak. “I-itu buku diari saya, Bu.”

Bu Rina mengangguk pelan. “Ibu tau. Maaf, tadi tidak sengaja terbuka. Ibu sudah baca tulisanmu.”

Dadaku berdebar-debar. Bu Rina menggenggam tanganku. “Ibu sudah tau. Ibu mengerti,” ucapnya lembut.

Hanya dengan 2 kalimat sederhana berhasil membuat air mataku mengalir pelan.

Mengerti.

Itu yang aku ingin dengar selama 7 tahun ini. Aku ingin orang lain mengerti dengan kondisiku. Aku sudah cukup frustasi karena tidak seorang pun memahami keadaanku, termasuk keluargaku sendiri. Mereka menganggap aku bertingkah lebay ketika aku tidak bisa mengontrol emosiku. Mereka menganggapku aneh ketika aku bilang bisa melihat hantu. Percayalah, itu semua bukan keinginanku. Orang mana yang mau dirinya mengalami gangguan mental? Tidak seorang pun mau itu. Gangguan mental itu muncul begitu saja setelah aku terbayang-bayang dengan kejadian pembullyan dulu. Tapi tidak seorang pun memahamiku.

“Saya capek, Bu,” ujarku, akhirnya. Masih dengan tangisan yang belum berhenti.

Bu Rani menggenggam tanganku erat. “Sabar ya. Kamu udah boleh tenang. Disini enggak akan ada yang bully kamu lagi. Enggak akan ada yang menghina kamu. Mereka juga pasti bisa mengerti kok. Ibu janji,” katanya lembut.

***

Sejak pembicaraan panjang di ruang Bimbingan Konseling, rasanya aku bisa lebih tenang. Aku lebih percaya diri. Aku semakin yakin kalau indra keenam ini adalah suatu kelebihan dari Tuhan. Dan aku semakin yakin bahwa menderita bipolar bukan berarti aku gila. Mulai detik ini aku janji, bahwa bipolar disorder dan pengalaman burukku di masa lalu tidak akan memengaruhiku di masa kini.

Aku Karin, umurku 15 tahun. Dan aku penderita bipolar disorder.

Having bipolar disorder doesn't mean you are broken. It means you are strong and brave for battling your mind every single day.











Nama                   :         Salsa Khusnus Solekhani (31)
Kelas          :         X IIS 3
Obat-obatan
Senja mulai menampakkan batang hidungnya. Menandakan gelap dan sunyinya malam mulai datang. Dunia malam bukan hak asing bagi seorang remaja laki-laki bernama Nata. Entah apa yang dia lakukan saat malam, yang jelas Nata jarang sekali berada di rumah. Banyak orang yang berfikir bahwa peringainya ini disebabkan karena ayahnya adaah salh satu pejabat negara.Sudah beribu-ribu kali ia pergi dari rumah saat tengah malam dengan mobil yang ayahnya berikan. Namanya mungkin tidak asing lagi untuk polisi. Namun ia selalu lolos dari polisi ntah apa yang diperbuat, dan orangtuanyapun tidak tau menau tentang hal ini.
Pernah pada suatu malam, ayah Nata dihubungi polisi karena suatu hal. Anaknya ini tertangkap membawa banyak obat-obatan di dalam mobilnya. Siapapun yang melihat obat sebanyak itu tentunya akan berfikiran negatif. Kasus yang dialami Nata kali ini adalah kasus yang paling serius yang ia buat. Kini Naka ditahan di penjara bukan lagi akibat kebut-kebutan atau menabrak mobil orang. Ayahnya sangat marah dan merasa kecewa. Namun saat ditanya mengapa Nata membawa banyak sekali obat-obatan, ia tidak pernah mau menjelaskan. Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya
“Biarkan saya menjelaskan sendri kepada polisi serta ayah saya saat persidangan nanti, sekarang saya hanya butuh sekumpulan anak terlantar di tempat kalian menangkap saya ” ucap Nata dengan nada datarnya.
Pada awalnya polisi tidak memperdulikan ucapan Nata. Namun selama ia di tahan ia hanya mengucapkan kalimat tersebut, maka pihak kepolisian memutuskan untuk mencari anak-anak terlantar yang Nata maksud sebagai saksi apa yang telah dilakukan Nata pada malam tersebut. Para polisi kesulitan menemukan anak-anak itu, karena pada lokasi penangkapan hanya terdapat sekumpulan orang dewasa yang nampak kebingungan. Tidak satupun dari mereka yang peduli akan kehadiran pihak kepolisian.
Hingga akhirnya salah satu polisi menemukan seorang anak dan hendak menanyakan dimana anak-anak yang lainnya. Anak itu hanya menggeleng dan berkata
“Pak polisi tidak perlu tahu” jawab anak itu takut-takut
“Kenapa? Saya mempunyai amanat untuk membawa sekompok anak untuk dijadikan saksi pada persidangan salah seorang remaja” Jawab pihak polisi
“Siapa nama remaja itu? Anak itu mulai penasaran
“Natakha Alvaro” jawab polisi singkat
“Aku mau ketemu dia, tolong pak polisi anterin aku kesana ya” balas anak itu antusias
Pada saat hari persidangan tiba, ayah Nata sangat bingung karena pengacara yang membela Nata tidak memiliki cukup bukti, mendapat kejelasan tentang kasus yang Nata alamipun tidak. Berbeda dengan Nata yang bersikap sangat tenang karena ia sudah mengetahui bahwa saksi yang ia minta akan hadir menemani.
Persidangan pun dimulai. Banyak pihak yang menuntut Nata karena dianggap ia adalah seorang pengedar narkoba. Pengacaranya Nata hanya bisa membantah sedikit-sedikit. Hingga akhirnya saat untuk saksi berbicara membuat seluruh orang yang ada di persidangan menjadi diam tanpa bantahan sedikit pun. Anak itu berkata yang sebenarnya
“Aku datang kesini bukan paksaan dari pak polisi, namun aku mau menolong kak Nata yang kalian sebut sebagai pengedar narkoba.”
Para hadirinpun mendengarkan dengan saksama
“Malam itu kak Nata membawa banyak sekali obat-obatan untuk teman-temanku. Mereka semua terserang wabah yang membuat mereka sudah tidak lagi bisa menemaniku. Mereka sudah tidak lagi sehat karena obat yang harusnya dibawa kak Nata untuk diminum tidak sampai-sampai. Semua orang kebingungan tidak tau siapa lagi yang dapat membantu. Hingga satu persatu temanku pergi selama-lamanya. Kak Nata bukan pengedar narkoba. Aku dan teman-temanku adalah alasan kenapa kak Nata melanggar lalu lintas, mengebut, serta membawa banyak obat. Itu karena dia lah yang pontang-panting membawa kami ke rumah sakit serta membayar seluruh tagihannya. Kalian tidak pernah peduli pada rakyat kecil seperti kami, anak terlantar. Kalian hanya memikirkan bagaimana caranya agar kami tidak mengemis belas kasihan di lampu merah tanpa mempertimbangkan alsan kami melakukan itu semua,” Anak itu menjawab sambil menahan sesak ingin menangis
Seluruh orang yang ada di dalam persidangan tercengang. Hingga akhirnya para polisi mengecek sendiri ke rumah sakit dimana teman-teman anak terlantar tersebut berada. Mereka menanyakan apa saja yang telah seorang Nata lakukan terhadap mereka. Jawaban mereka sama
“Nata menolong kami, ia selalu menolong kami mengatasi kesulitan. Namun belakangan ini dia tidak datang mungkin karena saat ini dialah yang sedang mengalami kesulitan.” Jawab para orangtua dari anak-anak terlantar tersebut.
Seluruh polisi yang menyelidiki kasus ini sangat tidak menyangka dengan apa yang sebenarnya telah Nata lakukan. Karena semua bukti yang sangat kuat untuk membuktikan bahwa apa yang telah Nata lakukan adalah perbuatan baik yaitu untuk menolong. Maka pihak kepolisian memutuskan untuk membebaskan Nata. Sejak saat itu pihak kepolisian sering mengunjungi warga yang pernah dibantu Nata. Apa yang dilakukan Nata sudah membuka banhyak mata dan karena itulah ia memiliki pembawaan tenang saat tertangkap polisi.










Genoveva Brigitta
X IIS 3 / 14
Pengalaman Yang Berharga
                Hari ini aku akan menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS)di sekolah yang baru ini. Oh ya, kenalkan nama aku, Christella atau biasa dipanggil Stella, sekarang aku bersekolah di SMAN 68 Jakarta. Aku ingin menceritakan kejadian ku berkenalan dengan seorang murid pria yang sama-sama menjalani MPLS di SMAN 68 ini. Saat itu aku berkenalan dengannya ketika aku berada di Restoran makanan cepat saji yang berada di dekat sekolahku.Disaat itu aku , dan teman angkatanku sedang menjalani kegiatan Pra-MPLS, saat sedang mendengarkan di lapangan kejadian tidak mengenakkan menimpaku, aku pingsan karena belum sempat sarapan sebelum berangkat , oleh karena itu aku harus beristirahat di UKS dan Mamaku datang untuk menjemputku , dan membawaku makan di restoran. Lalu ada seseorang yang tiba-tiba bertanya kepadaku “Eh lo anak 68 ya?” dan aku menjawabnya dengan “iya,lo juga ya?”, lalu dia menjawabku “iya, eh duluan ya”. Sebenernya aku ingin menanyakan namanya dan juga kelasnya , tapi dia sudah pergi duluan jadinya aku tidak sabar menanti hari senin karena aku sangat penasaran dengannya.
                Kegiatan hari Senin diawali dengan upacara pembukaan MPLS dan silahturami dengan guru-guru. Saat ingin mengantri untuk bersalaman dengan guru, aku melihat dia di depanku dan disaat itu pula aku mengetahui kalau Ia bernama Juan dari nametag yang Ia kenakan. Lalu Ia berkata “hai, eh lo yang kemarin ketemu pas hari Sabtu ya? Sampe lupa waktu itu kenalan, kenalin nama gue Juan, salam kenal ya, loh kok lo gak pake nametag? Saat itu aku tidak tahu kalau harus memakai name tag ketika upacara dan aku menjawabnya dengan “iya gue kemarin yang ketemu lo pas hari Sabtu, salam kenal ya nama gua Stella” dan dia akhirnya pergi karena dipanggil oleh temannya dan aku juga bergabung dengan temanku.
                Akhirnya aku masuk ke kelasku yang berada di lantai 4, ketika ingin memasukki kelas aku bertemu dengan Juan lagi yang ternyata sekelas denganku, kita berdua sama-sama kaget karena ternyata kita akan menjadi teman sekelas, saat pemilihan ketua kelas ternyata Juan terpilih menjadi ketua kelas yang baru, dan aku terpilih sebagai sekretaris yang baru.Ternyata wali kelas kami menyuruh ketua dan sekretaris yang terpilih untuk membuat jadwal piket yang baru.
                Saat pulang sekolah aku pulang dengan menggunakan angkutan umum karena sekolahku terletak di daerah yang sangat padat kendaraan. Jadi, aku memilih untuk pulang dengan Transjakarta, ketika aku menunggu Bus yang menuju ke tujuanku, aku bertemu dengan Juan, dan ternyata dia juga turun di halte yang sama denganku, di perjalanan menuju rumah dia mengajakku untuk mengobrol bersama, tentang sekolah yang dulu, dan ternyata dia banyak mengenal teman-temanku ketika SMP karena pernah bertanding bersama. Tak terasa, akhirnya aku sampai juga di halte yang aku tuju, dan aku harus berpamitan dengan Juan karena arah tujuan akhir kami yang berbeda. Sesampainya di rumah, saat aku mengecek line , ternyata Juan mengechat aku untuk membuat bersama jadwal piket yang ditugaskan oleh wali kelasku.
                Hari ini adalah pelaksanaan demo ekskul yang bertujuan untuk mengetahui dan mengenal ekskul apa saja yang ada di SMAN 68 ini. Aku tertarik untuk mengambil ekskul basket yang latihannya akan dimulai sejak besok, dan ternyata Juan juga mengambil ekskul yang sama denganku. Seiring berjalannya waktu, aku semakin dekat dengan Juan karena kita sering pulang bersama, ekskul bersama,mengerjakan tugas bersama, dan hal-hal lainnya.
                3 tahun berlalu, dan akhirnya aku memasuki jenjang kuliah. Perjuanganku di SMA ini tidak sia-sia, akhirnya aku masuk di Universitas Indonesia jurusan ekonomi, Juan pun juga diterima di Universitas Indonesia jurusan ekonomi. Dan kami pun bersahabat selamanya.


















Pemerah Susu dan Embernya
Suatu masa, tinggallah seorang wanita yang bekerja di sebuah perkotaan. Suatu ketika, ia dikabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia sehingga ia harus kembali ke desa untuk menjalankan peternakan ayahnya. Ayahnya juga meninggalkan sebidang sawah yang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayahnya meninggalkan seekor sapi betina yang sedang hamil, dan seekor banteng yang digunakan untuk membajak sawah. Ia pun ditantang untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup hanya dengan menggunakan sisa hasil peninggalan ayahnya.
Tak terasa, sudah 6 bulan ia menjalani peternakannya sendiri. Selama 6 bulan, ia berhasil mengelola peternakan dengan baik. Hasil sawah ia jual untuk memenuhi kebutuhan. Tak terasa, musim dingin pun tiba. Seluruh tanaman kering ditutupi salju. Ia berpikir keras bagaimana cara untuk tetap bisa bertahan hidup tanpa menjual hasil sawah. Ia pun teringat bahwa sapi betinanya yang sedang hamil menghasilkan susu. Ia pun bergegas mengambil ember untuk memerah sapinya.
Sambil memerah sapi, ia membayangkan apa yang bisa ia buat dengan susu hasil ternaknya. Ia bisa membuat mentega dan keju dari susu agar mendapat nilai jual yang lebih tinggi. Selesai memeras, ia membawa ember susunya di kepalanya. Sambil berjalan, ia membayangkan apa yang bisa ia lakukan dengan uang penjualan susunya. Ia akan membeli ayam dan ayam-ayam itu akan bertelur. Telur-telur itu akan menetas dan ia mendapat lebih banyak ayam yang akan menghasilkan lebih banyak telur. Ia akan menjadi kaya dengan uang-uang itu.
Tak disadari, ia mengangguk-angguk sendiri menyetujui idenya. Seember susu yang ia bawa di kepalanya jatuh ke tanah. Dengan itu, hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, keju, ayam, uang, dan kebanggaannya. Uang hasil ternak yang harusnya ia gunakan untuk membeli makan hari itu hangus. Ia pun harus menunggu keesokan harinya agar bisa memerah susu lagi.












Hari ulang tahun berdarah
By : Raihan Ananda
X IIS 3

Namaku Rani, aku adalah anak terakhir dikeluargaku. Seharusnya sebagai anak terakhir aku dimanja-manja oleh orang tuaku, diberi kasih sayang setiap harinya, diberi kado doa dan ucapan ketika ulang tahun, diberi semangat dalam lomba dan ya seperti anak yang paling disayang. Tetapi itu tidak terjadi sama sekali terhadapku tidak sekalipun tidak akan pernah. Orang tuaku lebih sayang kepada kakakku Dina, mereka selalu membanggakannya,mengutamakannya selalu dimanja memberikan semua yang ia mau. Sedangkan aku? tak pernah sama sekali, mereka selalu menjadikanku yang terakhir bahkan tak penting lagi aku selalu diabaikan tak pernah dianggap ada.Ulang tahunku pun mereka tak ingat, mereka lupa kapan aku dilahirkan, aku tidak pernah diberi ucapan, dan aku ingin tau apakah nanti mereka semua akan ingat dengan ulang tahunku.

Aku ingin mengeluarkan semua amarahku, kesedihanku, semua yang telah aku pendam selama ini di hari ulang tahunku nanti. Aku akan membunuh mereka, mereka yang tidak ingat ulang tahunku. Mereka yang tidak pernah menyayangiku

23.13 WIB
Aku bangun dari tidurku, menyiapkan alat-alat yang akan aku gunakan nanti. Entah itu pisau, kapak,atau jarum suntik milik ayahku. Aku juga menyiapkan kue yang telah ku buat sendiri. Kue sederhana dengan lilin kecil di tengahnya, dengan warna merah darah yang aku dapatkan bahannya di ruang praktik kedokteran ayahku dibungkus dengan plastik yang bertuliskan nama seseorang. Tapi aku tidak perduli itu, aku akan tetap menyiapkannya untuk aku makan nanti tepat jam 12 malam. Aku sempat kebingungan akan menggunakan pisau, kapak, atau jarum suntik itu apa semuanya, entahlah yang pasti aku akan menggunakan salah satu dari alat-alat itu nanti.

23.59 WIB
1 menit lagi ulang tahunku. Aku sudah menyiapkan kue lezat ini di hadapanku. Hanya dengan menghitung detikan saja aku akan meniup lilinnya lalu menyantapnya. 9 8 7 6 5 4... 3... 2... 1 "fiyuhhhh" aku meniup lilinku tepat pada jam 00.00. Kini
saatnya dimulai
Aku membuat harapan agar semua amarahku yang telah kupendam selama ini agar terbalaskan. Kemudian aku memakan kuenya dengan lahap walau terasa sedikit hambar.
 00.15 WIB
Aku berjalan ke kamar kakakku dengan pisau yang kugenggam di belakangku. Aku akan membunuhnya terlebih dahulu, karena semasa hidupnya dia selalu membuatku menderita membuat orang tuaku mengabaikanku, kini saatnya untuk membalasnya. Kini aku telah disamping kakakku. Kakakku tertidur sangat pulas, aku mencoba membangunkannya.
"Kak Dina, bangun." ucapku dengan lembut. "Ahhhh apaan sih aku masih ngantuk ngerti ga sih" bentak kakakku masih dalam keadaan menutup mata. "Kakak ingat hari ini hari apa?" tanyaku dengan menyeringai. "Ahhh aku sudah bilang aku masih ngantuk Aku tidak perduli sekarang hari apa ngerti" bentak kakakku lagi. Aku hanya menyeringai lagi dan menyiapkan pisaunya untuk segera menusuknya. "sudah pergi sana" bentak kakakku lagi sambil menengok ke arahku dan kemudian aku menusukkan pisauku tepat ke arah mulutnya. Kuhujamkan pisauku ke mulutnya berkali kali hingga tak terasa pisauku sudah hampir membelah dua kepalanya, darahnya pun bercucuran. Namun Ia masih saja meronta-ronta. Aku pun menusukkan pisauku tepat dijantungnya dan membiarkannya terus menancap. Malaikatpun mencabut nyawanya. Haha teriakku dalam hati akhirnya 1 dendamku terbalaskan.

00.45 WIB
Aku menyiapkan alat yang lain, kapak di genggamanku dan suntikan biusnya di kantung celanaku. Aku menuju kamar kedua orang tuaku. Kebetulan sekali, ayahku sedang berjalan menuju kamar kakakku. Dengan segera aku bersembunyi dan mengendap-endap berjalan di belakangnya. Saat aku sedang mengikutinya. Tiba-tiba ayahku berhenti dan menengok ke arah bawah saat aku telurusi ia sedang memperhatikan jejak kaki berwarna merah (darah kakakku) di lantai "sial" aku lupa untuk membersihkan diriku. Aku pun segera berlari kearah ayahku, sebelum ayahku melihatku. Aku pun mengambil posisi untuk membunuhnya. Ayahku menengok ke belakang "Ayah ingat dengan hari ini?" ucapku ke ayahku sambil mengangkat kapakku "Rani apa yang kau . . ." Ucap ayahku terpotong, aku telah menebas kepalanya darah bermuncratan dari kepalanya. "AAAAAAA" Teriak ibuku, ternyata ibuku sedang mengamatiku yang telah memotong kepala ayahku. Aku menghampirinya dan mencoba untuk mengarahkan kapakku ke kepalanya. Tetapi ibuku menahannya "Anak durhaka kau" Teriak ibuku dengan ketakutan dan amarahnya sambil mengeluarkan air matanya. Aku tidak hanya diam, aku segera mengambil jarum suntik dari kantungku. Aku menusukkannnya ke ibuku. Dia tersentak kesakitan dan beberapa detik kemudian dia pingsan. Ternyata obat biusnya bekerja. Ku seret ibuku ke gudang tempat dimana aku sering meluapkan amarahku. Dimana ada 3 boneka besar yang aku ibaratkan mereka. Saat aku kesal aku berlari ke gudang dan menusuk-nusuk boneka itu. Sekarang aku telah mengikat tangan ibuku dibesi dan kakinya dibesi yang lain. Aku akan menunggunya sampai aku terbangun, dan aku akan menusuk-nusuknya seperti boneka boneka itu.      

03.48 WIB
‌Kini aku telah membawa mayat kakakku dan ayahku tidak lupa dengan kepalanya yang telah terpisah. Mati ataupun hidup mereka selalu menyusahkanku. Ibuku sudah bangun kini ia meronta-ronta dan memaki diriku agar aku melepaskan ikatannya. "Ibu apakah kau tak ingat hari ini hari apa? ucapku dengan polos. "Tidak ingatkan?Hah?"jawabku kini dengan nada yang lebih tinggi. "eee hmm haaari hahahari" ucap ibuku terbata-bata karena tidak tahu. "Lupa ya? hah? menyayangiku saja tidak pernah bagaimana kamu bisa tahu hari apa ini" bentakku lagi. "Kau tak ingat siapa yang kau lahirkan pada tanggal yang sama seperti sekarang? Aku pada tanggal dan bulan yang sama aku telah kau lahirkan? kau tak ingat? hah? Ini hari lahirku" bentakku lagi lebih keras "Mamamaaf ibu tau hari ini kamu berulang tahun tatappi.." Jawab ibuku. "hahaha ya kamu tau karena aku sudah beritahukan" bentakku lagi. "Kini semuanya sudah terlambat tak ada lagi maaf untukmu ibu, kau telah melupakanku, kini aku akan membalasnya" jawabku sambil mengangkat pisau yang mengkilap di tanganku. "jajajangan jangan, ibu mohon jangan nak. Aku sangat sayang padamu." mohon ibuku. "Diamlah Ibu, aku sedang mencoba untuk menikmatinya" ucapku, "tolong maafkanl......" ucapan ibuku terpotong dengan pisau yang tertancap tepat ke mulutnya yang cerewet, akhirnya tibalah saat dimana aku bisa meluapkan segala amarahku dengan menusuk lubang matanya, kugoyang-goyangkan pisauku keatas dan bawah, ibuku hanya bisa mengeram kesakitan dengan mulut yang bercucuran darah, kemudian aku mengambil pisauku namun bola matanya masih tertancap di pisauku, dengan perasaan sedikit jijik bercampur dengan rasa senang aku melepas pisau itu lalu kuraih kapakku melayangkan memotong kepalanya. Aku ingin memulai hidup yang baru kembali tanpa keluarga dan sama seperti dulu tanpa kasih sayang. Aku pergi dari rumah dan meninggalkan pesan bertuliskan "Sebenarnya aku sangat menyayangi mereka tapi Mereka Lebih Baik Mati".











First Look
By: Rizky Ajie Pratama
X IIS 3


Langkah sepatunya masih terdengar nyaring. Menggelegar dan meraung di ujung
daun telinga ku. Hatiku seperti memintanya untuk kembali, menikmati 46 detik percakapan yang baru kulalui. Rancu, sepertinya aku terpeleset oleh pesonanya. Rasanya ini pertama kali aku bertemu denganya, namun sudah serasa seperti sudah pacaran 5 tahun nyaris hijab qobul.
Masa SMA memang aneh untukku. Terlebih karena aku lulusan Pesantren di Tempat antah-berantah. Hampir tidak pernah liat akhwat di dunia nyata. Paling sesekali, caraka di gedung madrasahku seorang perempuan yang berumur 40 tahunan. Aku sering melihatnya sepulang madrasah. Karena itu, ibarat Indominus Rex dalam film Jurrasic world yang kaget ngeliat dunia di luar kandangnya. Akulah sang indominus itu yang takjub sendiri melihat akhwat atau sebut saja perempuan berdandan baju sekolah SMA. Nama ku Hafizh dan aku anak SMA
Namanya Aura, mungkin dari Aurelia atau Aurora. Dia selalu melewati kelas ku tiapkali bel ISHOMA berbunyi. Saat itulah aku “cuci mata” Astaghfirullah, menikmati 3 detik pemandangan. Kadang, aroma parfum Bodyshop nya menggelitik di hidungku. Meledek, sapa piss...ajak kenalan piss...buruan, sikat pis. Setan memang menyesatkan. Terkadang ia melihat dan tersenyum ke arahku. Aku hanya bengong kaya orang idiot. Senang sekali bisa menikmati momen itu.
“Tan, beli piscok ama taichan berapaan?”, tanya ku sama tante Sumi. “Satu dua ribuan tong, kayak kagak pernah beli aja”, balas tante Sumi. “Nih tan adanya gocapan, ada kembalian gak?”, kata ku minta kembalian. “waduh, gaada pis cari pecahan sana.” kata tante Sumi. “nih tan, saya yang bayarin”Aura mengulurkan duit selembaran lima ribuan. “tuh makasih pis.”kata tante Sumi. “eh..iii..iyaa..Makasih”kataku lara. “iya, sans..eh BTW nama lo siapa?”....Rancu.
Kami pulang bersama setelah istirahat lalu berkenalan. Anak SMA lain pulang pakai moge – moge kayak Ninja, CBR, R25, dll. Dia pun mengikutiku pulang dengan menggunakan TransJakarta. Aku memilih TJ karena aku gak mau ngerepotin orangtuaku buat ngerogoh saku mereka untuk beliin moge. Lagipula, lebih baik aku menyimpanya untuk kuliah. Dia banyak bercerita tentang Sekolah Menengah Pertamanya. Katanya dia disukain cowo borju gitu, tapi dia gak suka. Dia suka tipikal Cowo sederhana dan loveable. Aku gak begitu ngerti soal cowo “loveable” tapi yah, i will try.
Ibu ku di diagnosa mengidap penyakit leukimia. Tersentak, seperti penopang tubuh ku terhanyut dan terbawa arus. Membuat fokusku bubar tak karuan. Tak ada waktu tuk memikirkanya. Sudah 25 line chat darinya yang belum aku read. Rasanya aku kejam, setelah dia menyadari kode – kode dariku aku menghilang. Menghilang dari dunia nyata, maya, maupun dunianya. Maaf, aku takut terlalu mencintaimu.
Ruang tunggu itu hening. Hanya suara decitan mesin print resep yang terdengar. “Passien Anna” suara itu memecahkan keheningan itu. Aku langsung menghampiri stand bertuliskan “PENGAMBILAN OBAT” ketika mendengarkan nama ibu ku disebut. “yang ini di minum 3X sehari ya mas, kalo yang ini cukup 1X sehari”, kata Apoteker. “Makasih ya mas.”,kataku. “Jadi, ibu lo sakit,lo gak kasih tau gw fizh?”...Aura.
“AURA?”aku terkaget dan memeluknya. “lo ngapain disini?”kataku. “gue tau fizh, gw tau perasaan lo.”katanya. “Gue nyesel, dan gue mau lo.”...

            “Ra, gue seneng lo mau nerima gue, Tapi gak sekarang”kataku. Dia tertegun mendengar kata – kataku. Terlukis di wajah manisnya rasa kecewa dan sedih. “Ibu gue kritis ra, dia butuh gue”kataku. Tetes airmata mulai mengalir di wajahnya menambah cantik di wajahnya. Aku tersenyum dan menghapus air matanya. “sans”kataku. “Hah”dia penasaran maksud dari ucapanku. “iya, kata pertama yang terucap saat pertama kita ketemu”. Kata ku.
“kata yang memecah kecanggungan gue sama lo”kataku. Dia tersenyum. “tunggu 10 – 12 tahun lagi, gue bakal kembali untuk mempertanyakan kembali cinta itu”kata ku. Ia tersenyum lalu memelukku. Terima kasih, itu sudah cukup bagiku












Akibat Kelalaian Ira
By : Fathiya Irfani
X IIS 3

Pada liburan kemarin, Iza, Ira, dan Zahir berlibur ke Taman Safari bersama-sama.
Ada pengalaman yang takkan kulupa. ketika selesai melewati lorong yang berisi reptil kami menuju sebuah taman yang isinya gubug-gubug yang didalamnya ada sebuah macan yang telah jinak, Zahir ingin masuk ke gubug untuk berfoto dengan macan, "Ira tolong foto aku dengan HPmu ya! Jangan lupa untuk mematikan lampu senter pada pengaturannya, karena tidak diperbolehkan oleh pihak kebun binatang, Ra", perintah Zahir. Ira langsung asal pencet saja, karena dia pikir pasti lampu senter pada HPnya tidak akan menyala ketika siang hari. Tiba-tiba ketika Ira memfoto Zahir, lampu senter pada HPnya menyala, Macan pada gubug itu pun langsung loncat. Zahir langsung mengumpat ke belakang gubug. Semua orang yang berada disitu sangat terkejut dan berlarian kemana-mana. Untung saja pawang para macan itu langsung datang ke gubug itu. Lalu Zahir langsung keluar dari gubug dan ketakutan akibat kelalaian Ira.













Popo si tikus yang nakal
By: Ori Muhammad
X IIS 3
Dahulu ada kelompok tikus yang menetap di atap sebuah restoran,di dalam kelompok itu terdapat tikus tikus muda yang suka bermain di dapur restoran.Salah satunya bernama Popo.Popo sangat nakal,ia selalu melanggar nasihat kakek tikus.

Suatu hari Popo sangat bosan,ia mengajak teman temannya bermainke aula restoran,padahal kakek tikus selalu berkata jangan pernah bermain direstoran pada siang hari. "Aku tidak mau ikut,kakek selalu bilang untuk tidak bermain di restoran pada siang hari," kata teman Popo."Pasti kakek menyimpan sesuatu yang menyenangkan dibawah sana, Ayolah kita harus melihatnya!" Popo meyakinkan "Aku tidak mau,kamu saja sana!". "Baiklah aku akan pergi sendiri." Akhirnya Popo pergi bermain sendirian.

"Huh mereka semua menyebalkan,padahal disini kan sangat menyenangkan." Popo yang baru sekali main di restoran pada siang hari sangatlah senang karena melihat aula penuh dengan pengunjung. 
"ADA TIKUS DIBAWAH SANA!!!" Teriak seorang pengunjung,setelah itu semua pelayan mengejar Popo. Popo sangatlah ketakutan,untungnya di dekat pintu dapur ada lubang untuk menuju ke atap, selamatlah popo walaupun kakinya terjepit di lubang tadi.

Popo menangis sambil menghampiri ibunya,ibunya bertanya apa yang terjadi lalu Popo menceritakan semuanya. "Nak janganlah sekali sekali melanggar perintah orang tua,mereka lebih mengetahui yang baik untuk kamu". Setelah mendengar nasihat ibu, Popo jadi sadar dan berjanji tidak melanggar nasihat orang tua.










Hari
oleh Najla Khalishah Andanti
X IIS 3

Aku membuka mataku, menatap langit-langit kamarku. Ruangan ini sangat gelap, walaupun aku bisa melihat sedikit. Aku beranjak dari kasur dan menyibakkan gorden-ku. Sinar matahari langsung menyinari kamarku, walau agak redup.
Di luar sana, di sebuah kota yang maju, kehidupan telah berlangsung. Gedung pencakar langit di mana-mana, kendaraan sudah memenuhi jalan raya, asap kelabu mengepul di udara, membuat jendelaku sedikit kotor. Untung saja, aku tidak membukanya. Asap itu beracun. Maksudku, itu polusi, tentu saja beracun.
Jangan sekali-kali kalian melihat ke atas langit. Matahari selalu bersinar lebih terang setiap hari. Langit tidak lagi berwarna biru. Kini, berwarna abu-abu. Asap telah menutupi langit Bumi.
Tidak hanya dari Indonesia, asap-asap itu juga berasal dari negara lain, terutama negara industri. Kalau kalian tanya di mana pepohonan untuk menanggulangi polusi udara, aku akan menjawab kalau populasi mereka tinggal sedikit.
Sekarang, ada yang namanya oksigen buatan, yang dipasang di setiap jalan dengan jarak 200 m per-benda itu.
Aku memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Air yang keluar lebih sedikit hari ini. Aku tersenyum miris. Tentu saja sedikit, air yang tercemar sudah meningkat. Jika dulu hanya berwarna cokelat, sekarang air d danau berwarna-warni. Hijau tua yang menjijikkan, kuning pucat, dan biru yang terlalu mencolok. Bahkan, kali di dekat apartemenku berwarna hitam.
Selesai mandi dan berpakaian, aku meraih tas dan memasang sepatuku. Walaupun ini masih jam tujuh, sedangkan kelasku dimulai pukul 10, aku sudah keluar dari apartemenku. Tak lupa aku memakai masker khusus yang dapat menyaring polusi udara. Dan, kacamata khusus untuk menghindari debu dan pasir.
Walaupun ibukota sedang mengalami kehancuran, aku cukup menikmati jalan pagiku. Mengamati kehidupan di ibukota telah menjadi daya tarik tersendiri bagiku. Aneh, memang.
Kali ini, aku mengambil jalan yang berbeda dari kemarin untuk sampai ke kampus. Aku tidak takut tersesat. Tinggal melihat dari atap gedung dan mencari gedung kampusku yang berwarna sangat mencolok.
Ketika aku melewati jalan raya, kendaraan sama sekali tidak bergerak. Inilah mengapa kita perlu berjalan kaki saja untuk sampai ke kantor atau sekolah. Atau, bisa aja pergi dengan kereta. Tetapi, biasanya, jam enam sudah ramai.
Ketika aku berbelok ke arah gang sempit, aku bisa melihat banyak sampah yang berserakan dan ebberapa orang yang tidur di jalan. Kekayaan mungkin sudah dialami penduduk Indonesia, tetapi kemiskinan juga merajalela.
Menyedihkan, memang, tetapi, apa yang bisa kuperbuat? Kita semua berusaha bertahan hidup di dunia yang sudah tercemar ini. Paham individualisme telah berkembang pesat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh bagian dunia.
Ketika aku keluar dari gang, aku disambut oleh kemacetan lainnya di sebuah jalan raya. Aku memilih untuk berbelok ke arah kiri. Aku berjalan sambil memandangi sekitar. Semua pejalan kaki menggunakan masker. Beberapa menggunakan kacamata anti pasir.
Mataku menangkap papan reklame sebuah kafe. Kebetulan juga, aku belum sarapan. Aku memasuki kafe bernama Spring Day itu. Nama yang bagus, tetapi tidak sesuai dengan keadaan.
Di ruangan tertutup itu, banyak orang yang menghisap rokok, tidak peduli jika ada orang yang asma di sana. Bahkan, bartender-nya juga menggunakan masker.
“Selamat datang di Spring Day CafĂ©, Anda ingin memesan apa?” tanya bartender itu dengan nada datar. Hidup segan, mati tak mau.
Aku membaca menu di kounter. Mungkin, pagi ini, aku akan mengisis darahku dengan kafeina dan roti bakar rasa bluberi.
“Cappucino dan blueberry toast, satu,” jawabku agak keras karena suasana yang ribut, “dan, dibungkus.”
“Satu cappucino dan satu blueberry toast,” dia mengetik di komputer kasir, “semuanya menjadi Rp50.000,00.”
Aku mengeluarkan uang berwarna biru dan menyerahkannya ke bartender.
“Uangnya pas, ya,” kata bartender itu, meletakkan uang pemberianku di dalam kasir. Lalu, memberikan struk belanjaan kepadaku, “dimohon tunggu sebentar di sebelah sana.”
Aku menurut dan menunggu di samping kanan kasir. Aku memerhatikan sekitar. Kafe ini dipenuhi oleh asap-asap para perokok. ironisnya, jumlah wanita yang merokok setara dengan perokok pria. Aku juga melihat beberapa siswa SMA dan SMP, yang bolos sepertinya, sedang bergerombol di pojok, merokok dan mengobrol. Tunggu, apa itu seragam SD juga? Oh, ya ampun, sangat parah.
“Ini pesanannya,” pegawai yang lain, dengan suara yang sedikit ceria, menyodorkan pesananku, “terima kasih sudah memesan, silahkan berkunjung kembali!”
“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum, walaupun dia tidak bisa melihatnya.
Aku keluar dari kafe itu sambil membuka bungkus roti bakar bluberi-ku. Udara hangat langsung menerpa tubuhku. Aku mendesis karena wajahku panas, lalu memakan roti bakarku. Aku mengecek jam tanganku, sudah pukul delapan lewat. Walaupun masih ada waktu dua jam, aku belum tahu di mana letak kampusku.
Aku mengeluarkan ponselku untuk melihat GPS. Walaupun aku lebih suka menaiki gedung tinggi untuk memastikan lokasiku, aku sedang malas. Berdasarkan GPS-ku, lokasiku dan kampusku masih lumayan jauh. Kalau jalan kaki, kemungkinan besar aku akan sampai tepat waktu. Jadi, aku mulai berjalan kaki menuju kampusku sambil memakan sarapanku.
Kadang, aku ingin melepas jaketku ketika berjalan-jalan seperti ini, karena, serius, udara panas sekali. Tetapi, aku berpikir sebaiknya memakai jaket karena debu dan sinar matahari yang menyengat.
Aku memasuki area yang ramai dan berisik sekali, entah karena klakson atau yang lainnya. Aku mengambil headseat-ku dari tas dan memakainya untuk meredam suara. Suaranya terlalu bising, membuat kepalaku berdenyut lagi. Di tambah udara panas dan debu halus. Lengkap sudah hidup ini.
Aku berjalan dengan arus manusia yang sibuk dengan diri mereka masing-masing. Aku memerhatikan hal kecil seperti ada anak kecil yang sepertinya tersesat, atau seseorang yang terjatuh di kerumunan. Tetapi, aku tidak bisa menolong mereka. Ada arus yang harus aku ikuti
Aku terus berjalan mengikuti arahan GPS-ku, seperti berbelok di gang atau memotong arus kendaraan. Ternyata, masih ada jalan yang masih bisa bergerak, walaupun kecepatannya 10 km/jam.
Beberapa menit kemudian, aku melihat gedung tinggi yang mencolok, itu kampusku. Aku melirik jam tanganku, bentar lagi aku akan masuk. Aku segera berjalan menuju kelasku yang berada di lantai lima bagian Selatan.
Ketika aku memasuki kelas, bel masuk berbunyi. Aku segera memilih tempat duduk di dekat jendela, barisan tengah agak ke depan. Orang yang duduk di sampingku dua tahun lebih tua dariku, namanya Kak Naritha.
“Kak Naritha,” panggilku.
“Hm?” Kak Naritha menoleh ke arahku.
“Sekarang tanggal berapa?”
“Hmm..” Kak Naritha mengecek ponselnya, “tanggal 17 Agustus, kenapa?”
“Kakak gak inget hari ini ada apa?”
Kak Naritha mengerutkan kening, “Emangnya hari ini ada apa?”
Aku tersenyum maklum dan manggut-manggut. Aku menopang dagu dan menatap ke luar, ke arah ibukota negaraku yang perlahan hancur ini. Lihatlah, anak bangsanya saja tidak ingat hari ulang tahunnya.
Apa yang akan terjadi pada Ibu Pertiwi di kemudian hari?


Tamat.







Education for All Genders
By: Sharika Tharaadiva N
X IIS 3


There once lived a little girl near the woods. Every day she would go out to town to buy bread and milk for her mother. She would wash her clothes near the lake and hang them up during the day beneath the warm sun. Every time she would go to town she could hear whispers from the villagers, she knew she was different. She wanted to go to school like the boys, she wanted to play ball with them, but she was to afraid, she knew that girls weren’t allowed to do those things. Girls are supposed to wash clothes, cook, clean and take care of house. She knew she had more potential than that.

One day she sneaked into the school for boys. She hid in the closet where the kids would put their backpacks in during the day, she would sneak out during lunch, hoping nobody saw her. She learned to read, write, do math and more. She continued to go to school for a month until, she heard a knock on her door. She wondered who it could be, since her house is in the middle of nowhere. She opened the door, it was Xavier, from class.

“Alison, I knew you would be here, that school is not safe for you.” he said.

“I can take care of myself, I cant spend all day at home cooking and cleaning.”

“If anyone knew you were going to school there, you would be in big trouble, but I see how much you love learning.” He said

“How would you know?”

“I see you sneak during the back door everyday, don’t worry I wont tell. But I agree with you, girls should have a equal rights to learn as well. I will teach you every day, after school.” He said.

“Thank you.” She smiled and she couldn’t stop all day.

She met Xavier near the lake. He brought books and they learned all day. They would run around the woods and up the hill to watch the sunset. He would read her books until she fell asleep. They would walk around town, she would pick up every pink flower on the ground and sometimes she would put it in her hair, that made him smile. He made her feel special, important.

One day, he didn’t show up to their usual meeting spot. She waited all day, still nothing. 3 days, nothing. She decided to go into the school. Xavier was absent for days. She went to his house, she saw Xavier on the bed with a letter on the table. He died of cancer, he wanted her to keep on learning, to make a difference in this village. Everyone should go to school and learn, no matter their gender.

10 years has passed, Alison made a school for boys and girls. She made a difference to the town just like what Xavier said. She spent her whole day making kids smile and laugh.






































Orangtua Bagi Amira
By: Safira Martiza
X IIS 3
Hari itu adalah hari pertama Amira pergi ke sekolah barunya. Dia berangkat dengan perasaan campur aduk, sekelebat ingatan menghampiri pikirannya ketika dia sedang menunggu bus Jakarta untuk datang ke haltenya. Yaitu nasihat kedua orangtuanya. Orangtuanya berkata hati – hati dalam bergaul. “Berbaur tetapi tidak melebur” itulah kata – kata ibunya yang selalu dia rapalkan dalam hati.
Akhirnya bus datang, dan Amira perlahan  naik kedalam bus tersebut. Dari sudut matanya dia melihat seorang laki – laki berseragam SMA sedang menghisap rokoknya dengan memejamkan matanya, yang langsung Amira tebak bahwa laki- laki itu satu sekolah dengannya karna lambang sekolah di gesper laki – laki tersebut. Dalam Sekejap tercium bau rokok disekitar Amira yang otomatis membuat Amira mengibas – ibaskan tangannya diudara. Beberapa menit kemudian bus tersebut sampai didepan sekolah barunya. Amira turun dari bus tersebut dan mulai memasuki area sekolah tersebut.
Amira mencoba berkenalan dengan beberapa murid baru disana yang disambut baik oleh mereka. Hingga seseorang menyapa Amira “Amira ya?” tanya orang itu yang dijawab anggukan oleh Amira. “Namaku Nada.”  lanjutnya. Setelah kejadian itu mereka menjadi teman dekat yang sangat akrab karena memiliki beberapa kesamaan.
Setahun kemudian, Amira menjadi anak yang lumayan populer akibat berteman dengan Nada, dia masuk kedalam kelompok terkenal atau yang anak – anak lain bilang “geng” terkenal disekolah. Amira mulai melupakan kata – kata orangtuanya yang dulu selalu dia ingat dikepalanya. Pada awalnya dia memang ingin berbaur dengan cepat disekolah barunya yang memang terjadi, tetapi dia melupakan kata – kata ibunya waktu itu, untuk tidak melebur kepada sikap negatif teman – temannya.  Tapi perlahan – lahan dia mengikuti sifat negatif Nada yaitu suka membully adik kelasnya.
Hingga pada suatu saat, dia dan teman – temannya ingin menemui adik kelasnya di kamar mandi untuk di “introgasi”. “Jadi kamu tak ingin memberiku uang?” teriak Amira didepan muka adik kelasnya sambil mendorong pundak adik kelas nya tersebut. “ma- maaf kak. Aku tidak membawa banyak uang” jawab adik kelasnya tersebut dengan ketakutan. Amira dan teman – temannya masih melanjutkan aksi palak – memalak tersebut tanpa sadar bahwa ada kepala sekolah diujung pintu kamar mandi yang sedang mengamati mereka. Tanpa menunggu lebih lama lagi kepala sekolah pun turun tangan dan membawa Amira dan teman – temannya untuk keruangan kepala sekolah. Dan Amira bersama teman – temannya pun mendapat hukuman skorsing 2 minggu.
Setelah kejadian tersebut Amira menyadari apa yang telah dia perbuat. Dia menyesali apa yang telah di lakukan selama setahun belakangan, dan memegang teguh apa yang dikatakan orangtuanya.

Komentar