Alvito Rizqi
X MIA 3
Cacat Kecil Yang Tidak
Kelihatan
Suatu hari hiduplah pemuda yang kaya, tampan, cerdas,
dan lain-lain. Pokoknya serba sempurna deh dia. Dia sangat bangga akan
kesempurnaannya. Tapi dia hanya punya satu kekurangan yaitu dia tidak mempunyai
pasangan alias jomblo. Dia mencari perempuan yang sempurna seperti dirinya. Ya
perempuan yang tidak mempunyai kecacatan apapun. Dia mencari kesana-kemari tapi
tidak menemukan apa yang dia inginkan.
Lalu
sampailah dia pada suatu desa. Konon kata orang-orang ada seorang petani yang
memiliki tiga anak perempuan yang sempurna semua. Bergegaslah dia untuk menemui
petani itu. Saat menemui petani itu dia berkata, ‘wahai pak tani izinkan aku
untuk menemui anak-anakmu. Jika benar salah satu dari mereka tidak mempunyai
kecacatan apapun, aku akan menikahinya’. Petani itu bahagia sekali karena salah
satu anaknya akan menikahi pemuda ini. Dia berpikir mungkin akan terlepas dari
hidupnya yang susah. Pak Tani menyarankan untuk mengencani mereka satu-satu.
Dimulailah dari anak yang pertama. Pemuda itu
mengajaknya jalan-jalan di sekitar desa itu. Selesainya dari jalan-jalan mereka
pulang ke rumah pak tani. Disambutlah mereka oleh Pak Tani. Lalu pak tani
bertanya, ‘bagaimana anak muda? Apakah dia sempurna?’. ‘Dia sempurna sih pak
tapi dia memiliki satu kecacatan yaitu mata kirinya agak jereng’, jawab si
Pemuda. Tak disangka oleh Pak Tani kecacatan sekecil itupun dia masih
menyadarinya.
Lalu si Pemuda mulai berkencan dengan anak yang kedua.
Setelah selesai berkencan akhirnya mereka pulang. ‘Bagaimana anakku yang satu
ini? Bukankah dia sempurna?’ , tanya Pak Tani. ‘Dia memiliki kecacatan kecil
sekali yaitu jempol kaki kanannya lebih besar dibanding kaki sebelah kirinya’
jawab si Pemuda. Sang Petani mulai geram dan gelisah. ‘Bagaimana jika si Pemuda
tidak jadi menikah dengan salah satu anakku’, pikirnya. Tapi dia masih bersabar
karena masih ada satu harapan lagi.
Akhirnya dimulailah kencan dengan anak yang ketiga.
Setelah kencannya berakhir pulanglah mereka. Si Pemuda tampak bahagia dia telah
menemukan perempuan yang sempurna. Si Pemuda berkata, ‘inilah yang saya cari,
dia tidak memiliki kecacatan apapun.’
Lalu menikahlah si Pemuda dengan anak yang ketiga.
Sembilan bulan kemudian saat istrinya melahirkan, si Pemuda sangat senang
karena dia akan menyaksikan kelahiran anaknya yang pertama itu.
Ketika lahir betapa kecewanya si Pemuda melihat
anaknya sangat jelek tidak seperti dirinya yang tampan. Lalu dia menemui Pak
Tani dan bertanya, ‘Hei Pak, kenapa anakku jadi seperti ini? Saya tampan dan
anak bapak juga cantik, lantas kenapa hasilnya jelek?’. Pak Tani menjawab, ‘wah
gimana ya mas. Anak saya sebenarnya memiliki cacat kecil tapi tidak kelihatan
yaitu waktu itu dia sudah hamil duluan.…”
Ananta Widya
X MIA 3
Bahagia
Bahagia. Banyak orang ingin memiliki hidup yang
bahagia. Beberapa orang mengartikan bahagia itu memiliki uang yang banyak, ada
yang mengartikan bahagia itu berarti memiliki rumah meskipun kecil, bahkan ada
yang mengartikannya memiliki keluarga.
Alfred, seorang anak kecil yang ingin sekali merasakan
apa itu bahagia. Ia hanya ingin tahu apa rasanya, memiliki orang yang
mengasihinya. Sejak umur 6 tahun, ia telah hidup sendirian. Ia melarikan diri
dari keluarganya karena kedua orang tuanya sering sekali bermabok-mabokan, dan
akibatnya ia sering dimarahi, dipukuli, dan dicacimaki oleh mereka.
Setelah ia kabur, ia ditemukan oleh seorang pria
bernama Argos. Awalnya Argos bersikap baik terhadap anak itu, ia bahkan
menjajikan kehidupan yang layak. Padahal ia sendiri tidak tergolong orang yang
berkecukupan. Pekerjaannya adalah memperdagangkan anak hilang yang umurnya
sudah 7 tahun ke atas.
1 tahun Alfred hidup bersama Argos, Alfred merasakan
apa itu kebahagiaan, sampai suatu hari Argos menjualnya ke orang – orang yang
memperkerjakan anak. Alfred dijual dengan harga yang cukup tinggi. Ia akhirnya
bekerja sebagai kuli. Karena ia masih berumur 7 tahun, ia tidak terlalu
mengerti cara dunia bekerja. Bahkan, ia sering dicurangi oleh orang – orang. Ia
mendapat gaji lebih sedikit, padahal dia bekerja lebih giat dari orang – orang
disekitarnya.
Saat malam, ia tidur di depan toko – toko, karena uang
yang ia miliki hanya cukup untuk membelikannya makan. Hari demi hari ia lalui
dengan bekerja keras, sampai akhirnya ia tahu bahwa ia dicurangi oleh orang
yang memberikannya uang. Alfred pun protes, karena orang tersebut tidak suka,
ia memukulinya sampai darah berlumuran di mukanya. Alfred tidak bisa
menggerakan badannya. Saat ia hampir pingsan, ia mendengar suara seorang laki –
laki yang mencoba membangunkannya. Alfred merasakan badannya diangkat dan
ditaruh di sebuah mobil.
Ternyata Alfred diselamatkan oleh Seorang Pegawai
Sipil yang kaya raya, dan ingin sekali memiliki anak. Ia bernama Sapto. Saat
Alfred bangun, Sapto mengatakan bahwa ia ingin mengadopsinya. Alfred pun
setuju. Sekarang Alfred mendapat pendidikan dan kehidupan yang layak. Dan
akhirnya, ia merasakan apa itu bahagia
Andre Nafis Kamil
X MIA III
Cerita
Mistis
Namaku
Rheza. Aku tinggal di Jakarta. Aku masih duduk di bangku SMA, kelas 11 tepatnya.
Aku bersekolah di SMAN 68. Sudah satu setengah tahun aku mengalami hal yang
berbau mistis disini, apalagi semenjak aku pindah ke kelas 11. Banyak yang
bilang aku memiliki indra ke enam, tapi aku tidak pernah percaya dengan hal-hal
seperti itu. Sampai suatu saat aku mengobrol dengan seseorang yang ku anggap
normal dan tiba2 teman ku bertanya.
“Lu
gila ya?”
“Yakali, gua sehat kaya gini
juga.”
“Trus dari tadi lu ngomong sendiri
emang kaga gila itu namanya?”
“Emang gua ngomong sendiri? Lu
itumah yang gila.”
Lalu teman ku memanggil beberapa
orang yang tadi sedang bersamanya dan menanyai apakah aku tadi ngomong sendiri.
Mereka semua berkata iya. Aku sedikit terkejut, pantas sejak kecil jika aku
sedang berbicara dengan orang ibu suka tiba-tiba menarik ku dari sana.
Mungkin orang lain akan menganggap
ini kutukan tapi aku menganggap ini anugrah. Sebab ak tidak pernah takut lagi
dengan yang namnya hantu karna sudah terbiasa melihat. Karna ini juga aku bisa
mengerjai teman ku. Jika aku bilang di suatu tempat di sekolah ada hantu mereka
pasti mempercayainya, padahal tidak ada apa-apa disana. Kecuali hal yang aku
alami di SMA ku ini.
Pas awal-awal masuk SMA aku sudah
ada beberapa teman dari SMP. Jadi aku minta tolong bantu aku berkenalan dengan
beberapa orang dan meyakinkan mereka kalau aku punya indra ke-enam. Setelah
beberapa minggu aku berhasil mendapat banyak teman, aku dan teman lama ku juga
sudah siap mengerjai mereka dengan bilang kalau di toilet sekolah itu angker.
Ya karna itu mereka semua percaya, sampai-sampai setiap ada yang mau ke kamar
mandi mereka minta di temani sama
temannya. Cerita ini pun viral ke berbagai kelas bahkan sampai ke kakak kelas.
Aku merasa senang karna berhasil menjahili satu sekolah.
Tapi siapa sangka salah seorang
dari kelas 11 mengalami hal gaib. Awalnya ku kira ia hanya berhayal ternyata
betul. Ketika aku pindah ke lantai 3 aku mendapat kelas dekat kamar mandi.
Setiap hari kelas ku selalu terasa gaduh walau saat itu aku hanya ber-6.
Setelah sebulan disana aku merasa
makin aneh karna kerap kali ada orang yang tidak berseragam mondar mandir ke
kamar mandi. Dalam hati aku berikir “itu orang ngapain coba dari tadi, anak
mana lagi.” Aku menceritakan ini ke guru BK ku. Aku minta agar sedikit
diselidiki karna ada beberapa orang yang mengalami hal serupa di kelas ku. Pada
saat itu aku sempat berpikir apa candaan ku ini ternyata memang benar. Aku
langsung menggelengkan kepala dan mengalihkan pikiran ke hal lain.
Guru bk ku melaporkan balik
tentang pengalamanku, katanya tidak ada orang yang mondar mandir saat itu kalau
melalui rekaman cctv. Tubuhku langsung terpaku diam karna menyimpulkan bahwa di
sekitar kamar mandi itu memang anker. Akhirnya aku memberanikan diri untuk
mengecek sendiri. Disitu lampunya remang dan sedikit penahayaan dari luar.
Suasanya saja sudah bikin merinding aplagi pas tau ternyata disitu memang
sering ada gentayangan. Pengalam yang paling sering adalah dari cleaning
service yang kerap kali mendengar tagisan perempuan, padahal itu toilet
laki-laki. Aku menanyai beberapa dari mereka. Pengalamannya berbesa-beda mulai
dari lampu yang sering mati sendiri, pintu yang digedor, dan suara tangisan.
Seram memang tapi aneh, karna
kalau saya kesana tidak pernah ada hal2 semacam itu, hanya suasananya saja yang
suram. Karna aku ingin tahu lebih dalam jadi aku diam-diam mengajak ustad dekat
rumah ku. Aku membawanya ke sekolah dengan pura-pura kalau dia ayahku. Kami
mengecek ke kamar mandi itu, dan benar kata ustad ku itu. Tapi hanya ada satu
pesan darinya,”Jangan menceritakan kalau disini anker ke siapa pun lagi. Bilang
ke teman mu semua cerita mistis itu hanya candaan dan dibuat-buat. Ini semua
untuk mencegah anak-anak yang akan sering diganggu oleh hantunya.” Jadi ku
turutilah semua perkataannya. Walau sudah kuturuti masih saja ada yang diganggu
dan selalu ku sangkan cerita mereka dengan berkata ,”ngayal itu lu mah.” Ya ini
semua demi kenyamanan dan agar tidak menurunkan mental teman-teman ku.
Andrea
X MIA 3
APA YANG SALAH
malam itu,seorang perempuan bernama nuansa
duduk di bangku panjang yang ada di taman tengah kompleks rumahan yang sepi.
ditemani oleh secangkir kopi instan yang biasa ia minum dan suara kendaraan
yang masih berlalu lalang di depan kompleksnya. oh ya jangan dilupakan juga
'krik krik krik' nya suara jangkrik disaat malam yang membuat bulu kuduk
berdiri.
nuansa yang saat itu menggunakan piyama
tidurnya yang berwarna biru menengadahkan kepalanya, ia bingung memikirkan apa
kesalahan yang terdapat dalam perkataannya tadi siang di sekolah. ia kan hanya
memberikan menegur. tidak ada niat untuk menjelekkan. tidak ada niat untuk
menyakiti.
sampai saat pulang sekolah siang tadi,nuansa
di panggil oleh kepala sekolah. awalnya hanya perkenalan,lama lama di
ceramahkan. lho nuansa pikir apa salah dirinya, wong yang salah caraka di
sekolahnya. asal membuang tempat bekalnya. jelas, geramlah nuansa dibuatnya.
nuansa langsung memaki-maki caraka sekolahnya.
dengan kata-kata mencela. sampai satu kalimat itu keluar dari mulutnya.
'memangnya bapak tau harga kotak bekal ini berapa ? mana mungkin bapak bisa
tau, wong ini di belikan ibu saya di amerika'.
nuansa tersadar. kalimat itu yang membuatnya
seperti ini. mulutnya yang membuat ia menjadi begini. di ceramahi oleh kepala
sekolah siang tadi. di berikan poin dan di skors tiga hari.
jam satu dini hari. nuansa sadar ia masih
berada di taman kompleks rumahnya tadi. memikirkan kejadian yang mengusik hati.
ia tekadkan pada hati. selesai skors aku akan meminta maaf pada caraka tadi.
Ariobimo Daffa Widosetyo
X MIA III
Baru
Jenjang SMP sudah kulalui. Tidak terasa,
memang, tapi mau diapain lagi, toh udah lewat. Mending ikutin kata iklan “Menatap masa depan”.
Singkat cerita, saatnya MPLS. Dua hari sebelum
MPLS, semua “calon peserta didik” SMAN 68 datang untuk mengikuti pembagian
kelas & diberi “pengetahuan” tentang MPLS.
MPLS berjalan dengan lancar. Berbagai macam
hal yang perlu diketahui tentang sekolah kami sudah diberi tahu (padahal nggak semuanya+nggak selalu
didengerin) :)
Gue udah mulai terbiasa dengan lingkungan
sekolah baru. Jujur, SMA jauh lebih ribet
dibandingkan dengan SMP. Tugas lebih banyak, pelajaran makin berat, pulang makin
malem, dll (Yawdalaya, ikutin aja).
Akan tetapi, masa SMA merupakan masa yang
menarik. Kita belajar berbagai macam pengalaman berharga di masa SMA. Masa
depan kita pun dapat ditentukan melalui SMA. Entah kita akan melanjutkan kuliah
ataupun langsung bekerja, semua pilihan tersebut pasti akan ditentukan dalam
masa SMA. #bijak
Jadi, masa awal SMA merupakan masa yang sangat
penting. Kita menentukan bagaimana diri kita ke depannya dalam masa-masa awal
ini. Buanglah jauh-jauh pikiran “ah baru masuk SMA, nyantai æ dulu”. masih #bijak
Arnetta
X MIA 3
Seorang Bocah
Saya berdiri di halte yang sama setiap
hari. Menunggu bus yang sama dengan tujuan yang sama. Cuaca yang sama, atmosfer
yang sama, juga sekumpulan orang yang sama. Saya sampai hafal bapak-bapak
kantoran berkumis itu naik bus yang sama dengan saya pada hari Senin, Selasa,
dan Kamis. Atau seorang wanita muda yang naik pada hari Rabu dan Jumat.
Saya
menoleh ke kiri. Bocah laki-laki itu selalu ada di halte ini tiap kali saya
menunggu bus—yang artinya tiap hari. Badannya selalu ia sandarkan pada tiang
penyangga halte. Wajahnya murung, seolah tak pernah ada kebahagiaan dalam
dunianya. Kaus oblong abu-abu kusam yang sama. Celana hitam kelonggaran yang
sama.
Saya
perhatikan dia dari kepala hingga kaki. Anak laki-laki itu saya duga berusia
sekitar dua belas tahun. Awalnya saya tidak terganggu dengan keberadaan bocah
itu di halte. Namun, lama-kelamaan saya agak risi. Orang lain di halte
tampaknya tidak peduli akan kehadiran bocah itu. Mereka bahkan menganggapnya
tak ada. Padahal anak itu selalu di sana berminggu-minggu setelah saya pertama
kali melihatnya. Sejengkal pun tak ada yang berubah. Pakaiannya, tatapan sendunya,
segalanya. Saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu.
Sekarang
bocah itu berganti posisi, tetapi tatapan sendu itu sudah jadi ciri khas
dirinya. Kini ia tidak lagi bersandar pada tiang penyangga, tubuhnya ia
tegakkan, tetapi nantinya bungkuk lagi. Ia tak pernah menunjukkan gestur itu
sebelumnya. Mungkin karena bus saya keburu datang sebelum ia ganti posisi.
Tak
lama kemudian, bus saya datang dan mata saya teralihkan dari bocah itu.
Esoknya, tekad saya sudah bulat akan menghampiri
bocah itu, berbasa-basi, bertanya, dan sebagainya. Namun setibanya saya di
halte, bocak laki-laki itu tidak terlihat batang hidungnya. Saya tunggu hingga
kira-kira lima belas menit lamanya, tetapi anak itu tak kunjung datang. Saya
putuskan untuk bertanya pada seorang lelaki tua yang tiba lebih dulu—tampaknya
ia juga sering ke sini. Hari ini kota dibasuh hujan yang cukup deras, tak ada
orang di halte selain kami berdua.
Setelah
saya tanya, lelaki tua itu hanya menatap saya kebingungan. Saya sendiri jadi
ikutan bingung. Saya jelaskan lagi maksud saya, namun jawaban yang saya dapat
membuat saya terkejut.
“Setiap
hari saya ke halte ini, namun tak pernah saya lihat seorang bocah laki-laki
seperti pada deskripsi Anda.”
Jadi,
siapakah sebenarnya bocah laki-laki itu?[]
Astrid
Mutiara
X
MIA 3
Serbuk Hitam
Kematian tragis Robert menimbulkan
teka-teki rumit.Mulai dari pengakuan salah seorang saksi,belati tajam yang
dibenamkan tepat pada jantung,sampai postur tubuh terlentang macam bintang
laut.Disekitaran area pembunuhan terdapat lingkaran hitam pekat lebih seperti
pusat kematian.Tidak berhenti disitu,ketika jasad Robert diangkut,punggung
putih Robert menunjukan ukiran hasil sayatan pisau sehingga daging lelaki paruh
baya itu menyembul keluar.
Woodward
bergumam,membaca sayatan karya sang pembunuh,”On Dracula Cloe 9,10,19,29,48,77.”
Ia
meneliti,mengamati,dan mengingat,Konspirasi
apa ini?
“Mr.Woodward
saya rasa si pembunuh sedang bermain-main.”bisik Leonardo,pria yang mengaku
mendengar teriakan histeris Robert sebelum pria itu meregang nyawa dengan
bentuk mengerikan.
“Ada
baiknya kau mengurus Robert dan saya akan mencari penemuan baru dimana nantinya
dapat dijadikan barang bukti.”Saran Woodward terdengar mengusir Leonardo,dia
butuh ketenangan tanpa ada yang mengusik juga mengulik.
Leonardo
menghembuskan nafas berat,”Baik jika itu yang kau butuhkan.”
Setelah
dua jam berlalu,kini Woodward sudah bisa bernafas lega sebab tidak ada lagi
gangguan yang membuatnya gagal fokus.Pemuda itu berjongkok dengan salah satu
kaki dikedapankan sedangkan yang satu menjadi penopang tubuh,tangan
berpengalaman mulai menyapukan sisir halus guna mencari sidik jari
tersangka,tapi rupanya yang diduga terlalu pintar menyembunyikan bukti,sehingga
bisa disebut sebagai pembunuhan mendekati
sempurna.Woodward berdiri,memasukan tangannya kedalam saku,pasti satu rahasia
besar terjadi di sini.Sedari awal,suasana mencekam sangat memeluk tubuh
Woodward erat dengan cahaya minim remang-remang menambah keingintahuan perihal
latar belakang kasus Robert.Woodward menatap keluar jendela apartment
Robert,bola matanya mendadak tertuju pada satu titik hampir dua menit,pemuda
itu membenarkan letak kaca mata berlensa hitam yang sedari tadi bertengger di
hidung runcing Woodward.
“On
Dracula Cloe 9,10,19,29,48,77.”lirih
Woodward untuk kali kedua lalu menyunggingkan senyum miring pertanda dia sudah
menemukan jawabannya.
Ruangan
khusus bernuansa abu-abu hitam,dengan artefak bebatuan bertebaran terukir di
atas marmer bergurat hitam.Permadani hitam panjang menyambut tamu bagaikan ratu
dunia dongeng.Sejak satu jam lalu,ruangan khusus detective Woodward berubah
bising dengan suara bariton Leonardo.Lelaki itu menjelaskan kesaksian dihadapan
wajah dingin Woodward,Leonardo tidak henti-hentinya menceritakan kronologi secara
runtun dan detail.Terdengar seperti melihat langsung detik-detik kematian
Robert.
“Saya
mempunyai firasat buruk jika saudara saya sendiri yang menancapkan belati
itu,hanya dia yang punya kesadisan tingkat atas ditambah lagi apartmennya
bersebelahan dengan tempat kejadian perkara.”Ucap Leonardo menyudutkan
Paul,kakak angkat tertua dari Leonardo.
“Bagaimana
bisa kau menuduh saudaramu sendiri sementara dirimu tidak paham apa yang
sebenarnya terjadi?”Woodward mulai angkat bicara setelah menahan selama lebih
dari satu jam.
“Aku
hanya berpendapat tidak menuduh,memangnya salah berkata demikian,kau kan tau
hal mustahil bisa saja terjadi“
“Ya
memang hal mustahil memungkinkan terjadi seperti---“
Rahang
Woodward mengeras menahan amarah.”KAU SENDIRI PEMBUNUH ROBERT!!”potong Woodward
cepat ,dirinya letih berbasa basi
busuk.Diwaktu bersamaan polisi yang sebelumnya bersembunyi dibalik lemari kayu
besar segera membekuk Leonardo.
“Saya
benar-benar tidak mengerti,mustahil saya melakukan hal bejat demikian!”Elak
Leonardo dengan kedua tangan diborgol kebelakang.
“Kau
kira aku ini bodoh!kau menggunakan prinsip dasar Davinci Code.Berawal dari nama
On Dracula Cloe kalimat itu bersumber
dari nama asli kau tetapi hurufnya diacak.Dan perihal 9,10,19,29,48,77 mereka adalah angka Fibonacci dimana angka bisa didapatkan
dari hasil tambah dua angka sebelumnya seperti 19 hasil tambah sepuluh dan
sembilan.”
Leonardo
berniat menyemburkan kalimat kebohongan lainnya tetapi Woodward menepisnya
secepat mungkin
”Satu
bukti lainnya yaitu teropong seratus meter
di apartment mu yang mengarah pada kamar Robert, dengan teropong itulah
kau bisa dengan mudah mengamati
gerak-gerik Robert meski seratus meter pun jaraknya.Cara itu semakin mahir
bagimu sebab kaca jendela Robert
berwarna transparan membuat rencana mu
mulus juga sempurna.Jika menurutmu itulah waktu yang cocok membunuh Robert maka
Tadaaa,semua terjadi.”Tambah Woodward sangat akurat membuat Leonardo bertambah
pucat dan berkeringat
“Tidak mungkin kau tau semua itu!!aku tidak
bersalah,semuanya perbuatan Paul!IDia telah merebut Ashley pacarku,dia
merebutnya dengan rasa tidak bersalah!!!salahkan dia !!Anda menangkap orang
yang salah Woodward!!”Leonardo berkicau layaknya orang mabuk.Namun polisi
bertugas tetap menggiring Leonardo menuju jeruji besi.Teriakan-teriakan masih
terdengar sepanjang lorong panjang.”Woodward lihat kau akan kubuat kau
menderita!!”Woodward tersenyum singkat mendengar makian Leonardo tiada henti,ia
terlalu lelah untuk membahasnya.Lelaki itu menghempaskan tubuhnya di kursi lalu
meraih notes kecil dan menuliskan angka ke-101 sebagai pelajaran baru ‘Jangan
bermain serbuk hitam di dalam lingkaran putih.’
Atikah
Syahidah
X MIA 3
Telat Berujung Fatality
“Ehh
besok tag-in gw tempat ya, kalo bisa kedua di depan,” Kata Andrea. “Iyadah
serahlu nanti gw tag in tempatnya,” Jawab Raisa. “Woii dateng pagi elahh ,
nanti lo dapet poin lohh..” Ujar Atikah. Andrea menghiraukan perkataan Atikah
dan pergi begitu saja.
Andrea
akhirnya sampai di rumah. Andrea langsung makan, mandi dan bermain handphone
beberapa menit. Setelah itu, Andrea langsung mengerjakan pr. Pr yang
dikerjakannya adalah pr ekonomi tentang teori ekonomi. Memang pr nya banyak.
Tetapi Andrea mengerjakannya sepenuh hati. Andrea memanglah siswa teladan, dan
ya dia ingin sekali masuk UI melalui jalur PPKB UI. Andrea belajar hingga larut
malam. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Andrea pun tertidur. Di
pagi harinya Andrea menonton tv dulu sebentar karena ia membutuhkan hiburan
sehabis malam yang panjang. Ternyata dia malah ke asyikan menonton siaran ulang
Game of Thrones. Andrea kalau sudah menonton acara tv nya memang suka
ketagihan. Walaupun dia bangun jam 3 pagi. Tetap saja dia telat sekolah karena
ia bersantai2 nya terlalu lama.
Rumahnya
bukan di Bekasi melainkan Cempaka Putih. Tidak terlalu jauh. Dia sering sekali
meremehkan. Sudah pukul 6 pagi , Andrea baru berangkat. Andrea terjebak macet
karena memang ada proyek di jalanan juga Andrea berangkat dengan mobil jadi
tidak bisa menyalip. Andrea sudah sampai di Sekolah. Seprti biasa dia telat.
Telat 3 menit doang sih. Tapi tetap saja di hitung poin pelanggaran.
“Eh
kamu, lagi-lagi kamu, udah berapa poin kamu? pasti banyak ya.” Ujar seorang
guru. “Banyak apanya pak!” Sangkal Andrea. “Andrea lihat poin kamu ini udah 75
, kamu memang siswa baik tapi kamu selalu telat, tidak disiplin, kamu tidak
akan ikut PPKB UI!!!”.
Andrea
kecewa, sangat kecewa juga kesal. “AHHH SAYA MASUK PTN MANA DONG PAK!” Kata
Andrea.
“Woi
bangun woi nanti gw juga ikut telat.” Kata Kak Sekar. “Woii bangun lo ngingonya
kelamaan”.
Bonanza
Haggai Rosairo
X
MIA III
Pahlawan Dadakan
Bonanza
Sitorus adalah seorang remaja siswa sekolah menengah atas yang biasa saja. Yap,
‘biasa saja’, nilainya biasa aja, badannya biasa aja, mukanya juga biasa-biasa
aja. Pokoknya, Bonanza adalah seorang remaja yang menjalani kehidupan ya yang
biasa-biasa aja. Dibalik kehidupan yang biasa-biasa aja itu, Bonanza ingin
menjadi pahlawan atau orang yang bisa berguna bagi orang lain.
Sehabis
pulang sekolah, Bonanza selalu jalan kaki menuju rumahnya melewati jalanan yang
ditakuti banyak orang, karena gang itu terkenal sebagai sarang penyamun. Tapi,
Bonanza biasa saja, lagipula dia belum pernah diganggu oleh preman, bahkan
melihatpun belum pernah, toh itu rute jalan yang paling dekat dari sekolah ke
rumahnya.
Pada
suatu hari, Bonanza pulang sekolah lebih lama dari biasanya, yaitu jam 8 malam,
Karena keasikan bermain bersama teman-temannya. Seperti biasa, Bonanza pulang
melewati jalan yang ditakuti itu. Saat malam tiba, suasana di jalanan itu
sangat lebih menyeramkan dari siang har, tetapi Bonanza biasa-biasa saja karena
sudah sering melewati jalan tersebut. Saat di tengah perjalanan, Bonanza
mendengar suara teriakan anak kecil.
Ternyata,
setelah mendekati suara teriakan tersebut, ada sekawanan orang misterius yang
sedang membawa paksa seorang anak kecil ke suatu rumah. Maka, Bonanza pun
memberanikan diri untuk mengintip lewat jendela rumah itu. Anak kecil itu
disekap dan diperlakukan tidak wajar oleh orang-orang misterius tersebut.
Karena
tidak kuat melihat perbuatan tersebut, Bonanza berinisiatif untuk menelpon
polisi. Telepon pun tersambung dan sempat menghubungi polisi. Karena sangat
ketakutan dan terburu-buru, Bonanza tidak sengaja menjatuhkan hp miliknya, dan
menimbulkan suara. Hal itu membuat penculik-penculik itu dapat menemukan
Bonanza yang sedang bersembunyi. Lalu, Bonanza dengan cepat kabur dari kepungan
penculik dan dapat melepaskan tali yang mengikat anak kecil tersebut. Bonanza
dan anak kecil tersebut dapat kabur dari rumah itu, tetapi di tengah jalan yang
sepi para penculik itu sudah menunggu mereka dan menodongkan pisau kea rah
mereka. Bonanza sudah sangat ketakutan, tetapi dari kejauhan muncul suara
sirine dan helicopter. Ternyata itu adalah polisi yang sempat Bonanza telpon.
Karena kalah banyak dan kalah senjata, para penculik itupun menyerah dan
melepaskan kita.
Akhirnya, anak kecil itupun dapat
bebas dengan selamat, walau terdapat luka-luka kecil di tubuhnya. Anak kecil
itu bernama Wati, Wati sangat berterimakasih kepada Bonanza karena
menyelamatkan nyawanya. Polisipun segera menangkap para penculik itu dan
berterimakasih atas keberanian Bonanza menyelamatkan anak kecil tersebut.
Semenjak itu, Bonanza terkenal di sekolahnya, lebih pede untuk menjalani hidupnya,
dan tidak menganggap bahwa kehidupannya adalah hal yang biasa-biasa aja.
Bryan
Daud Setiawan
X MIA 3
Satu Tangkai Bunga bagi Sahabatku
Pagi hari yang cerah, Aku melihat awan
berkerumun dan bergerak perlahan dan Aku menginjakkan langkah pertamaku dari
rumah ke sekolah. Burung burung menyambut pagi hariku sehingga aku pun menjadi
bersemangat dan riang gembira selama perjalanan ke sekolah. Seperti hari hari
yang lalu, Aku selalu mengunjungi rumah sahabatku yang hanya sejengkal dari
rumahku untuk mengajaknya berangkat bersama. Sahabatku itu adalah Darius. Oleh
karena kami berangkat bersama, perjalanan ke sekolah pun tidak pernah kami
rasakan.
Hari demi hari, bulan demi bulan, kami lewati
bersama hingga kami menginjakkan kaki di SMA. Pada saat di SMA Aku merasakan
hal yang luar biasa yang kami lalui bersama karena kami berdua terpilih sebagai
orang yang memenangkan OSN tingkat nasional. Aku dan Darius pun membangun
kebiasaan menghabiskan waktu bersama untuk belajar dan membaca buku yang berbau
sains.
Ketika semua berjalan dengan lancar, Aku
merasakan sesuatu yang berbeda dari sahabatku. Dia mulai merahasiakan sesuatu
dariku. Namun, hal tersebut tidak aku risaukan karena Aku berpikir semua orang
memiliki masalah pribadi yang tidak baik bagi orang lain untuk ikut campur
kedalamnya. Jadi aku berpikir untuk tidak menanyakannya kepada Darius.
Kemudian beberapa bulan kemudian, Aku
merasakan ada hal yang tidak benar menimpa sahabatku karena kerap ia mimisan,
pusing, muntah muntah, demam. Hingga pada suatu saat Aku mendengar dari orang
tua darius, kalau Darius dirawat di rumah sakit. Sepulang dari sekolah, Aku
bergegas pergi menghampiri temanku yang sudah lemah di ruang ICU. Dokter mengatakan bahwa darius terkena sakit
kanker otak. Aku pun kaget mendengar kabar dari dokter tersebut.
Aku sangat tidak menyangka bahwa temanku
terkena penyakit yang parah seperti itu. Dokter mengatakan penyakitnya sudah
mencapai stadium 3 dan Aku pun sangat sedih jika kehilangan sahabatku yang
sangat Aku sayangi. Aku pun bergegas pulang dari rumah sakit dan memberitahu
orang tuaku bahwa Darius terkena penyakit kanker otak. Kami sekeluarga langsung
berdoa bagi Darius dan orangtuanya.
Keesokan harinya, Aku diingatkan oleh guru
pelatih OSNku bahwa lomba akan dilaksanakan minggu depan maka Aku harus belajar
dan memenangkan OSN tersebut. Ketika itu, Aku bertekad untuk memenangkan lomba
OSN tersebut dan membawakan medali emas kemenanganku kepada Darius. Aku pun
belajar pagi dan malam dengan giat agar memenangkan OSN tersebut.
Hingga pada satu hari sebelum OSN, Aku
mengunjungi sahabatku Darius, ia sudah terbaring lemah dengan rambut dan alis
yang botak akibat penyakit yang dideritanya. Aku pun menangis disampingnya dan
mendoakannya agar cepat sembuh. Aku pun berbisik kepadanya sebelum meninggalkan
rumah sakit, bahwa Aku akan memenangkan OSN dan membawa medali kemenanganku
kepadanya.
Ketika keesokan harinya, Aku mengikuti lomba
OSN dan Aku menjawab semua soal dengan tekun dan penuh harapan demi kemenangan
untuk sahabatku. Aku pun tak kuat menahan tangis ketika mengerjakan soal karena
mengingat nasib sahabatku di rumah sakit. Pada saat lomba selesai, Aku pun
berdoa agar hasil yang Aku kerjakan dapat membuahkan kemenangan bagi sahabatku.
Ketika lomba diumumkan, semua jerih payah dan usahaku terbayarkan sudah karena
Aku memenangkan OSN tersebut dan meraih medali emas. Pada saat Aku mengucapkan
hal hal yang dirasakan ketika menjadi pemenang, Aku hanya menangis dan dapat
berkata bahwa kemenangan ini hanya Aku tunjukan kepada sahabatku yang terbaring
lemah di rumah sakit.
Ketika Aku pulang, orang tuaku langsung
mengantarkanku ke rumah sakit. Ketika Aku sampai di rumah sakit, Aku melihat
sahabatku yang Aku sayangi sudah terbaring kaku di kamar mayat. Aku pun
menangis dan bersedih. Aku pun langsung mengalunginya medali kemenanganku dan
Aku langsung pergi membeli bunga. Namun, ketika Aku kembali ia sudah tidak
boleh disentuh kembali. Aku pun sangat sedih dan hanya dapat memberi bunga
diatas batu nisan tempat terakhirnya.
Debora Karyoko
X MIA 3
Detik – Detik Berharga
Dua orang saudara perempuan yang sedang
tertawa bersama itu mengalihkan pandangan Megan. Suara candaan itu mengiang di
benak Megan. Entah mengapa hati Megan menjadi sakit. Ia teringat saat mereka
tertawa bersama, ia merindukan waktu luang bersama kakaknya.
Ya,
Aurel, kakak Megan itu memang sibuk sekali. Kesehariannya sebagai artis
terkadang membuat Megan gusar. Sering kali orangtuanya membanding-bandingkannya
dengan Aurel yang sudah memiliki profesi saat ia duduk di bangku SMA. Selain
itu, nilai Aurel juga tidak bisa disebut buruk. Aurel sering kali menjuarai
kompetesi, baik di bidang akademik maupun di bidang non akademik. Banyak orang
yang berkata bahwa Aurel adalah seorang yang multitalenta, tetapi Megan tidak
menyetujui hal tersebut. Ia membenci pernyataan itu.
Aurel
menjadi artis mulai ketika ia kelas 1 SMA dan mulai pada saat itulah hubungan
Megan dengan Aurel merenggang. Mereka hanya dua bersaudara, sehingga hubungan
mereka dahulu sangatlah dekat. Berbeda dengan sekarang, berbicara dengan
kakaknya saja sudah termasuk salah satu keajaiban. Ketika Megan bangun tidur,
Aurel sudah meninggalkan rumah. Juga ketika Megan ingin tidur malam, Aurel
belum juga pulang ke rumah. Megan tau bahwa kakaknya memang sibuk, tapi apakah
ia tidak memikirkan Megan sama sekali? Kejengkelan Megan sudah mencapai
puncaknya. Ia berjalan ke sekolah dengan menghentakan kakinya tanpa sengaja.
Bahkan memikirkan kakaknya saja sudah membuat dirinya kesal seperti itu.
Tidak terasa, ia sudah sampai ke
tempat yang ia tuju. Papan besar yang bertulisan “SMP Merdeka Jaya” itu
terpampang jelas di hadapannya. Megan menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia
menghembuskannya. Megan berjalan ke arah kelasnya, kelas IX-B. Saat ia membuka
pintu kelas, seluruh teman-temannya yang berada di dalam kelas menatap ke
arahnya. Tidak lama setelah itu, mereka membuang muka seolah tak melihat Megan
di sana. Megan tidak memperdulikannya, ia sudah terbiasa.
Megan menaruh tas birunya itu ke atas
meja, kemudian ia mengeluarkan novel yang ia bawa dari rumah. Ia
membolak-balikan lembaran kertas itu. Beberapa saat kemudian, bel tanda masuk
berbunyi dengan nyaring. Megan menghembuskan nafas pelan, saatnya untuk
belajar.
Selama pelajaran, Megan tidak fokus
mendengarkan Bu Meri yang sedang menerangkan rumus lingkaran di depan kelasnya.
Jujur saja, ia sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang Bu Meri ajarkan.
BRAKKK….
Pintu kelas terbuka lebar, seluruh
siswa mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Di sana ada wali kelas mereka,
Pak Robin. Pak Robin datang dengan nafas terengah-engah, seperti habis berlari
jauh.
“Megan,” panggilan Pak Robin itu
membuat teman-temannya melihat ke arahnya sekarang. “Ayo, ikut saya!”
Jantung Megan berdetak dengan cepat.
Berbagai macam pertanyaan bermunculan di benaknya. Entah mengapa ia merasakan
firasat buruk yang terus menghantui dirinya.
***
Selang-selang
yang tersambung ke tubuh Aurel membuat nafas Megan memberat. Aurel melihat
Megan memasuki kamarnya, ia tersenyum untuk menyambut adiknya itu.
“Hai,”
sambut Aurel dengan lemah. Megan berjalan mendekati kasur Aurel. “Mama lagi
keluar sebentar, mau beli makan, mungkin sebentar lagi balik.”
“Hai,”
Megan hanya bisa tersenyum miris. Ya, bahkan ia tidak sadar kalau sekarang
Megan sudah kelas 3 SMP, ia tidak sadar kalau model rambut Megan sudah tidak
berbentuk bob pendek lagi, dan juga ia tidak sadar kalau ini pertama kalinya
mereka berbicara setelah dua tahun. “Gimana, kak? Udah mendingan belom?”
Aurel
mengangguk. “Udah. Ga parah kok sebenernya.”
“Ga
parah?” ucapan Megan meninggi. “Apanya yang ga parah, kak? Aku hampir kena
serangan jantung nih pas denger kakak masuk rumah sakit!”
Aurel
tertawa kecil. “Serius, engga parah kok! Buktinya masih sadar nih!”
Megan
hanya bisa tertawa mendengar jawaban dari kakaknya itu. Sepanjang hari itu,
mereka menghabiskan waktu untuk bercanda bersama. Saat-saat tersebut merupakan
waktu yang berharga bagi Megan.
Waktu
berjalan dengan cepat, tidak terasa sudah satu minggu Aurel dirawat di rumah
sakit. Hari-hari di dalam rumah sakit terasa membosankan bagi Aurel, sehingga
Aurel bersikeras untuk keluar dari rumah sakit sesegera mungkin. Ia juga ingin
melanjutkan karirnya sebagai artis, para fansnya sudah menunggunya untuk
kembali.
“Kak,
kakak serius mau pulang sekarang? Kondisi kakak belom pulih banget kak,” kata
Megan dengan cemas.
Aurel
mengangguk yakin. “Iya, lagian sakit kakak engga parah-parah banget kok.”
“Ma,”
Megan menoleh ke arah mamanya itu. “Emang kakak udah boleh pulang?”
“Sebenernya
mama juga engga setuju, Meg. Kakak kamu ini udah pengen pulang, engga betah
katanya,” jawab mama pasrah. “Ya udahlah.”
Aurel
mengambil tasnya dan mereka pun segera keluar dari ruangan itu. Mereka bertiga
berjalan menyelusuri koridor rumah sakit.
“Kak,”
panggil Megan.
“Hmm?”
“Kakak
seriusan udah mau balik nih?” tanya Megan sekali lagi. Setelah beberapa detik,
tidak ada jawaban yang terdengar dari belakang Megan. Megan menoleh ke
belakang.
BRRUKKKK…
Penglihatan
pertama yang Megan lihat yaitu Aurel yang tersungkur lemas di lantai koridor.
Megan berteriak dengan panik. Mamanya juga segera berlari untuk memanggil
dokter.
***
Dua hari kemudian, Megan baru sempat
mengunjungi kakaknya yang sedang terbaring di rumah sakit itu. Sama seperti
sebelumnya, Megan menatap Aurel yang tersambung oleh kabel-kabel itu lagi, yang
berbeda hanya sekarang ia tidak membuka matanya. Bunyi alat-alat medis mengisi
kesunyian di ruangan itu. Suara jantungnya yang berdetak lebih cepat itu seakan
terdengar jelas di telinganya.
“Kak,”
panggil Megan.
Tidak
ada jawaban yang terlontar dari mulut Aurel. Aurel hanya bisa menjawab dengan
hembusan nafas teratur.
“Kak,
maafin Megan,” ucapnya dengan lemah. “Selama ini Megan cuma bisa ngeliat diri
sendiri, Megan engga bisa ngeliat dari sisi kakak. Kakak udah banyak banget
bantu keluarga ini. Bantu ngebiayain keuangan keluarga, semenjak papa engga
ada. Kerja sampe engga merhatiin kesehatan diri sendiri, belajar sampe
pagi-pagi banget.”
Megan
mulai berjalan mendekati kasur Aurel, kemudian ia duduk di kursi sebelah kasur
itu. “Mungkin selama ini aku kesel sama kakak, aku ga suka kakak jadi artis,
aku ga suka liat kakak sibuk, aku ga suka sendiri, karena aku butuh sosok kakak
yang dulu lagi. Aku ga bisa temenan karena aku takut suatu saat temen-temen aku
itu bakal menjauh, sama kayak kakak, kayak… papa. Aku tau ini egois, tapi
sekarang aku udah ngerti. Suatu saat orang pasti akan menjauh, pasti akan pergi
juga, tapi bakal ada orang-orang yang berusaha selagi dia bisa buat terus ada
di deket orang yang penting di hidup dia.”
Megan
menarik nafas panjang-panjang. “Aku akan berusaha buat berada di samping kakak
dan mama selama yang aku bisa, juga aku bakal nyari temen. Aku bakal nyoba buat
bantu keluarga kita juga, kak. Aku bakal ngertiin jadwal kakak yang padat
banget, tapi tolong bangun, kak.”
Megan
mengusap matanya yang sudah mulai berair itu. AH! Megan seperti melihat tangan
Aurel bergerak sedikit. Ia mencoba untuk memperhatikan Aurel lagi. Benar!
Jari-jari tangan Aurel bergerak sedikit. “Kak? Kakak sudah bangun?”
Aurel
mulai membuka kedua matanya perlahan. Tetesan air mata mengalir dari mata
Aurel. Senyum samar itu melekat di benak Megan. “Maafin kakak juga,” kata Aurel
nyaris tidak terdengar oleh Megan. Megan mengerti ucapan kakaknya itu, senyum
Megan mengembang.
“Dokter!
Dokter!” seru Megan senang.
Ia
sudah berjanji dalam hatinya dan ia tidak akan pernah mengingkari janjinya itu.
Ya, tidak akan pernah.
Diva Marchandra
X MIA 3
HAL TAK DIINGINKAN
Sepekan yang lalu, tepatnya di hari Sabtu,
kejadian buruk baru saja menimpaku. Sebuah ponsel dan dompet milikku hilang.
Sebenarnya aku tidak merasakan pasti bagaimana barang berhargaku itu hilang,
tapi aku punya dugaan yang cukup ku yakini benar.
Kejadian ini bermula dari pagi
dimana aku harus berangkat ke sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
yang aku pilih. Aku memasukkan semua barang yang aku butuhkan ke dalam tas
tanganku dan memastikan tidak ada yang tertinggal.
Handphone? Sudah.
Dompet?Sudah.
Buku Tulis?Sudah.
Alat tulis?Sudah.
Mukena?Sudah.
Setelah merasa barang bawaanku
lengkap, aku langsung membawa tas itu, dan menggantungkannya di pundakku. Hari
itu aku tidak berpamitan dengan ibu karena aku takut terlambat. Toh ibu tahu
kok bahwa hari ini adalah jadwalku ekskul. Jadi, buat apa aku izin lagi?
Bus kopaja, alat transportasi yang
kugunakan setiap hari ini entah kenapa sangat padat sekarang ini. Aku tidak
kebagian tempat duduk sehingga aku harus berdiri dan berpegangan pada sandaran
kursi di sebelahku.
“Dek, mau turun di mana nanti?”
Tanya seorang bapak-bapak yang ku tebak berusia tiga puluhan yang berdiri tepat
di depanku. Aku tidak curiga sama sekali, dan menganggap bahwa dia hanya orang
ramah yang ingin bersosialisasi.
“Oh, di Jatinegara pak” jawabku
sambil tersenyum
Aku merasa seseorang di belakangku
terus bergeser mendesakku ke kursi bagian kanan di mana ada seorang pemuda
duduk di situ. Tapi lagi, aku tidak peduli dan menganggap itu hanya ketidak
sengajaan.
“Mau sekolah ya?” Tanya bapak tadi
lagi yang hanya ku jawab dengan anggukan.
“Padahal hari Sabtu lho dek?”
“Iya pak ekskul”
Aneh, aku merasa orang di
belakangku ini terus-terusan mendesakku padahal ia sama sekali tidak
kesempitan, masih ada ruang untuknya berdiri dengan nyaman walaupun kondisi bus
penuh. Merasa terganggu, aku bergeser maju untuk menjauh. Tak lama, bapak-bapak
yang tadi mengajakku ngobrol, orang di belakangku, dan pemuda yang tadi duduk
di bagian kananku turun bersamaan di daerah Matraman. Aneh, pikirku.
Sampai persis di depan sekolahku,
aku pun turun setelah memberikan dua lembar uang dua ribuan kepada kenek bus.
Masuk ke gerbang sekolah, aku hendak mengecek grup ekskulku di LINE untuk
mengetahui tempat latihan hari itu. ketika aku merogoh tasku, benda yang ku
cari itu tidak ada di sana. Dengan kondisi setengah panik aku merogoh saku
celanaku dan hasilnya nihil.
Aku duduk di depan pos sekolahku
dan perlahan-lahan mengeluarkan seluruh isi tasku. Dan ada dua hal yang aku
sadari setelah berulang-ulang mengecek isi tasku. Pertama, ponselku tidak ada
di sana. Dan kedua, dompetku juga tidak ada di sana. Aku mengingat kembali
apakah aku sudah memasukkan ponsel dan dompetku ke dalam tas pagi tadi. Dan aku
ingat betul aku sudah memasukkannya
Seketika aku
panik dan menyadari tentang kejadian aneh yang tadi ku alami di bus. Aku yakin
bahwa mereka ada hubungannya dengan hilangnya dua barang berhargaku ini. Selain
kehilangan ponsel, aku juga kehilangan seluruh isi dompetku. Mulai dari katu
pelajarku, kartu ATM-ku, dan seluruh uang tunai yang ada di sana. Tak ada yang
bisa kulakukan selain mengikhlaskan dan menjadikan kejadian ini sebagai
pelajaran untukku ke depannya.
Diwyastra
Kalyanadipta
X MIA 3
Bocah Penjual
Korek Api
Malam itu, langit sangatlah gelap, cahaya
bulan tertutup oleh pekatnya awan hujan yang tak kunjung-kunjungnya berhenti.
Aku berdiri di pojok jalan menunggu dan mencoba menghangatkan diri di malam
yang dinginnya begitu menusuk tulang.
Aku berumur 8 tahun, aku adalah
seorang anak penjual korek api, setiap pagi aku diberi dua kantong plastik
untuk dijual dan apabila kurang dari tiga perempatnya terjual aku tak akan bisa
membeli makan untuk hari itu. Orang tuaku meninggalkanku saat aku baru 3 tahun
aku tidak tau harus apa jadi dari umurku baru
4 tahun aku hanya tau cara menjual korek api.
Tiba-tiba di saat aku hampir terpingsan karena
dinginnya malam, sebuah mobil berhenti di depanku, seorang pria turun dan
menggendongku masuk ke mobil. Karena sudah tidak kuat lagi akhirnya akupun
tertiur.
Aku terbangun di sekolah untuk
anak-anak yatim piatu. Aku terkejut bagaimana aku bisa ada di situ sekaligus
merasa sedikit bersyukur. Di situ aku harus bekerja sebagai tukang cuci piring,
setiap hari aku dicaci maki dan diteriaki tetapi setidaknya aku mendapat
pakaian layak, tempat tidur serta makanan yang cukup.
Setiap hari aku melihat-lihat anak
murid belajar dan secara perlahan aku mencoba untuk mengikuti mereka, tentu
saja aku banyak ditertawakan anak-anak sekolah itu dan aku akan selalu dipukul
apabila ketawan menyelinap untuk mencoba mendengarkan pelajaran-pelajaran
mereka.
Teman-teman
masih banyak anak-anak di Indonesia yang tinggal di jalanan dan mereka masih
berjuang untuk bisa mendapatkan hidup yang layak. Upaya untuk membantu
anak-anak di jalanan masih sangat minim di Indonesia, dan apabila mereka
diselamatkan pun, mereka tetap saja hanya akan digunaka untuk hal lain yang
tidak berbeda bururknya. Jadi mari kita bersama
mencoba untuk menyelamatkan anak-anak jalanan di Indonesia. Serta untuk
tidak membeda-bedakan orang lain.
Eunike Mercy
X MIA 3
Missing Piece
Dahulu kala, berdiri 4 kerajaan di pesisir pantai Laut
Carcissia. Kerajaan-kerajaan terdahulu ini dipimpin oleh 4 pria kakak-beradik.
Mereka memimpin kerajaan yang diwariskan kepada mereka dengan keistimewaannya
masing-masing. Si sulung, Raja Aldwin menguasai daerah utara, memimpin kerajaan
dengan kebijaksanaannya. Negeri Utara disebut-sebut sebagai daerah penuh
kebijaksanaan, diturunkan dari rajanya sampai kepada seluruh rakyatnya, mereka
semua menghargai pilihan dan kemungkinan. Anak kedua, menguasai daerah timur,
Raja Adrian memimpin daerahnya yang memiliki sumber daya paling terbatas dengan
kecerdasan, Ia pandai memanfaatkan dan mencari alternatif. Rakyat Negeri Timur
menghargai ilmu pengetahuan mulai dari kasta tertinggi sampai terendah. Lalu
Raja Agrand, ialah yang paling adil di antara semuanya. Ia menguasai daerah
paling subur, paling damai, dan paling menghargai keadilan dan kejujuran yang
mana diturunkan langsung dari Raja Agrand kepada segenap rakyatnya. Neraca yang
seimbang membumi erat di dalam tanah Negeri Selatan. Dan ada si bungsu, Raja Ahory,
yang mendapat kan bagian terakhir, di daerah bagian barat. Walau merupakan
keturunan terakhir, Raja Ahory adalah raja yang menghargai keberanian dan
kekuatan. Di Negeri Barat inilah lahir putra putri negeri yang terkuat. Pedang
dan perisai di tempa di sini. Begitulah kehidupan 4 kerajaan di pesisir pantai
laut Carcissia.
Kerajaan-kerajaan ini berkembang dengan pesat dari
tahun ke tahun, menjadi pusat kejayaan yang kabarnya tersiar sampai ke pelosok
bumi. Dengan pasukan persatuan yang paling bijaksana, paling cerdas, paling
adil, serta paling kuat. Semua pasukan itu dipimpin secara langsung sebagai
orang-orang terpilih oleh para raja. Mereka bertugas menjaga perbatasan dan
melindungi wilayah. Tidak seperti warga biasa dari per daerah, pasukan khusus ini
menguasai keempat keistimewaan milik individu setiap raja. Mereka tak pernah
kalah dalam medan perang, tak pernah gagal menjalankan tugas, tak pernah
kembali ke kerajaan membawa mayat. Namun, dengan segala kesempurnaan yang
dimiliki keempa kerajaan tersebut, tidak ada seorangpun yang merasa bahagia,
tak seorangpun.
Hari itu hari bersejarah, dimana perbatasan negeri
luruh, penyerangan terjadi di pinggir negeri, tiada seorangpun pasukan yang
selamat, tidak seorangpun. Seluruh negeri kacau porak-poranda ketakutan,
orang-orang berlarian sampai berteriak histeris. Keempat raja pergi mendatangi
satu-satunya tetua yang tersisa di kuil kuno demi meredam keadaan yang kian
ricuh. "Salam. Kami datang dari keempat penjuru negeri, memohon nasihat
dari yang termulia, tetua negeri.", sapa keempat raja. "Waktu itu
setengah abad yang lalu, dimana kalian semua terakhir meminta nasihat dari
padaku, sebelum para tetua ditelantarkan, dan hanya tinggal aku seorang. Entah
apa yang sedang terjadi di luar sana, tapi aku tahu, bahwa segalanya tidak akan
berjalan mulus mulai sekarang.", balas tetua itu pelan. "Omong
kosong, kami mempunyai pasukan terbaik sepanjang masa, bagaimana bisa kami
dikalahkan oleh segelintir orang buangan dengan kemampuan yang tidak ada apa
apanya?, balas keempat raja. Tetua hanya memandangi mereka dalam keheningan.
"Kami tidak pernah salah dalam memilih, kami menghargai kebijaksanaan.
Kami mustahil dikalahkan.", ucap raja Aldwin. "Kamilah yang tercerdas
di medan perang, kami menghargai ilmu pengetahuan. Kami mustahil
dikalahkan.", ucap Raja Adrian. "Kami adalah orang yang paling
seimbang dan paling stabil dimanapun, kami menghargai keadilan. Kami mustahil
dikalahkan.", ucap Raja Agrand. "Kami adalah putra-putri negeri yang
paling kuat di seluruh negeri, kami menghargai keberanian. Kami mustahil
dikalahkan.", ucap Raja Ahory.
"Ya, itu semua benar adanya, namun ada yang
kurang, yang terlupakan oleh kalian berempat. Kaliam memerintah dengan murka
angkara, seluruh rakyat ketakutan dibawah pijakan kekuasaan kalian, kalian
kehilangan hal tersebut, the missing piece, yaitu..", jawab sang tetua.
Suara peperangan dan teriakan makin jelas terdengar, para raja mengernyit
menyadari kesalahan mereka semua. Mereka sudah tahu kelanjutan ucapan tetua.
Dan mereka sadar bahwa kebinasaan sudah siap mendiami negeri ini. Lalu
terdengar kelanjutan ucapan tetua, hal yang selama ini mereka abaikan,
"Loyalty.".
Ezia
Purnama Putri
X MIA 3
Pertemanan abadi
Erik adalah seorang anak kecil yang tinggal di
rumah yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalku. Kedua orangtuanya adalah
pekerja kantoran, jadi dia selalu sendirian dirumah walaupun terkadang
pembantunya berada dirumahnya.
Erik adalah seorang anak yang nakal. Dia
adalah teman sebayaku. Dia mudah sekali marah. Dia bahkan sering memukul
teman-temannya. Sering kali dia membuat mereka menangis. Karena itu,
teman-teman sebayanya selalu menjauhinya. Orang tuaku bahkan melarangku untuk
bermain dengannya walaupun terkadang aku masih mendekatinya.
Pada suatu malam, saat aku sedang dalam
perjalanan pulang dari warung sebelah rumah, aku melihatnya sedang duduk
sendirian di atas salah satu ayunan di taman dekat rumah. Wajahnya murung dan
matanya sembab karena menangis terlalu lama. Dengan perlahan, aku mencoba
mendekatinya.
“Hai Erik, sedang apa kamu disini ?
malam-malam begini kok keluar sendirian ? kata mama nanti diculik lho,” Sapaku sambil sedikit bercanda,
mungkin saja aku dapat menghiburnya walaupun hanya sedikit.
Dia tidak menjawab sapaanku, hanya
mendongak sedikit ke arah ku sejenak sebelum kembali menatap ke tanah. Setelah diam beberapa saat,
dia menjawab dengan nada lesu.
“Aku tidak bisa pulang ke rumah…”, ucapnya
dengan sendu.
“Kenapa tidak bisa ?”
“Dirumah tidak ada yang sayang padaku.”
Aku berjalan mendekati salah satu ayunan
yang kosong dan duduk di ayunan di sebelahnya. Aku merasa empati kepadanya.
Erik masih berumur 10 tahun, sudah sering ditinggal orang tuanya, dijauhi
teman-temannya. Aku tidak tau apakah aku bisa tahan hidup seperti itu, saat
ditinggal Ibu ke pasar saja aku masih menangis.
“Kenapa kamu bisa berpikir begitu ?”
“Aku orang yang pemarah dan suka memukul
orang, pasti tidak ada yang sayang denganku,”katanya dengan wajah masih
mengarah ke tanah dengan mata yang sesekali melihat ke arahku.
“Pasti ada kok, pemarah atau bukan, kamu
itu pantas untuk disayang, ” jawabku sambil sedikit mengayunkan ayunan tempat
aku duduk.
“Meskipun aku memukulmu ? merusak mainanmu
?”
Terlintas sejenak dibenakku sewaktu aku
pertama kali mengajaknya main. Aku membawa dua mobil-mobilan dengan warna yang
berbeda, satu berwarna merah dan yang lain berwarna hijau. Mobil-mobilan itu
baru dibelikan Ibuku beberapa hari sebelumnya.
Aku sangat menyukai mobil-mobilan itu.
Saat aku mencoba mengajaknya bermain, dia
hanya menjawabku dengan ketus.
“Pergi sana, kamu cuma buang-buang waktu
kesini,” ucapnya dengan ketus sambil mendorong bahuku hingga aku terjatuh.
Mobil-mobilanku terlepas dari peganganku dan jatuh didepannya. Erik menendang
mobil-mobilanku lalu langsung beranjak pergi. Aku hanya bisa diam, menatap
mobil-mobilanku yang sudah tertendang
sambil menahan air mataku agar tidak jatuh.
Mengingat kejadian itu membuatku bertanya
kepada diriku sendiri, mengapa aku masih bersikeras untuk berteman dengannya.
“Tentu saja, mainan seperti itu bisa
digantikan setiap saat, tapi kamu tidak bisa menggantikan seorang teman,”
jawabku sambil tersenyum meyakinkan.
“Tapi jika aku besar nanti, apa kamu masih
mau berteman denganku? Meskipun aku sudah berubah?”
Pikiranku melayang lagi, ke kedua orang
tuaku. Mereka bilang mereka berdua sudah bersama sejak masih muda dan hingga
sekarang kebersamaan mereka tak pernah pudar meskipun sudah bertahun-tahun
bersama.
“Tentu, waktu sekarang atau di masa depan,
kamu akan selalu menjadi temanku.”
“Apapun yang terjadi ? Meskipun pertemanan
kita hancur? kamu tetap menjadi temanku ?”, sekarang wajahnya menoleh ke
arahku. Raut kesedihan di mukanya sudah menghilang. Meskipun ia belum menyunggingkan
senyum, setidaknya aku sudah membuat perubahan.
“Mana kutahu, yang terpenting hanya kamu
adalah temanku yang tak terganti.”
“Bagaimana saat kita mati ? Apa kamu tetap
menjadi temanku ? Apa pertemanan terus bertahan sampai itu terjadi ?”, Tanya
Erik sambil memiringkan kepalanya sedikit.
Saat aku mendongak ke atas, aku melihat
langit yang cerah dengan bintang-bintang yang bersinar terang tanpa malu
menunjukkan cahayanya. Awan-awan yang tadi menutupi sudah menghilang. Erik
mendongakkan kepalanya mengikutiku. Kudengar suara hela napas darinya,
nampaknya dia juga terpana melihat bintang-bintang gemerlap dilangit.
“Lihat bintang-bintang itu, mereka
bercahaya terang gemerlapan, tetapi Ibuku bilang bintang-bintang itu sudah mati
bertahun-tahun yang lalu. Tetapi mereka tetap bersinar sampai sekarang di
langit yang gelap. Seperti bintang-bintang, pertemanan dan kasih sayang itu
tidak akan hilang. Terkadang orang hanya memilih untuk tidak mengucapkannya.”
Awan-awan kembali menutup langit, aku dan
Erik beranjak untuk pulang kerumah masing-masing. Erik berjanji akan menjaga
pertemanan kami dan aku berjanji akan selalu menjadi teman baiknya hingga
dewasa nanti.
Firda Rahmania Bandjar
X MIA 3
X MIA 3
JIKA….
Suhu
di sekitarku mulai menurun, badanku mulai dingin tak terasa, mataku sudah
terpejam walau belum lelap. Saya tak tahu apa nama fasenya, yang jelas, fase
ini adalah fase terbaik saya berimajinasi dan mencari inspirasi.
Ketukan
jam tetap berjalan,tetapi imajinasiku masih hitam, belum ada gambaran yang saya
bayangkan, otakku terus memaksa harus berimajinasi. Selalu teringat cerita
orang tua tragisnya sejarah akhir abad 19. Setiap saya mengalihkan, makin susah
tidur yang saya rasa.
Saya
semakin hanyut. Apa yang terjadi jika saya hidup di masa itu? Masihkah saya
peduli dengan fase fase tidur? Akankah
saya masih memedulikan paragraph ini? Atau masihkah saya peduli dengan
pertanyaan ini?
Tidak
dapat lagi dibendung. Bagaimana jika saya terlahir berkebangsaan Tionghoa?
Akankah saya diperkosa pada waktu itu?
Yang
mereka katakan, Jakarta tidak terbentuk saat itu. Pecahan kaca berserakan karna
saling serang. Mobil mobil, gedung gedung hancur hangus terbakar. Saling serang
dengan aparat keamanan.
Apa
yang harus saya lakukan jika ternyata lokasi saya dekat dengan lokasi kejadian?
Harus kemana saya lari? Kemana saya mengumpat? Apakah saya pasrah dengan
kehidupan saat itu?
Seandainya
saya lahir tahun 1981, rumah saya di sekitar Glodok, mungkin ada satu diantara
banyak makam bernisankan
Firda
Rahmania Bandjar
6 Agustus 1981
wafat pada 14 mei 1998
6 Agustus 1981
wafat pada 14 mei 1998
Tapi
untung saya terlahir pada awal abad 20, tidak pernah merasakan kerusuhan.
Itulah mengapa kita harus bersyukur. Tidak menyesal atau mengeluh “Mengapa saya
harus merasakan?”
Jarum
jam terus bergerak ke kanan,saya sudah agak terlelap, memasuki fase tidur N2,
terus terus hingga semuanya hitam.
Grizelda
Soefa Aisha
X
MIA III
PILIHAN HIDUP
“Hei
Fel! Berlutut di hadapanku!” Felicya atau biasa disebut Fel pun segera beranjak
dari kursinya dan menuruti apa yang dikatakan oleh lelaki yang ada di depannya.
Kemudian lelaki itu menendang tubuh gadis itu sambil berjongkok “Bawakan aku
makanan yang biasa kutunggu 5 menit lagi di atap". Tanpa berani membalas,
Fel segera berlari menuju kantin dan memesan makanan, tentunya ia membeli
dengan uangnya sendiri.
“Bu
yang biasa ya" “Lagi? Kau harusnya mengadu kepada guru atau kepala
sekolah" “Tak apa lagi pula aku punya uang lebih" Fel pun menyerahkan
uangnya kepada ibu kantin tapi uangnya ditolak “Hari ini kau tak usah membayar
aku akan mengganti uangmu" “Tapi...” “Tak apa untuk kali ini saja".
Fel
pun menuju atap sekolah dan membuka pintunya “ Telat 30 detik, berdiri
mengangkat satu kaki 5 menit!”. Ia menghela napas dan berdiri di sebelah pintu
sambil merenung.
Sudah
sebulan sejak ia pindah ke sekolah ini, dan ini yang ia dapat semenjak sebulan
lalu. Sebenarnya banyak yang kasihan padanya, hanya saja mereka tidak berani
melawan orang yang katanya “paling kuat seangkatan". Namanya Arvin, ia
dibilang paling kuat karena ia suka berkelahi entah itu di sekolah ataupun di
luar. Tapi yang hebat, ia belum pernah ketahuan guru sekalipun karena ia
berlagak baik di depan guru.
Fel
berjalan ke kelas dengan gontai, bel sudah berbunyi tapi ia belum makan sama
sekali semenjak pagi karena hukuman tadi. Sesampainya di depan pintu kelas ia
membukanya, tetapi, ia langsung roboh di tempat membuat teman-teman sekelasnya
mengerubunginya.
Fel
membuka matanya dan ia menemukan sekelilingnya hanya putih polos tak ada yang
lain. Namun, ada sosok hitam berdiri tak jauh darinya yang semakin mendekat.
Fel pun mengetahui bahwa ia adalah seorang lelaki dengan jubah dan topi hitam.
“Siapa kau?” tanya Fel dengan sedikit meninggikan suaranya. Lelaki itu
tersenyum meremehkan dan menjawab “Kau berani bertanya dengan nada tinggi
tetapi di kenyataannya kau bahkan tak bisa menjawab anak lelaki itu, aku
sungguh kecewa". Fel merasa sedikit tersinggung dan bertanya lagi “Lalu
aku harus apa? Kau harusnya tahu orang seperti apa Arvin itu". “Berubahlah
Fel, kau tak pantas diperlakukan seperti itu" Fel hanya terdiam menunggu
kelanjutan omongan si sosok jubah hitam itu. “ Kau bisa berubah jika kau mau,
apa harus aku menunjukkan masa depanmu jika kau tak mau berubah?” kata si sosok
jubah hitam sambil menengadahkan tangannya kearah Fel.
Fel
langsung tersentak dan seketika ia melihat seorang perempuan dewasa yang
sepertinya tengah disuruh-suruh oleh bosnya. “Kau tahu, jika kau berubah
mungkin kau bisa menjadi pemilik gedung ini dan bukan menjadi pegawai kantor
biasa" kata sosok jubah hitam yang tiba-tiba ada di sebelahnya. “Hah?! Ini
aku di masa depan?” katanya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Ya
sebenarnya masa depanmu bisa menjadi apa saja, tapi ini mungkin masa depanmu
yang paling dekat dengan dirimu sekarang".
Fel
masih membelalakan matanya saat ia tahu bahwa di masa depannya, ia masih harus
disuruh-suruh oleh orang lain. Ia sebenarnya tak mau begitu lagi tapi ia tak
bisa melawan. “Kau harus melawan Fel kau pasti bisa, bukan dengan kekerasan,
tetapi kau harus melawannya". “Apa aku bisa?” “ Ya kau bisa, kau harus
bisa". Fel masih bingung dengan apa yang harus dilakukannya, tetapi ia
juga tak mau lagi merepotkan ibu kantin. “Ah sudah waktunya kau bangun, ayo
bersiap-siap, sekarang pilihan hidupmu ada di tanganmu".
Fel
terbangun di ruangan serba putih yang sepertinya adalah UKS, ia beranjak
berdiri menuju ruang kelas. Ia lihat jam dinding sudah menunjukkan waktu untuk
pulang. “Aku akan berbicara padanya besok".
Esoknya
ia memasuki kelas yang isinya hanya Arvin yang sudah duduk di bangkunya. “Hai
Fel, sudah siap untuk hari ini?” dengan nada sarkasnya sambil menyeringai.
“Arvin, aku ingin bicara, hanya berdua".
Mereka
sampai di atap sekolah kemudian Fel memberanikan diri membuka pembicaraan
“Arvin, aku mau kau berhenti menyuruhku ataupun menyakitiku lagi" “Apa?!
Kau kira aku akan melepaskannya begitu saja?!” bentak Arvin sambil menarik
kerah baju Fel. “Aku masih bicara baik-baik sekarang, aku bisa saja ke bawah
dan mengadu langsung ke kepala sekolah dan memintamu untuk dikeluarkan"
“Kau berani ya sekarang!!” kata Arvin sambil melepas kerah baju Fel. “Ck aku
tak mau cari gara-gara dengan guru apalagi kepala sekolah jadi jangan dekati
aku lagi" Fel tersenyum mendengar ucapan Arvin dan membalas “Terima kasih
sudah mengerti aku tak akan mengganggumu".
Sebulan setelah percakapan itu mereka
tak pernah berhubungan satu sama lain. Mereka sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Fel yang sekarang sudah memiliki banyak teman sedangkan Arvin
fokus dengan belajarnya bersama teman-temannya. Tanpa disadari ada sosok jubah
hitam yang memandang dari kejauhan “Kau sudah menemukan pilihan hidup terbaikmu
Fel" sambil tersenyum kemudian berlalu.
Hubert
Nathanael
X MIA 3
Misteri
yang Tidak Diketahui
Sore itu, setelah pulang sekolah. kudapati
sebuah kotak misterius bercorak huruf Sanskerta di depan pintu rumah. Warnanya
hijau keabuan. Hanya ada satu kata bertuliskan bahasa Indonesia “imajinasi”.
Awalnya memang aku bingung. Namun, aku berniat untuk membawa masuk karena tidak
ada pemilik jelas kotak tersebut. Langsung kubawa masuk ke rumah dan kutaruh di
ranjang.
Makan
malam sudah kusantap, aku pun bergegas untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Perhatianku terganggu saat kulihat kotak itu. Aku memutuskan untuk menelpon
Austin. Kenalkan, dia adalah teman baikku. Kami sudah berteman sejak Sekolah
Dasar kelas 4. Oh ya, kenalkan namaku Troy. Aku sekarang menduduki bangku kelas
2 SMA atau kelas 11. Jadi pertemanan kami sudah tidak perlu diragukan lagi.
“Austin! Cepat ke rumah gue. Ada
sesuatu yang aneh yang perlu lu tahu!”
“Baiklah!” jawab Austin.
Ya, Austin sudah pasti tahu apa yang
ada di pikiranku ketika aku mengatakan hal tersebut. Kami sudah sering
menemukan kasus-kasus aneh dan tidak jarang pula kami pecahkan solusinya.
Namun, kali ini berbeda. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa.
“Apa ini? Apa lu udah coba buka?”
Kenapa tidak terlintas di kepalaku
untuk membuka kotak tersebut ya? Tidak bisa!
“Ini terkunci!”
Aku dan Austin langsung memikirkan apa
yang harus dilakukan sekarang.
“Coba cek tempat di mana kotak ini
tadi kamu ambil,” kata Austin.
Ternyata, benar! Ada petunjuk di bawah
karpet di depan rumah, mengarah ke halaman. Kami mencari petunjuk selanjutnya
sejenak, tetapi tak kami temukan satu acuan pun. Setelah lama mencari, kami
sadar bahwa petunjuk selanjutnya bukan merupakan benda atau gambar. Petunjuknya
memang mengarah ke halaman, tetapi bukan berarti harus ke halaman. Petunjuk itu
menunjukan tempat di mana kami harus menempatkan kotak tersebut. Kami berlari
tunggang-langgang ke kamar dan mengambil kotak tersebut. Karena terburu-buru
aku tidak sengaja menjatuhkan kotak tersebut sehingga… Apa yang terjadi pada
kotak tersebut?
Iris
Fadiyah
X MIA 3
Kisah 2 Orang Petani
Disuatu desa yang subur tinggalah dua orang
petani yang bernama pak Firman dan pak Joko. Pak Firman adalah seorang petani
yang rajin, tekun, dan senang membantu orang lain, lahan pertaniannya pun
subur, sedangkan pak Joko adalah seorang petani yang suka bermalas malasan
serta tidak peduli pada perkataan orang lain.
Pada suatu hari pak Joko melihat
pak Firman sedang memanen kebunnya lebih awal, pak Joko pun heran mengapa pak
Firman sudah mulai memanen kebunnya dipagi buta seperti ini, pak Joko pun
bertanya pada pak Firman apa yang sedang ia lakukan. Pak Firman pun menjawab
bahwa ia sedang mempersiapkan bahan-bahan makanan untuk badai yang akan segera
dating, namun pak Joko tidak memedulikan perkataan pak Firman dan hanya
bermalas-malasan.
Pada keesokan harinya pun benar,
terjadi badai yang hebat melanda desa tersebut yang menyebabkan toko toko
tutup. Pak Firman tidak takut karena ia memiliki cadangan makanan yang
mencukupi untuk beberapa hari kedepan,sedangkan pak Joko pun kebingungan karena
cadangan makanannya sudah habis pak Joko pun berpikir “aku harus meminta
makanan kepada orang lain,namun satu satunya orang yang tinggal dekat rumahku
adalah pak Firman” ia pun langsung menyadari kesalahannya karna ia tidak
mendengarkan perkataan pak Firman sehingga ia harus menanggung deritanya itu,
ia pun bergegas ke rumah pak Firman untuk meminta makanan sekaligus meminta
maaf walau sedang terjadi badai.
“tok..tok..tok” pak Firman
mendengar suara ketukan pintu yang
membangunkannya dari tidurnya itu,ia pun bergegas membuka pintu dan saat dibuka
ia melihat pak Joko yang basah kuyup dan segera mempersilahkannya masuk.
Melihat pak Joko yang basah kuyup pak Firman pun langsung memberinya pakaian
baru agar tidak kedinginan serta langsung mengambilkannya makanan. Pak Joko pun
langsung meminta maaf kepada pak Firman karena sering mengabaikan perkatannya.
Semenjak itu pak Joko dan pak Firman menjadi sahabat yang dekat dan saling
membantu, dan pak Joko tidak menganggap pak Firman sebagai saingannya lagi.
Kebun pak Joko pun sekarang subur karna pak Joko sudah tidak bermalas malasan
lagi semenjak kejadian itu.
Josh Alevsan
X MIA 3
Hijau dan Biru
“Zzz...,
Zzz...” suara Biru tertidur sembari berbaring di atas rumput di ujung bukit.
“Hey,
kau. Sudah cukup tidurnya. Dari tadi siang kerjaanmu tidur saja,” kata Hijau
sedang membangunkan biru.
Hari
semakin senja. Terlihat warna langit yang kemerah-merahan disertai awan-awan
yang bergerak dengan pelan. Setelah Biru bangun, Hijau pun menunjuk ke arah
matahari.
“Lihatlah...”
seru Hijau yang menunjuk ke arah matahari yang sedang terbenam.
Terdengar
lonceng desa berbunyi bagaikan musik yang mengiringi akhir dari terang siang.
Hampir setiap hari Hijau dan Biru berkumpul di ujung bukit hanya untuk melihat
pemandangan matahari yang terbenam.
“Bir,
apakah kamu masih ingat saat pertama kalinya ayah membawa kita ke sini ? Waktu
itu, ketika ayah pulang kerja,” tanya Hijau melihat ke hutan yang terletak di
bawah bukit.
“Kalau
tidak salah, ayah waktu itu sedang melukis kita bukan?” sahut Biru mencoba
mengingat.
“Hehe...,
waktu itu aku sedang menggendongmu. Lukisannya sekarang terpajang di ruang
tamu,” ucap Hijau memberi tahu.
Ayah
mereka adalah seorang kondektur kereta api. Memang beliau mempunyai hobi
menggambar atau melukis. Ia sering menggambar sketsa-sketsa pemandangan alam
yang ia lewati. Ketika beliau pulang dari pekerjaannya, ia selalu menunjukkan
gambar ciptaannya kepada anak-anaknya. Pohon, gunung, pantai, jembatan...,
banyaklah gambar yang dibuatnya. Jarang sekali beliau pergi bekerja tanpa
membawa kotak pensilnya.
“Kak
Hijau, Biru tak sabar ingin bertemu ayah,” seru Biru dengan penuh semangat.
“Iya,
aku juga. Menurutmu Bir, apa saja gambar ayah nanti?” balas Hijau bertanya.
“Tak
tahu, kak. Biru berharap sesuatu yang berbeda,” jawab Biru berandai-andai.
“Ya
sudahlah. Mari kita kembali ke rumah. Langit sudah mulai gelap,” ajak Hijau
berjalan ke arah rumah mereka.
“Hey,
kak..., tunggu Biru”, teriak Biru ketinggalan seraya mengejar Hijau.
Hijau
dan Biru kejar-kejaran di perjalanan pulang. Sesampainya di rumah terlihat dua
orang sahabat ibu mereka yang juga adalah tetangga mereka duduk di ruang tamu
sambil memeluk ibu mereka. Ketika Hijau dan Biru masuk, tampaklah ibu mereka
sedang menangis tersedu-sedu.
“Ibu,
ada apa?” tanya Biru menghampiri ibunya di sofa.
“Tidak
apa-apa. Ibumu hanya sedang...” jawab salah satu tetangga, lalu seketika itu
ucapannya dipotong.
“Cukup!
Mereka punya hak untuk tahu,” bentak ibu kepada sang tetangga.
“Hijau,
Biru..., ayahmu..., ayahmu mengalami kecelakaan di kereta tiga hari yang lalu,”
kata ibu sembari meneteskan air mata.
Biru
langsung menghampiri dan memeluk ibunya, lalu ikut menangis. Tetangga yang lain
menghampiri Hijau yang berdiri diam di tempat dan mengajaknya untuk berbicara
empat mata di teras rumah.
“Nak,
begini, kami baru saja mendapatkan surat berisi berita kecelakaan kereta tempat
ayahmu bekerja. Tertulis di sini bahwa jasad dari ayahmu tidak ditemukan dari
sekian korban dan kerusakan yang ada. Ibumu tampak tidak mempedulikan tulisan
ini dan saya paham. Saya hanya ingin memperjelas kondisi,” jelas sang tetangga
kepada Hijau.
“Berarti, ayah belum mati?!” tanya Hijau
dengan antusias.
“Saya,
teman saya, beserta ibumu jelas tidak tahu. Yang kami tahu hanyalah lokasi
kejadian yang terletak sejauh tiga hari berjalan kaki dari stasiun kereta desa
ke arah utara dari desa ini. Tetapi, saya dan teman saya turut berdukacita atas
kehilangannya,” kata sang tetangga jelas lagi, setelah itu mengajak tetangga
yang lain untuk pulang.
Setelah
itu, Hijau langsung berlari ke kamarnya, sedangkan Biru dan ibunya menetap di
ruang tamu dengan perasaan yang amat teramat sedih.
Malam
pun terus berlanjut. Biru pergi ke kamar untuk tidur. Setelah ia membuka pintu,
ia melihat kamarnya yang berantakan tidak karuan. Tampak juga Hijau yang sedang
mengemas barang-barang yang tampaknya untuk sebuah perjalanan.
“Kak
Hijau mau ke mana?” tanya Biru yang sedang berjalan menuju tempat tidurnya.
“Tidak
apa-apa, kok. Ini tidak penting,” jawab Hijau dengan senyum yang agak aneh.
“Perlu
Biru panggilkan ibu kak untuk membantu?” tanya Biru lagi sambil berjalan ke
pintu kamar.
“Tidak
perlu, Bir... Kakak bisa sendiri kok,” balas Hijau menjawab pertanyaan Biru.
“Ya
sudah. Biru tanya ibu saja kak Hijau mau ke mana,” ucap Biru sembari membuka
pintu kamar.
“Ok,
kakak beri tahu,” cegat Hijau.
“Kakak
berencana ingin mencari ayah. Kata teman ibu, tubuh ayah tidak ditemukan di
tempat kecelakaan,” jelas Hijau kepada adiknya.
“Ya
sudah, kak. Biru mau ikut,” sahut Biru dengan penuh antusias.
“Bir,
kamu belum cukup umur untuk mengembara,” jawab Hijau dengan maksud melarang.
“Biru
ikut atau Biru bilang ke ibu,” ancam adiknya.
“Ok,
kau boleh ikut, asal kau harus bangun dini subuh nanti. Sudah banyak waktumu
terpakai untuk tidur. Dan juga berkemaslah,” tegas Hijau kepada Biru.
“Ok,
kak. Biru berkemas dulu ya, terus Biru tidur,” ucap Biru mengambil koper kepunyaannya.
Malam
itu, Hijau dan Biru tertidur lelap dengan harapan baru di benak mereka. Cukup
berat bagi mereka pada malam itu. Tidak mudah bagi mereka untuk kehilangan ayah
mereka.
Biru
adalah tipe anak yang sangat sulit untuk dibangunkan. Sudah beberapa kali Biru
hampir telat ke sekolah. Tetapi, kali ini dengan cepat ia bangun dipenuhi
semangat. Subuh itu mereka sudah siap untuk pergi. Tak lupa Hijau meninggalkan
sepucuk surat untuk ibunya di atas meja belajar. Mereka meninggalkan rumah dan
pergi menuju garasi. Terlihat di situ sepeda motor yang tersambung dengan
sebuah kereta di sampingnya. Hijau memeriksa bahan bakar dan mengaitkan
cadangannya di belakang kereta. Pintu garasi dibuka dan Hijau mengeluarkan
motor tersebut. Barang-barang yang sudah di kemas di taruh ke dalam kereta.
Setelah pintu garasi di tutup, mereka memulai perjalanan mereka. Dengan sepeda
motor, mereka berjalan mengitari rel kereta api. Dua setengah hari lamanya
perjalanan mereka berlangsung, hingga akhirnya mereka sampai di tepi sebuah
hutan. Hutan tersebut terletak di belakang perbukitan utara, tepat di samping
sungai besar dan tampaklah pepohonan yang tinggi dan rindang serta berwarna
ungu. Hijau memandang ke dua pohon yang sangat besar dan bagian atasnya dari
luar tampak seperti kubah lancip. Kedua pohon tersebut terletak jauh ke dalam
hutan. Ketika itu, Hijau teringat akan sesuatu.
"Pohon
itu..., tampak seperti yang digambar ayah," ucap Hijau teringat.
"Gambar
apa, kak?" Tanya Biru tampak kebingungan.
"Kamu
tak ingat...? Kedua pohon besar disana tampak seperti lukisan pohon yang
dipajang di teras rumah," jawab Hijau mengingatkan.
"Oh
iya, kak. Di sana ada rel kereta api," sahut Biru sambil menunjuk ke arah
rel kereta api yang terdapat di seberang sungai.
"Mereka
sudah membereskannya... Ya sudah, kita lanjutkan perjalanan kita," ucap
Hijau menyalakan mesin motor.
Mereka
terpaksa harus memarkir motor dikarenakan jalan yang tidak memungkinkan bagi
kendaraan untuk masuk. Motor tersebut dipaarkir dekat pohon oak dekat sebuah
kolam air yang dipenuhi dengan ikan mas.
Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki.
Dua
jam lamanya mereka berjalan memasuki kedalaman hutan. Tujuan mereka adalah dua
pohon besar yang digambar ayahnya itu. Tampak Biru yang mengikuti Hijau dengan
wajah yang tampak kelelahan.
"Kak...,
cukuplah kak. Mari kita... istirahat dulu. Sudah cukup lama kita,
berjalan," kata Biru dengan suara terbatata-bata.
"Ayolah,
Bir. Tidak jauh lagi kok. Dikit lagi kita sampai," seru Hijau menyemangati
adiknya.
Tak
lama kemudian, perjalanan mereka disambut dengan gempa bumi ringan disertai
dengan raungan yang cukup keras.
"Ada
apa ini, kak?" tanya Biru ketakutan.
"Aku
tak tahu, Bir." jawab Hijau kebingungan.
Mereka
pun meneruskan perjalanan sampai mereka menemukan jejak hewan yang berukuran
sangat besar. Dari bentuknya, jelas jejak tersebut merupakan jejak kaki sebuah
hewan.
"Kak,
lihat kak," sahut Biru menunjuk ke arah jejak hewan besar di depan mereka.
"Jejak
ini..., tampak seperti jejak kaki beruang," ucap Hijau menggaruk
kepalanya.
Tak
lama kemudian gempa bumi tersebut datang kembali. Sosok raksasa keluar dari
pepohonan di arah kanan mereka. Tampaklah seekor beruang berbulu hitam dengan
garis-garis hitam di sekujur tubuhnya. Sosok tersebut hampir setinggi pohon-pohon
yang ada di sekeliling Hijau dan Biru. Tampak dari wajahnya yang sangar melihat
ke arah Hijau dan Biru.
"Biru...,
ayo lari!" seru Hijau menarik tangan Biru.
Hijau
dan Biru berlari menjauh dari beruang
raksasa tersebut.Beruang tersebut pun turut serta mengejar mereka. Mereka
berlari sekencang mungkin hingga dengan tidak sengaja, Hijau dan Biru
tersandung akar pohon dan terjatuh ke dalam lubang di tanah.
Hijau
terbangunIah. Ia mencoba membangunkan Biru yang masih belum sadarkan diri. Biru
pun terbangun dengan wajah kaget. Biru menunjuk ke tepat kearah belakang Hijau,
tampak sekumpulan kelinci seukuran tubuh mereka berdiri melihat mereka.Tanpa
menunggu lama, kelinci-kelinci tersebut langsung membawa mereka ke suatu
tempat. Sampailah mereka di suatu ruangan. Ruangan tersebut tampak seperti
kamar tidur, terdapat tempat tidur dan semacamnya. Barang-barang mereka
terlihat di samping meja belajar yang tampaknya sedang digunakan seorang lelaki
dengan pakaian yang tampak lusuh. Pakaian tersebut tampak seperti seragam
kondektur kereta api. Lelaki tersebut kemudian berdiri dan berbalik menatap
Hijau dan Biru. Suasana pun hening untuk sejenak.
"Ayah..."
teriak Biru berlari kepada sang lelaki.
Lelaki
tersebut menyambut pelukan Biru dengan pelukan yang sama dan perasaan sukacita.
"Ayah,
aku tahu kau masih hidup..." ucap Hijau mendatangi ayahnya dengan
berlinang air mata.
"Oh,
nak. Ayah benar-benar minta maaf. Hanya saja ayah tidak dapat keluar,"
balas ayah.
"Kenapa,
yah?" tanya Biru ikut campur.
"Kelinci-kelinci
ini tidak memperbolehkan ayah untuk keluar. Mereka percaya bahwa ayah adalah
penyelamat mereka," hawab ayah.
"Memang
ayah dapat berkomunikasi dengan kelinci-kelinci itu," tanya Hijau
penasaran.
"Memang
kamu tidak?" tanya ayahnya membalas.
"Kami
tidak mengerti apa-apa," jawab Biru.
"Itu
tidak penting. Sekarang kita harus dapat keluar dari hutan ini. Ayah bilang
tadi ayah adalah penyelamat mereka. Nah, memang ayah perlu menyelamatkan mereka
dari apa?" tanya Hijau.
"Kalian,
ikut ayah," ajak ayah mereka.
Sang
ayah mengajak mereka ke sebuah yang lubang dengan atap yang terbuka. Hijau
melihat ke bawah lubang tersebut dan menyasari bahwa lubang tersebut sangatlah
dalam.
"Kalian
tahu, bahwa kelinci-kelinci tersebut menggali lubang ini hanya memakan waktu
satu jam saja," jelas ayah kepada Hijau dan Biru.
Mereka
pun menaiki tangga panjat yang sudah disediakan. Setelah mereka sampai di atas,
Hijau dan Biru menyadari bahwa mereka ada di tempat yang sama saat mereka
terjatuh. Ayah mereka mengantar mereka ke pohon besar yang merupakan tujuan
awal Hijau dan Biru. Sesampainya di sana terlihatlah beruang tang mengejar
mereka sebelumnya berteduh di bawah rindangnya pohon tersebut sambil memakan
makan malamnya.
"Itulah
target kita. Beruang itu telah meneror kelinci-kelinci tersebut akhir ini.
Beberapa dari mereka mati dimakan beruang ini," jelas ayah lagi.
"Ayah,
mengapa kami dapat selamat ketika kami terjatuh di lubang tadi?" tanya
Hijau.
"Kelinci-kelinci
itu juga pandai membuat jaring. Mereka menggunakan jaring tersebut untuk
memasuki lubang tersebut. Tampaknya kalian mujur karena ketika kelinci terakhir
masuk, jaring tersebut belum ditarik," jawab ayahnya menjelaskan.
"Ayah,
bagaimana jika kita membuat suatu jebakan bagi beruang yang mengerikan
itu?" tanya Hijau.
"Kamu
punya ide nak?" tanya ayahnya dengan antusias.
"Marilah
kita meminta kelinci-kelinci tersebut untuk bekerja ketika beruang tersebut
tidur," jelas Hijau.
"Apa
yang harua mereka kerjakan, kak?" tanya Biru kebingungan.
"Tengah
malam nanti mereka akan menggali lubang yang sangat besar, lalu kita jatuhkan
jatuhkan jaring ke beruang tersebut setelah beruang itu jatuh ke dalam
lubang," helas Hijau lagi mencurahkan idenya.
"Nak,
idemu bagus juga. Ayah akan meminta kelinci-kelinci tersebut untuk menggali
lubang dan membuat jaring yang sangat besar," ucap ayah mereka dengan
penuh semangat.
"Yasudah,
yah. Ayo kita kembali," ajak Biru menarik tangan ayahnya.
Sesudah
mereka kembali ke bawah tanah, ayah meminta kelinci-kelinci tersebut untuk
menggali lubang di samping tempat tidur beruang ketika beruang tersebut tidur.
Tak lupa ayah tersebut meminta kelinci-kelinci itu untuk membuat jaring yang
berukuran raksasa. Kelinci-kelinci tersebut bekerja saat tengah malam dan
selesai ketika subuh.
Keesokan
paginya adalah hari penentuan, apakah jebakan tersebut berhasil atau tidak.
Beruang tersebut pun bangun dari tidurnya. Di karenakanberuang tersebut belum
sepenuhnya sadarkan diri, beruang tersebut pun jatuh ke dalam lubang tersebut.
Langsung tidak lama kemudian disambut dengan jaring dari atas lubang, sehingga
beruang tersebut kesulitan untuk bergerak. Lubang tersebut pun ditutup para
kelinci dengan tanah agar beruang tersebut tidak dapat keluar. Beruang tersebut
akhirnya mati kehabisa udara dan tidak pernah terdengar atau pun kelihatan
kembali. Kelinci-kelinci tersebut merayakan kemenangan mereka dengan sebuah
pesta di bawah tanah. Hijau, Biru, dan ayahnya memutuskan untuk pulang ketika
senja. Akhirnya Hijau dan Biru berhasil mengambil kembali ayah mereka dengan
selamat dari hutan biru di samping sungai besar.
Jovita Anggi
Kisah
Ozzy dan Trilili
Pada suatu pagi menjelang siang, di sebuah
pohon, di tengah hutan, tampaklah Trilili, seekor anak burung, sedang berjalan
pada salah satu cabangnya. Sambil
merentangkan kedua sayapnya yang mungil, dia melihat ke arah bawah seolah-olah sedang mengira berapa
tinggi dari pohon itu. Kemudian, dia
menghela nafas panjang sambil memejamkannnya matanya, berusaha untuk berkonsentrasi. Tak jauh dari situ, di dekat rerumputan,
terlihat Ozzy, seekor anak kura-kura, sedang menatap ke arah Trilili sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian, Ozzy berteriak, “Sudahlah Trilili! Apakah kau tidak capek?
Sudah berapa kali kau menaiki pohon itu dan berusaha untuk terbang? Tidakkah
engkau tahu bahwa engkau sebenarnya tidak dapat terbang? Lihatlah, dari
beberapa hari yang lalu, kau mencoba terus. Tapi, apakah sekarang kau sudah
bisa terbang? Ayolah, teman, jangan bersikap bodoh, terimalah kenyataan bahwa
kau memang adalah seekor burung yang takkan pernah bisa terbang! Apa kau tidak
ingat pepatah ‘Keledai yang bodoh pun
tidak akan jatuh ke lubang sama untuk kedua kalinya’ ? Kau selalu jatuh ke
tanah setiap kali kau berusaha untuk terbang. Kok tidak ada kapok-kapok nya?”
Trilili mendengar apa yang dikatakan oleh Ozzy,
tetapi baginya, kata-kata tersebut tidak membuatnya menjadi putus asa, tetapi
justru semakin membakar semangatnya untuk bisa terbang. Trilili menyadari benar bahwa pada dasarnya
seekor burung mempunyai kemampuan untuk bisa terbang. “Hey Ozzy, temanku yang baik!”, kata Trilili,
“Practice makes perfect, you know?”,
lanjutnya sambil tersenyum. “Terserah
kau, lah!”, sahut Ozzy sambil memalingkan mukanya seolah tak peduli. Trilili pun tetap mengulang latihan
terbangnya dengan semangat. Seminggu
kemudian, ketika Ozzy sedang melintasi hutan, ia melihat seekor anak burung
terbang, berputar-putar di atasnya, sambil bersiul-siul. Anak burung itu terbang kian kemari, naik
turun, menikmati suasana di hutan itu.
“Hai Ozzy!,” teriak anak burung itu. Ozzy mendongak ke atas, melihat
siapa yang memanggilnya, “Ini aku, Trilili, temanmu! Lihat! Aku sudah bisa
terbang!.” Ozzy terpana melihat Trilili, temannya, sudah bisa terbang dengan
baik. “Hei, Trilili! Akhirnya kau bisa
terbang juga, ya! Turun dulu ke sini, aku ingin berbicara dengan mu!.” Menuruti
permintaan Ozzy, Trilili pun hinggap di atas bongkahan batu, tak jauh dari
Ozzy.
“Bagaimana bisa?,” tanya Ozzy pensaran pada
Trilili, “Ingat perkataan ku dulu Practice
makes perfect? Itulah yang terjadi, kawan,” jawab Trilili. “Oh begitu,
yaaa,” sahut Ozzy sambil menganggukan kepalanya. Kemudian Trilili melihat mata Ozzy
bersinar-sinar dan Ozzy terlihat sangat bersemangat, membuatnya tak tahan untuk
bertanya, “Ada apa, Ozzy? Kok
tiba-tiba kau terlihat bersemangat sekali?.” Sambil tersenyum, Ozzy menjawab,
“Kau lihat bongkahan batu tempat kau berdiri, Trilili? Lihatlah, ada dua
bongkahan batu yang terpisah sehingga membuat celah diantaranya. Aku penasaran, apakah aku bisa melewati celah
itu. Memang terlihat agak sempit, tapi
aku yakin aku bisa.” Trilili terbelalak melihat ukuran celah bongkahan batu
itu. Menurutnya, Ozzy tidak akan bisa
melewati celah itu karena ukuran tempurung Ozzy tidak akan muat melewati celah
itu.
Trilili berusaha mencegah Ozzy, “Jangan, Ozzy!
Itu berbahaya bauatmu! Kau tidak akan bisa melewatinya,” “Ah, Trilili. Tadi kau
bilang practice makes perfect. Itulah
jawabannya!,” jawab Ozzy. “Jangan bodoh,
kawan!,” sahut Trilili, “Ini adalah suatu hal yang berbeda! Kau tidak akan
mungkin melewatinya. Kau hanya akan membahayakan dirimu!.” Ozzy tidak
mengindahkan peringatan Trilili, ia tetap bersikeras, berjalan mendekati celah
tersebut dan berusaha melewatinya. “Ozzy! Jangan!,” teriak Trilili berusaha
memperingati temannya. Ozzy tidak mengindahkan peringatan Trilili, dan tetap
memasukkan dirinya ke celah tersebut, berusaha melewatinya. Ternyata Ozzy malah tersangkut dan tidak bisa
membebaskan dirinya dari celah tersebut. Berulang kali ia berusaha menggerakkan
kakinya, tetapi tetap saja tersangkut.
Melihat hal itu Trilili berusaha menolong Ozzy, ia melihat ada seutas
tali, tak jauh dari sana. Ia mengambil tali itu, mengikatnya menjadi sebuah
simpul, lalu dikaitkannya pada tempurung Ozzy.
Trilili memegang ujung tali yang satunya dan menarik tali tersebut ke
arah yang berlawanan sambil terbang sekuat tenaga. Akhirnya, Ozzy pun bisa terlepas dari celah
itu.
Trilili menghela nafas lega, “Akhirnya kau
lepas juga, kawan. Aku khawatir sekali kau tidak akan bisa bebas dari
sana.” Mendengar kata-kata Trilili, Ozzy
mengerutkan dahinya dan tetap bersikeras bahwa dia pasti bisa melewati celah
teresebut. “Ingat ya, Ozzy. Jangan kau
ulangi tindakan mu tadi, karena itu adalah tindakan yang sangat bodoh. Ingat
kata-kata mu dulu, bahwa Keledai yang
bodoh pun tidak akan jatuh ke lubang sama untuk kedua kalinya,” kata
Trilili, “Aku pulang dulu, ya. Aku sudah
ditunggu ibuku.” Mendengar kata-kata Trilili, Ozzy hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil bergumam dengan keras kepala, “Ah, Trilili. Kau hanya
membodoh-bodohi ku saja. Aku pasti bisa melewati celah itu, sama seperti dirimu
yang bisa terbang,” yakin Ozzy dalam hati, “Aku akan melakukannya lagi
besok. Pasti aku bisa melewati celah
itu!.”
Keeseokan harinya, pagi-pagi benar, Ozzy
kembali mendatangi tempat tersebut dan berjalan dengan yakin ke arah celah batu
itu, memasukinya, dan berusaha melewatinya.
Namun, berbeda dengan kemarin, hari itu tidak ada Trilili yang
menyaksikannya. Seperti yang sudah
diduga, tempurung Ozzy tersangkut lagi di celah batu itu. Ozzy kembali berusaha menggerak-gerakkan
kakinya dengan harapan dapat keluar dari celah batu itu. Tetapi hingga hari
menjelang gelap, Ozzy masih tersangkut di celah batu itu. Ozzy pun kelelahan, haus, dan lapar, namun
tak ada yang dapat menolongnya saat itu.
Akhirnya Ozzy pun menyadari bahwa apa yang ia lakukan benar-benar
merupakan hal yang sangat bodoh. Ia
menyesali dirinya yang tidak mau mendengar nasihat Trilili, temannya. Ozzy pun hanya bisa pasrah dan berharap bahwa
ada yang akan menolongnya terbebas dari celah batu tersebut dan ia berjanji ia
tidak akan berbuat bodoh lagi.
M Farhan
X MIA 3
Literasi yang salah
Di suatu pagi yang cerah, disaat orang orang memulai
aktifitasnya. Anak anak berangkat ke sekolah. Waktu menunjukan pukul 6.30. Anak
anak kurang senang. Karena mereka diperintahkan berkumpul dilapangan hanya
untuk membaca buku. Sekolah menamakan kegiatan itu "literasi" .
Literasi dilakukan setiap hari selasa, rabu, dan kamis. Yang diresahkan siswa
adalah mengapa literasi harus dilakukan dilapangan?. Mereka merasa akan lebih
baik jika literasi dilakukan di kelas, karena membaca akan jadi lebih
konsentrasi. Kegiatan itu berlangsung sampai jam 8. Setelah literasi anak anak
langsung naik ke kelas dan belajar seperti biasa.
MOHAMMAD IHSAN
X MIA III
GARUDAKU
Jalan mulai sepi. Waktu sudah menunjukkan
pukul 01.00 dini hari. Suara-suara jangkrik dan binatang kecil lainnya membuat
suasana mencekam menjadi riuh lagi. Di ruang tamu, TV sudah menyala dengan
minuman soda lengkap dengan makanan ringan yang tersedia di atas meja. Pria
dengan jersey Timnas Indonesia duduk perlahan di atas sofa. Tak lain dan tak
bukan, hari itu adalah hari dimana Tim Nasional Sepakbola Indonesia bermain di
laga yang sangat ditunggu-tunggu khalayak ramai. Laga Final Piala Asia 2019.
Sebuah
trofi yang sudah lama didambakan seantero Nusantara, Sebuah trofi yang dapat
mengangkat harkat dan martabat sepakbola Indonesia. Pria itu yakin, Timnas
Indonesia akan mampu meraih kemenangan dan membawa pulang trofi itu ke pangkuan
Ibu Pertiwi. Keyakinan itu bukan tanpa alasan yang kuat. Kedalaman skuad saat
ini adalah yang terbaik dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Bahkan bila
dibandingkan, skuad Indonesia saat Olimpiade
1956 ketika berhasil menahan tim terkuat saat itu, Uni Soviet, mungkin
bisa dibilang lebih baik.
Para pemain mulai memasuki lapangan
pertandingan. Stadion Saitama 2002 adalah tempat berlangsungnya pertandingan
sarat gengsi ini. Ya, untuk kesekian kalinya Indonesia harus berhadapan dengan
musuh bebuyutannya, Malaysia. Indonesia Raya dikumandangkan dengan khidmat
diiringi dengan dentuman music yang membuat adrenalin pemain terpacu. MENANG!
Adalah satu-satunya hal yang harus diraih dan diwujudkan saat itu juga.
Evan Dimas, wonderkid Piala AFF U-19 2013
diberi amanah untuk mengapteni Timnas Indonesia. Jenderal lapangan satu ini
sudah sarat pengalaman akan sepakbola negeri Jiran karena beberapa kali
berhadapan dengan Bachtiar Badrool, kapten Malaysia yang membela klub Selangor.
Evan bersama klubnya Bhayangkara, beberapa kali berhadapan dengan Badrool di
ajang AFC Cup ataupun SEA Games.
Wasit meniup peluit tanda dimulainya babak
pertama. Indonesia menerapkan pola
4-3-3 dengan satu gelandang jangkar berpengalaman yakni Egi Maulana
Fikri. Posisi gelandang kreatif dikomandoi Evan bersama Adam Alis Setyano,
pemain terbaik Piala Presiden 2016. Beserta trio FIS di lini depan, membuat
permainan satu-dua antar pemain berjalan dengan optimal.
Kembali ke pria yang sibuk mengamati
pertandingan dengan seksama. Tangannya sesekali mengambil makanan ringan yang
sedari tadi masih penuh. Malah hampir tidak disentuh sama sekali. Mulutnya
terus berkomat-komat sesekali berteriak dengan penuh semangat “AYO INDONESIA!
KAPAN LAGI KITA BISA JUARA?” yang terkadang kena teguran tetangganya akibat
terlalu berisik. Namun itu semua sudah biasa di lingkungan sekitar tempat
tinggal pria itu.
Malaysia rupanya telah mengantisipasi strategi
umpan pendek Timnas Indonesia. Penerapan 5 gelandang di tengah rupanya membuat
pergerakan sayap Febri Hariyadi di kanan agak terhambat. Sesekali crossingnya yang ditujukan untuk Saddil
Ramdani berhasil diputus Badrool dan kawan-kawannya. Barisan pertahanan juga
tak luput dari kesalahan. Terutama dalam hal komunikasi. Bagian kanan yang
diisi Rezaldi Hehanusa kerap kesulitan saat para harimau melakukan serangan
balik. Beruntung ada Hansamu serta Bagas Adi, dua bek tengah yang saling
bergantian melakukan sapuan atau blok yang menentukan dari pemain Malaysia.
Babak pertama berakhir dengan skor sama kuat
0-0. Evaluasi oleh pelatih kepala Muhammad Sobri, adalah jangan terburu-buru
melakukan umpan tarik untuk memecah barisan bek karena dinilai terlalu
berbahaya. Sebab, lima gelandang Malaysia selalu siap untuk memutus
serangan-serangan Timnas kita. Tugas khusus diberikan untuk Gavin Kwan Adsit agar
tidak kecolongan oleh penyerang sayap andalan Malaysia, Khalid Sanusi. Tak lupa
hairdryer treatment diberikan untuk
Rezaldi agar tak mengulangi kesalahan di babak pertama.
Peluit panjang babak kedua telah ditiup. Tensi
pertandingan semakin memanas dan memanas. Apalagi setelah dikeluarkannya
gelandang veteran Malaysia Safiq Rahim akibat menjegal penyerang sayap energik
Indonesia, Ilham Armaiyn. Tendangan bebas dari jarak ideal 20 meter diberikan
wasit berkebangsaan Nepal, So Te. Evan Dimas bersiap dengan Febri sebagai
pengecoh barisan belakang Malaysia. Tendangan dilakukan dan……..
.
.
.
.
MEMBENTUR TIANG! BOLA REBOUND MENGARAH KE SADDIL! dan sayang sekali
langsung dibuang oleh Badrool ke tengah lapangan. Celaka! batin pria yang
sedari tadi memerhatikan jalannya laga. Satu-satunya bek yang tidak maju ke
garis depan hanyalah Gavin. Bola berhasil diteruskan ke Khalid yang berdiri
bebas di tengah lapangan. Membawa bola hingga kotak penalti, Khalid terus
dibayangi Gavin di belakangnya, mencoba untuk merebut bola. Gocekan cantik
melalui tumit kiri Khalid berhasil melewati Gavin dan membuat Indonesia tinggal
berharap dengan Ravi Murdianto, sang penjaga gawang. Sontekan ke tiang jauh
berhasil di blok oleh Ravi hingga membuat bola terpental beberapa meter ke
tengah lapangan. Bola muntah disambar Badrool dengan tendangan cannon ball yang sangat keras tanpa bisa
dijangkau Ravi. 1-0 untuk keunggulan Malaysia.
Waktu menyisakan 15 menit saja
untuk minimal menyamakan kedudukan. Pelatih Sobri memasukkan Hanif Sjahbandi
menggantikan Adam, merubah pola menjadi 4-2-3-1 dengan Evan sebagai gelandang
serang tunggal. Masuknya Hanif membuat kontribusi besar dalam aliran bola
Timnas. Kecepatan Hanif beradaptasi dengan Egi, membuat pria di depan TV
tersebut kembali optimis setelah beberapa saat yang lalu ia hampir kehilangan
semangat melihat Indonesia tertinggal oleh Malaysia. Ia tahu, pelatih Indonesia
saat ini dapat memberikan trofi yang telah lama dinantikan oleh bangsa ini.
Apalagi kapten timnas adalah Evan Dimas. Anak asuhnya sekaligus pemain terbaik
saat menggondol trofi AFF U-19 2013. Indra Sjafri adalah nama pria itu.
Satu-satunya pelatih dalam sedekade terakhir yang bisa memberikan trofi
prestisius bagi kemajuan sepakbola Indonesia. Menggantungkan harapan kepada
mantan anak-anak asuhnya dulu yang sekarang sedang berjuang,
Memasuki menit 85, penyerangan
Indonesia semakin terlihat akan membuahkan hasil. Kepincangan Malaysia akibat
dikeluarkannya Safiq membuat duet Egi-Hanif berhasil mengontrol laju operan
sehingga Evan leluasa mengatur serangan. Tapi, gol yang dinanti-nantikan tak
kunjung datang. Hingga wasit memberikan tambahan waktu 2 menit, Febri yang
tinggal berhadapan dengan kiper, dijegal di area berbahaya. 15 meter dari
gawang. Evan kembali dipercaya menjadi algojo. Sebelum menendang, ia member
instruksi agar Saddil tetap berada di dekat tiang kiri gawang Malaysia apapun
yang terjadi. Saddil sempat protes dengan dalih akan terjebak offside namun
Evan berkeras agar Saddil tetap mengikuti instruksinya.
Kali ini Hansamu yang dijadikan
pengecoh kiper Malaysia, Datook Jarujito Singh. Sempat membuat lawan bingung
karena Hansamu yang notabenenya adalah bek, diikutsertakan menjadi penendang
adalah sebagian kecil dari taktik Evan agar menghalangi pandangan kiper
Malaysia karena tinggi badan Hansamu yang di atas rata-rata. Bersamaan dengan
tendangan yang dilakukan Evan, Hansamu melompat setinggi mungkin untuk menutupi
arah tendangan yang ternyata mendatar ke arah tiang kanan gawang Malaysia. Bola
memantul ke arah Saddil yang dengan mudah menceploskan ke dalam gawang karena
bebas pengawalan. Gol Saddil disambut sorak sorai penonton di stadion serta
Indra Sjafri yang memuji taktik brilian anak asuhnya itu.
Skor 1-1 membuat pertandingan
harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu. Demi mengeksploitasi pertahanan
Malaysia yang sudah terkuras staminanya, pelatih Sobri memasukkan Stefano
Lilipaly menggantikan Febri. Malaysia merespon dengan memasukkan gelandang
bertahan Nur Taufiq agar skor tidak berubah dan pertandingan berlanjut ke babak
adu penalti yang dinilai mereka lebih
menguntungkan karena Datook Jarujito Singh dikenal sebagai penalty stopper yang handal.
Tak henti-hentinya Indra Sjafri menyemangati
pasukan Garuda dari balik layar dengan terus meneriakkan AYO INDONESIA! KAPAN
LAGI KITA BISA JUARA?” selama pertandingan berjalan. Ia yakin kali ini
Indonesia dapat meraih gelar juara kembali setelah terakhir kali pada tahun
2013.
Masuknya Fano menambah kekuatan serangan pada
lini depan Indonesia. Gelandang serang Ajax Amsterdam ini dengan mudah melewati
pemain-pemain belakang Malaysia sebelum melepaskan umpan tarik yang harusnya
dapat dituntaskan dengan sempurna oleh Saddil. Kesigapan Datook membuat harapan
Indonesia menjadi mulai pudar. Selepas babak pertama perpanjangan waktu,
pelatih Sobri memberikan instruksi yang mengejutkan. “Jangan lagi penetrasi ke
kotak penalti. Perbanyak tendangan-tendangan spekulasi dari luar kotak.”
Benar saja. Pada babak kedua perpanjangan
waktu, Malaysia memainkan dua bek sayap baru yang masih segar untuk mengantisipasi
tusukan-tusukan dari sisi kanan dan kiri mereka. Melihat hal ini Evan
memberikan bola-bola chip ke arah kotak penalti lawan namun bisa diamankan
pemain belakang Malaysia.Memasuki 5 menit terakhir, Saddil ditarik digantikan
oleh striker jangkung Ezra Walian.
Pengamatan yang sangat jeli oleh pelatih Sobri
membuahkan hasil yang brillian. Berawal dari umpan jauh Hanif ke arah Ezra,
area tembak begitu terbuka setelah dua pemain belakang Malaysia terpeleset
rumput yang mulai basah diguyur hujan. Datook bersiap menerima tembakan. Namun,
di luar dugaan Ezra melakukan backpass melalui tumit kirinya. Evan yang berdiri
bebas di tengah lapangan, melakukan tendangan keras yang menyusur tanah. Bola
sempat memantul ke tanah sebelum mengarah ke gawang Malaysia. Datook yang
tertinggal beberapa langkah saja tidak mampu menjangkau bola yang lebih dulu
masuk ke gawangnya. 1-2 untuk Indonesia di menit 119.
Wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya
laga Final Piala Asia 2019. Seluruh pemain serta ofisial berhamburan ke tengah
lapangan. Melampiaskan suka duka yang berbaur dengan semua rasa lelah dan
letih, Kemenangan yang telah lama dinanti-nantikan seluruh rakyat Indonesia.
Nun jauh di sana, Indra Sjafri menangis bahagia saat melihat Evan dan
kawan-kawan mengangkat trofi Piala Asia. Pencetak gol terbanyak diberikan
kepada Naruto Uzumaki dari Jepang yang mengemas 8 gol, pemain terbaik diberikan
kepada Evan Dimas dari Indonesia, kiper terbaik diberikan kepada Ismail bin
Mail dari Yaman serta tim paling sportif diberikan kepada Palestina dengan 1
kartu kuning saja selama pagelaran berlangsung.
Prestasi ini selain membuat Indonesia meroket
di peringkat 33 FIFA juga membuat Indra Sjafri bangga akan anak-anak didikannya
dahulu yang telah mengguncangkan dunia.
BERI AKU 1000 ORANG TUA NISCAYA AKAN KUCABUT
SEMERU DARI AKARNYA. BERI AKU 10 PEMUDA NISCAYA AKAN KUGUNCANGKAN DUNIA.
- Ir. Soekarno
Mutiara
Cantikan
X
MIA III
Maha Penyayang
Depresi, ialah sahabatku yang setia. Ia
selalu datang dan hadir mengusir sukacita. Ia selalu menemaniku dikala senang
maupun sedih. Hari itu aku depresi hingga puncaknya. Tertanam rasa ingin mati
di jiwa ini. Keluarga, sahabat, teman, mengapa kalian tidak memperdulikanku?
Mengapa kalian anggap remeh depresiku ini? Pertanyaan itu selalu muncul dibenakku.
Aku termenung dan memutuskan untuk bicara dengan Tuhan,
“
Tuhan, mengapa Kau ciptakan aku sebagai pribadi yang rentan depresi? “
Melalui
renungan dan petunjuk dari-Nya, aku tau dia telah menjawab doaku. “
segala
kelebihan yang Kuserahkan padamu, daripada itu kuselipkan kelemahan yang tentu
didalam batas kekuatanmu “ bisik Tuhan.
“
Tapi aku tak sanggup sendiri menahan ini semua Tuhan, mengapa tak seorangpun
peduli padaku?”
“
Aku mengerti, aku peduli. Engkau kuat nak, sebab kau didalam pelukan dan genggamanKu.
Tak kan kubiarkan anakKu berdiri seorang diri. Kelak kan datang saatnya pelangi
mengindahkan hatimu dan muncul seorang adam yang Ku ciptakan untuk menopang
saat kau tak lagi sanggup, yang menggenggam tangan dan memeluk tubuhmu juga
menghapuskan air matamu. Ia yang Ku ciptakan ialah lelaki yang setia padamu.”
Aku
menangis terisak-isak dibait Allah. Ternyata selama ini aku tidak sendiri,
karena Tuhan besertaku. Sejak saat itu, aku ingin selalu dekat dengan Tuhan dan
menunggu seseorang yang dijanjikan-Nya.
Nadira Khoirunnisa
X MIA 3
Anemone
Di kelasku ada seorang
anak perempuan yang pendiam sekali. Rambutnya Cuma digerai tanpa ada hiasan
sama sekali, dan selalu pakai masker. Sering membaca novel saat jam kosong,
jarang ngobrol dengan anak-anak yang lain. Pada jam istirahat juga selalu pergi
dengan anak dari kelas sebelah yang bahkan tak kukenal namanya. Namun, kenapa
sih guru-guru selalu mengistimewakan dia? Padahal nilainya juga biasa-biasa
saja. Dasar para guru pilih kasih!
“Makan tuh telur!”
Aku dan teman-teman
lelaki-ku yang lain terus melemparkan telur padanya. Tubuhnya yang kecil itu
tampak tak berdaya menerima serangan dari kami. Dia hanya melindungi wajahnya
dengan kedua tangan. Dia juga tak mengeluarkan tanda-tanda akan menangis. Hanya
terdiam dengan kaki berlutut.
“Cih,” dalam hati aku
mengumpat karena reaksinya yang membosankan. Padahal sudah sering kami jahili
seperti ini, tapi dia tak pernah menangis atau berteriak. Seperti sedang
menjahili dinding saja, tak ada suaranya sama sekali. Apa mulutnya yang
tertutup masker itu tertutup begitu rapat?
“Dian, telurnya sudah
habis, nih,” ujar salah satu temanku setelah menyerukan namaku. Dia
memperlihatkan kantong plastik yang sudah tak ada isinya.
“Yah, ya sudahlah.
Hari ini segini saja dulu,” temanku yang satu lagi menjawab.
“Bubar, yuk.”
“Oh, iya Rani. Jangan
diambil hati, ya? Kamu ulang tahun hari ini, kan? Kita cuma mau merayakannya,
kok.”
Setelah mengatakannya
demikian, aku langsung berbalik mengikuti teman-temanku yang lain. Yah, tentu
saja tadi itu bohong. Aku mana mau merayakan ulang tahun cewek suram
sepertinya.
“Dian jahat banget.
Masa’ kasih alasan manis begitu?” teman yang berjalan di depanku itu berkata
dengan menunjukkan seringaiannya.
“Aku nggak salah, kan?
Dia memang ulang tahun hari ini, kok. Temannya tadi mengucapkan selamat padanya
saat istirahat,” balasku ringan.
“Uwaaa, dia punya
teman?”
“Punya, kok. Dari
kelas sebelah.”
“Nggak apa-apa, tuh?
Nggak ketahuan kalau dia dibully sama kita?”
“Hahaha… mana mungkin!
Temannya paling cuma satu. Kalau jumlahnya segitu, sih cuma jadi sasaran empuk
kita, kan?”
“Hahaha… iya, ya. Mana
mungkin ada yang mau temenan sama dia!”
“Kalian jahat, ah!
Hahahaa…”
Setelah hari itu,
serangan kamipun berkembang pesat menjadi lebih kejam. Dari hanya menyembunyikan
bukunya, menjadi menghilangkan tasnya. Bekalnya kami hancurkan dengan
mengocok-ngocoknya. Menguncinya di laboratorium. Bahkan kadang-kadang kami
mengajak anak perempuan yang sepemikiran kami untuk mengerjainya. Pokoknya
sekalin kejam lagi! Semakin kejam lagi! Semakin dan semakin!!
Hari ini kami dengan
sengaja menyembunyikan ponsel pak guru di kolong meja Rani. Akan tetapi,
anehnya ia tidak dimarahi. Ia hanya ditanyai oleh pak guru mengenai sesuatu
yang tak tertangkap telingaku. Ia juga tidak dikenakan poin pelanggaran. “Cih!”
sekali lagi, aku mengumpat dalam hati saking kesalnya.
“Hei, bukannya para
guru itu terlalu pilih kasih?” Gina, anak perempuan di kelompok kami memulai
topik pembicaraan. “Mereka seperti meng-anakbawangkan Rani,” lanjutnya.
Kami yang awalnya
hanya sedang memakan makanan kami masing-masing, mulai tertarik untuk
mengembangkan pembicaraan ini. Salah satu di antara kami turut angkat bicara,
“Sebenranya aku juga memikirkan hal yang sama.”
“Padahal saat kita
salah mengerjakan malah dimarahi, dibilang ‘kamu nggak merhatiin ibu, sih!
Makanya pas pelajaran kupingnya dipakai!’, seperti itu. Tapi, kalau Rani yang
salah malah dibilang nggak apa-apa.”
“Saat disuruh membaca
puisi juga! Harus dengan lantang kek, mendalami kek! Tapi Cuma Rani saja yang
namanya tidak dipanggil!”
“Iya, benar!”
Kami satu per satu
mengeluarkan keluhan kami secara blak-blakan, baik itu mengenai para guru atau
Rani sendiri. Kami bahkan saling bertukar informasi mengenai aib-aib mereka.
Namun, tak ada yang tahu aib milik Rani. Padahal itulah yang paling membuatku
penasaran.
“Untuk hukumannya,
sebaiknya kita apakan Rani?”
“Apa, ya…”
“Sesuatu yang
memalukan, sampai menjadi aibnya.”
Kami berpikir keras.
Tak ada satupun dari kami yang berpendapat. Kami memkirikannya dengan sangat
serius. Sampai-sampai bekal kami yang tertunda tak lagi kami sentuh. Hingga,
Gina kembali memulainya, “Oh! Aku punya ide, teman-teman!”
Kamipun langsung
memasang kuping baik-baik dan mendengarkan penjelasannya. Setelah selesai
mendengar, kami semua mengangguk. Tak ada yang menentang. Semuanya setuju untuk melancarkan serangan itu.
Untuk rencana kali,
Gina bilang sebaiknya dilakukan oleh yang sekelas dengan Rani dan piket pada
hari itu saja. Terlalu mencurigakan jika main gerombolan jika ada ada di ruang
lingkup sekolah katanya. Maka dari itu, kelompok kali ini adalah Gina, Aldi,
dan aku sendiri.
Setelah pulang
sekolah, kami menjalankan piket setelah sekian lama membolos. Bukan hanya kami,
sebenarnya semuanya juga tak ada yang mau membersihkan kelas lagi setelah
pulang sekolah. Kurasa Cuma Rani yang satu-satunya anak rajin yang masih
menjalankan ini.
Setelah sekian lama
aku mengayunkan sapu, akupun mulai mendekati Rani. “Eh, Rani,” sapaku.
“Kamu selalu pakai
masker, ya? Kenapa?” tanyaku berbasa-basi. Ia menanggapi pertanyaanku dengan
menunjuk masker yang ia kenakan, seakan menanyakan balik.
“Iya, masker itu.
Pinjam, ya!” aku langsung merebut paksa maskernya. Rani terlihat begitu
terkejut. Ia langsung berusaha mengambilnya dari tanganku. “Hentikan!” serunya
lemah. Akan tetapi, segera dari belakang, Gina menahan tangan Rani agar tak
bisa bergerak bebas.
“Lho? Ternyata kamu
bisa bicara, ya.”
“Kupikir kamu bisu,
lho. Hahaha…”
“Yah, rencana kita
gagal, dong?” ujar Aldi sembari memainkan ponselnya. Aku menghampirinya,
menaruh sikuku pada pundaknya. “Ah, tapi lihat bibirnya. Bibirnya warna biru,
lho! Apa dia pakai lipstik?” aku menunjuk pada bibirnya yang terlihat kebiruan.
“Huwaa, apa yang akan
dilakukan Pak Rahman kalau tahu murid emasnya malah memakai lip, ya?”
“Cepat ambil fotonya!”
seruku menyuruh Aldi. Tapi, saat Aldi hendak membuka aplikasi kamera, Gina yang
berada di belakang Rani langsung menghentikannya. “Hei, dengar-dengar, sih
kalau bibir biru itu artinya mengidap asma, lho!”
“Terus?”
“Gimana kalau kita jejeli
debu yang kita kumpulkan hari ini padanya? Bukankah kita akan mendapat hasil
foto yang lebih hebat lagi?”
Setelah saling
bertukar pandang, aku dan Aldipun setuju dengan Gina. Aku mengangkat debu yang
merupakan hasil kami menyapu. Tanpa menggubris reaksi penolakan dari Rani, aku
terus mendekatinya dan mendekatkan debu tersebut pada hidung mungilnya.
Bruuk!
Tiba-tiba saja Rani
jatuh berlutut. Ia menutup hidung dan mulutnya dengan kedua telapak tangannya.
Wajahnya tak terlihat, sebab ia menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya juga
menghalangi.
“Ngapain kamu jatuhin,
Gin?” Aldi bertanya pada gadis yang bertugas menahan Rani.
“Siapa yang jatuhin?
Dia sendiri yang tiba-tiba saja melemas.”
“Jangan-jangan… dia
beneran asma?”
Dengan ragu-ragu, kami
kembali menjatuhkan pandangan pada Rani
yang masih terduduk di lantai. Dari sela-sela rambutnya, aku bisa melihat
wajahnya yang tampak begitu menderita. Seketika keringat dingin yang sebesar
biji jagung membasahi wajahnya yang semakin membiru. Pupil matanya mengecil,
dan dari bibirnya itu terdengar suara napas yang terburu-buru. Samar-samar aku
juga mendengar suara detakan jantung yang terlampau kencang.
“H-hei, gimana nih?
Dia beneran sakit, lho,” ujar Gina.
“Hah? K-kenapa tanya
aku?”
“Yang menjejeli
debunya kan kamu, Dian!”
“Jadi kamu mau bilang
kalau ini salahku!?”
“Memangnya siapa
lagi!?”
“Hei, kalau
dipikir-pikir bukankah kita melakukan ini karena usul dari Gina?”
Di tengah-tengah kami
saling menuduh satu sama lain, seorang perempuan yang tak asing memasuki ruang
kelas. Ia langsung berlari menuju Rani yang sedang sesak napas. Dari wajahnya,
terlihat jelas bahwa dia benar-benar khawatir. “Rani? Kamu kenapa? Maskermu
mana?” tanyanya dengan suara yang cukup lantang.
Saat ia mengedarkan
pandangannya untuk mencari benda yang ia sebutkan, ia menangkap masker yang
sedang kupegang. Pandangannya terhenti padaku. “Itu masker Rani, kan? Kenapa
ada di tanganmu?” dia bertanya dengan penuh kecurigaan—dan dari nadanya, aku
tahu ada kemarahan yang turut tercampur di dalamnya.
Rasa bersalah langsung
menggerogotiku saat sepasang mata itu menatapku dengan begitu tajam. Tanpa
menjawab pertanyaannya, aku langsung memealingkan muka. Aku menolak untuk
menatapnya. Tak hanya aku, kedua temankupun melakukan hal yang sama.
Tak lama kemudian,
seorang guru yang lewat membantu Rani ke ruang UKS. Sedangkan kami bertiga
dituntun ke ruang BK untuk bicara dengan wali kelas, Pak Ed.
Tanpa berbasa-basi,
Pak Ed langsung bicara pada intinya, yakni mengenai masalah Rani yang mengidap
Asma dan tentang tindak pembullyan kami padanya.
“Seperti yang kalian
ketahui, Rani memang mengidap penyakit asma. Dan penyakitnya ini sudah sampai
tahap kronis.”
Saat Pak Ed mengatakan
ini, kami bertiga langsung merasa tertekan. Rasa bersalah ini seakan-akan
menghakimi kami. Kami sudah tak begitu
mendengar penjelasan Pak Ed lagi waktu itu. Yang terbesit dalam pikiran
hanyalah rasa penyesalan yang sangat dalam.
Suatu hari nanti,
dalam waktu dekat kami ingin meminta maaf pada Rani. Secara resmi dan layak, di
depan orang tuanya. Mungkin selama waktu skors yang akan kami dapatkan nanti.
Olivia Monica
X MIA 3
Sahabat Menjadi
Teman
“Cha, Chacha! Bangun, nanti kamu
telat,” teriak seseorang yang suaranya tidak asing bagiku. Ya, ia adalah ibuku.
Aku memang paling malas bangun pagi, biasanya aku tak langsung bangun ketika
dibangunkan oleh mama. Namun, aku sangat senang karena hari ini merupakan hari
pertamaku kembali bersekolah di sekolah umum setelah 3 tahun menjalani home schooling.
Hidupku terasa sangat hampa selama 3
tahun terakhir. Aku jarang sekali beraktivitas di luar rumah sejak kasus bullying yang menimpaku pada kelas 7.
Dulu, aku suka sekali datang kepada bebrapa guru dan bertanya mengenai beberapa
materi yang kurang aku kuasai, tetapi teman-temanku menganggap bahwa aku caper. Sejak saat itu, hampir semua
orang di kelasku membullyku karena
mereka merasa bahwa aku datang kepada banyak guru agar menjadi anak kesayangan
para guru. Awalnya mereka hanya membullyku
secara verbal, tapi makin lama hal yang mereka lakukan semakin parah. Aku
sampai hampir dikucilkan oleh semua teman seangkatan. Ah, aku sudah tak mau
mengingatnya lagi. Aku mau fokus di sekolah baruku.
Oh iya, namaku Charlotte. Charlotte
Avery. Aku berumur 15 tahun dan hari ini merupakan hari pertamaku di SMA. Sejujurnya,
aku sangat takut kalau seandainya aku bertemu Violet. Aku yakin hidupku akan
kembali kacau jika aku bersekolah di tempat yang sama lagi dengan dia. Dia
telah menghancurkan masa-masa SMPku yang dulu ku kira akan menjadi masa-masa
yang sangat menyenangkan. Aku sangat berharap agar masa-masa di SMA ini akan menjadi
sangat menyenangkan, seperti kata kebanyakan orang di luar sana.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.00
pagi. Aku pun berangkat menuju sekolah baruku yang terletak tak jauh dari
rumahku. Sesampainya di sekolah, aku pun mencari kelasku. Aku sedang melihat ke
arah kanan dan kiriku. Tiba-tiba, “Brakk,” aku tertabrak oleh seorang
perempuan. Rambutnya berwarna hitam dan panjang, hidungnya mancung, dan
tingginya kurang lebih sama denganku. “Eh, maaf ya, gue lagi buru-buru,”
katanya. Ia pun berlari meninggalkanku. Muka dan suaranya tidak asing bagiku.
Mungkin dia …. Ah, tidak mungkin. Setauku Violet sudah pindah ke luar negeri
beberapa bulan yang lalu.
Aku pun kembali menulusuri lorong
sekolah yang ramai dan akhirnya menemukan kelasku. Aku masuk ke dalam kelas dan
memilih untuk duduk di barisan tengah. Tiba-tiba, ada yang memegang pundakku
dari belakang. “Hai, gue boleh duduk
di sini?” tanyanya. Ternyata dia perempuan yang tadi menabrakku di lorong. "Iya,
boleh kok," balasku. Kami pun terdiam sejenak.
Bel yang menandakan mulainya jam
pelajaran pun berbunyi. Wali kelasku pun akhirnya masuk dan memperkenalkan
diri. Ia mulai mengabsen kelasku. "Charlotte Avery," sahut wali
kelasku. Aku pun membalasnya, "Hadir." Seketika muka teman sebangkuku
berubah menjadi pucat. Ia tampak sangat kaget. Aku pun bertanya kepadanya,
"Kenapa?" "Gapapa kok," balasnya. Akhirnya nomor absen 32
pun dipanggil. "Violet," sahut wali kelasku. Teman sebangkuku pun
mengangkat tangannya dan berkata, "Hadir." Seketika aku mengingat
akan masa lalu. Ya, Violet. Aku takut jika seandainya teman sebangkuku sekarang
ini adalah Violet yang dulu pernah membullyku.
Namun, aku tidak mau berburuk sangka terhadap Violet. Tidak baik, bukan?
Jam istirahat pun tiba. Hampir
seluruh isi kelasku berhamburan keluar kelas untuk pergi ke kantin. Hanya aku
dan Violet yang tersisa. Kami pun akhirnya berbincang mengenai banyak hal,
mulai dari sekolah, keluarga, hobi, dan lain-lain. Namun, satu hal yang tidak
kami bicarakan adalah sekolah asal kami. Sejujurnya, aku tidak mau menanyakan
hal tersebut karena menurutku jika ia tau bahwa dulu aku home schooling,
mungkin dia akan menganggapku anti sosial dan malah akan menjauhiku. Ternyata,
Violet orangnya sangat asik, aku tak menyangka akan ada seseorang yang cocok
denganku karena dari dulu aku belum pernah merasakan rasanya memiliki seorang
sahabat.
Hari demi hari pun berlalu. Semakin
hari kami semakin dekat. Sampai suatu hari, kejadisn buruk hampir menimpaku.
Pada hari itu, aku hendak menyebrang jalan sendirian dari depan sekolah. Aku
menyebrang sendirian karena rumahku dan rumah Violet tidak searah. Aku sedang
asik mendengarkan lagu melalui headphoneku sehingga aku tidak mendengar bahwa
ada mobil yang melaju kencang ke arahku. Pada saat itu, Violet mau
mengembalikan chargerku yang telah ia pinjam. Ia melihat sebuah mobil melaju
kencang ke arahku. Ia berteriak, "Awas, Cha!" Sebelum aku menoleh, ia
sudah mendorongku agar aku tak tertabrak. Aku hampir ditabrak oleh mobil
tersebut, tetapi malah Violet yang tertabrak karena hendak menyelamatkanku. Aku
sangat panik. Aku langsung mencari bantuan dan membawa Violet ke rumah sakit
bersama beberapa teman sekelas yang lain.
Kepanikan menyelimutiku sembari
menunggu kesadarannya. Aku khawatir jika nanti hal buruk akan terjadi
kepadanya. Apa yang akan aku lakukan tanpanya? Hidupku menjadi lebih berwarna
dengan kehadirannya. Tiba-tiba, secarik kertas terjatuh dari antara buku
pelajaran Violet yang tadi ia pegang saat mau pulang. Aku pun membaca tulisan
dalam kertas tersebut.
“Hey, Cha! Masih inget gue ga? Iya, gue Violet yang dulu tukang
ngebully pas SMP. Jujur aja, gue nyesel jadi bully. Maafin gue ya,
Cha. Gue bakal belajar jadi orang
yang lebih baik dan menjadi sahabat yang lebih baik buat lo. –Violet”
Surat tersebut memang sangat singkat,
tetapi sangat bermakna bagiku. Sesaat setelah selesai membaca surat itu, dokter
yang tadi menangani Violet keluar. "Maaf ya dek, teman kamu tidak
tertolong," katanya. Aku merasa sangat terpukul. Aku bingung harus berbuat
apa. Kenapa ini harus terjadi saat aku baru dekat dengannya? Namun, satu hal
yang ku tahu, Tuhan pasti punya rencana terbaik untuknya. Aku harap kau tenang
di sana sahabatku, Violet.
Qinetta
Aidia Fitrinna
X MIA III
Semprot
Ajaib
Ada seorang anak yang bernama Lila. Lila
adalah seorang anak berumur 6 tahun yang sangat takut dengan hal yang berbau
mistis. Ia percaya dengan yang namanya hantu, monster, atau sejenisnya.
Pokoknya setiap hari Ia sering memikirkan hal
itu, dan ia juga sering tidak bisa melakukan hal-hal yang biasa karena rasa
takutnya itu.
Misalnya,
Ia sangat takut ke kamar mandi hanya karena Ia takut ada hantu yang
mengikutinya. Jadi Ia meminta Ibunya menunggu di depan pintu kamar mandi agar
Ia bisa ke kamar mandi. Atau juga Ia tidak bisa tidur sendiri karena Ia takut
ada monster di bawah tempat tidurnya. Ataupun ada bayangan tangan mengerikan
yang mengetuk-ngetuk jendelanya, padahal itu cuma ranting pohon yang tertiup angin.
Ia jadi tidak bisa tidur sendiri dan Ibunya harus menemaninya sampai Ia
tertidur.
Ibunya
selalu menasihati Lila bahwa yang namanya hantu atau monster itu tidak ada.
Lila tetap saja tidak percaya dan masih suka ketakutan karena hal itu. Ibunya
memikirkan cara agar Lila tidak takut lagi kepada hal-hal mistis itu. Akhirnya
Ibunya mendapatkan ide untuk membuat semprot pengusir hantu & monster.
Keesokannya
Lila diberi semprot itu oleh Ibunya. Lila pun sangat senang, karena menurutnya
semprot itu membuat hantu & monster pergi saat Ia menyemprotkannya ke
segala arah. Ibunya pun lega, hasil buatannya membuat Lila tidak takut ke kamar
mandi lagi atau tidur sendiri. Lila sangat senang menyemprotkannya ke segala
arah. Sejak hari itu Lila tidak jadi penakut lagi.
Walaupun
begitu, ada satu rahasia yang tidak diketahui Lila. Ibunya membuatnya hanya
dengan botol semprot diisi dengan air yang diberi perwarna dan pewangi.
Setiap
Lila berjalan menyemproti air itu ke segala arah, orang-orang melihatnya dengan
heran. Mereka bingung melihat anak kecil yang menyemproti air wangi yang
berwarna ke segala arah, tentu saja kecuali Ibunya. Lila tidak pernah menyadari
hal itu sampai Ia berumur 10 tahun.
Raisa Ramadhani
X MIA 3
Psychopath
aku terbangun mendengar
suara teriakan ibuku,dengan cepat aku berlari kekamarnya. begitu kagetnya aku
melihat ibuku terbaring di lantai yang dingin dengan bersimbah darah.
aku adalah seorang bocah
laki laki berumur 8 tahun, sekarang aku duduk dikelas 3 SD,aku tinggal bersama
ibuku,kami hanya berdua,ayahku meninggalkan ibuku saat aku berumur 3 tahun
mereka bertengkar begitu hebat,lalu ayahku langsung meninggalkan ibuku yang
menangis menjerit,aku hanya bisa memeluk ibuku pada saat itu.kami melanjutkan
hidup kami tanpa sesosok ayah dan suami.ibuku tidak putus asa dan bekerja keras
untuk membiayai kehidupan kami.
hari ini hujan turun
dengan derasnya,tepat pukul 11 malam ibuku belum pulang aku pun sangat
khawatir,karena belakangan ini ada seorang psikopat yang akan membunuh wanita
pada saat hujan turun dengan deras demi memuaskan rasa hausnya akan darah yang
memuncak saat hujan turun dengan deras. polisi belum tahu apa motif sebenarnya
tapi diyakini dia hanyalah seorang psikopat gila.aku mencoba menunggu ibuku
pulang tapi ia tak kunjung datang akhirnya aku pun ter tidur lelap.
saat aku melihat ibuku
terbaring tidak berdaya aku sangat ketakutan dan segara berlari menelphone
polisi. pada saat aku terhubung dengan kantor polisi, tiba-tiba ada seseorang
dibelakang ku aku memberanikan diri untuk nelihatnya,dia adalah seorang pria
dengan pakaian serba hitam dia menggenggam sebuah kapak yang diselimuti darah
ibuku.aku langsung berteriak dengan kencang,tetapi aku sudah dipukul dengan pukulan
yang keras,lalu aku pun pingsan.
aku terbangun di tempat
yang gelap tidak tau dimana aku berada.aku pikir diriku sudah mati,tapi
ternyata belum,aku bersyukur diriku belum mati tapi,mengingat ibuku yang mati
dengan mengenaskan membuat diriku menangis.aku berfikir mengapa dia tidak
membunuhku mau apa dia dari dirku,pertanyaan itu terus ada di otakku.tiba tiba
ada seseorang yang masuk dan kuyakin itu adalah dia dengan marahnya aku ingin
membunuhnya tapi tidak bisa karena kedua tangan dan kakiku diikat dikursi,akhirnya
dia membuka mulutnya,dia berkata...
"kau akan menjadi penerusku yang hebat"
Sain Gimel Filbert Simatupang
X MIA 3
Gratefull
“sial,
kenapa harus aku?” pintaku. Teruss aku berfikir dan berfikir, kenapa aku
sekarang bisa berlari menghindari sebuah robot manusia yang siap menembakan
semacam laser dari tanganya?
Iya,
semua ini berawal saat aku terbangun disebuah ruangan dengan banyak
alat”penyiksaan. Sangat mengerikan. Aku pikiri aku diculik, jadi aku berusaha
mencari jalan keluar, dan untungnya aku menemukannya. Tapi ruginya, aku
sekarang dikejar “Cyborg”yang mungkin ingin membawaku kembali ke ruangan itu.
Dengan
nafas yang hampir habis, keringat yang terus bercucuran, aku berlari tak henti
sambil melihat tempat persembunyian. Lalu aku melihat sebuah gang kecil
diantara gedung” tinggi. Aku memustuskan untuk lari kearah sana. Wah aku sangat
beruntung! Aku menemukan tong sampah dan aku langsung loncat kesitu untuk
bersembunyi. Aku tetap waspada dan mendengar langkah kaki cyborg itu. Saat aku
merasa sudah aman, akhirnya aku keluar dari tempat sampah itu. Ohiya aku lupa,
aku juga memakai jaket yang aku dapat dari tong sampah itu sebagai penyamaran.
(yah emang sih bau dan jorok, namun aku lebih memilih untuk geli daripada
dikejar oleh robot itu, beuuhh seram) Saat aku menyusuri kota yang sudah sangat
“Futuristik” itu, tiba” ada layar besar yang muncul dari beberapa gedung
disitu. Muncul seorang laki” gendut yang mengarahkan pisau ke leher seorang
wanita tua. Wait, itu bukan wanita tua, ITU MAMAKU!?
“Hai
divan, kau kenal dia kan? Serahkan dirimu atau kau tidak dapat melihat ibumu
lagi HAHAHA” kata pria gendut itu. Aku cuman bisa berdiam. Aku takut untuk
meolong mamaku. “divan. Aku mulai menghitung mundur, 10” aku tersontak kaget dan
langsung berlari ke arah gedung tempat aku disekap tadi. 9 8 7 6, setiap angka
disebutkan, semakin aku menangis bercampur marah. Aku bingung, aku tak tahu
arah, aku tak tau aku dimana, aku tak tau apa”. Yang aku tau hanya namaku divan
dan aku ingin menyelamatkan ibuku. “3, 2, 1 dadahhh divann”. Iyaa itu dia. Saat
dimana aku melihat ibuku dibunuh. Aku berteriak seakan”itu membuat ibuku tidak
jadi dibunuh. Tapi itu percuma. Saat cipratan darah keluar dari tenggorak
ibuku, aku terbangun.
Aku melihat sekelilingku. Aku ada
dikamarku. Aku aman. Ternyata itu mimpi. Awalnya nafasku terengah”, sekarang
sudah normal kembali. Tiba – tiba aku mendengar suara mama menyuruh aku makan.
Aku langsung keluar kamar dan langsung memeluk mama dengan sangat erat.
Mengingat mimpi itu, aku menjadi sangat bersyukur akan ibuku yang sekarang. Aku
akan terus berusaha melindugi ibuku, apapun keadaannya.
Scarlett Monauli
X MIA 3
Waktu
Waktu terus
berjalan. Itu yang ibuku ajarkan, jangan sia siakan waktumu katanya. Karena
waktu terus berjalan.
Umurku baru 7
tahun ketika ibu bertanya,
“Hikaru mau
jadi apa nanti?”
Umurku yang
masih 7 tahun bingung. Jadi apa? Tidak pernah terbesit dipikiranku tentang masa
depan. Wajar. Umurku baru 7 tahun. Tapi aku tak mau mengecewakan ibu, dengan
asal kujawab
“Hikaru mau
jadi astronot bu!”
“Kenapa?”
Aku terdiam.
Umurku masih 7 tahun, aku tidak tahu apa itu astronot. Aku hanya pernah
mendengar kata astronot dari kartun yang kutonton di tv. Maka sekali lagi
kujawab dengan asal.
“Karena
Hikaru pikir jadi astronot itu asyik bu! Bisa menjelajah hutan kayak Dora yang
di tv itu loh bu!!”
Ibuku hanya
tersenyum mendengar kekonyolan yang aku lontarkan.
“Hikaru ingin
jadi astronot kan? Berarti Hikaru harus belajar dengan giat dong! Ingat Hikaru,
waktu itu terus berjalan, tak pernah berhenti. Maka manfaatkanlah waktu itu
sebaik baiknya. Jangan sia siakan sepeser dan sedetik pun waktu yang kupunya”
Aku hanya
tersenyum dan menganggukan kepalaku. Aku tak sepenuhnya mengerti apa yang
dikatakan ibu. Waktu terus berjalan? Bukannya jam dinding di rumah pernah
berhenti? Kenapa itu berkata waktu tak pernah berhenti? Aku tak mengerti. Aku
masih 7 tahun tuanya.
Waktu pun
berjalan. Dan tahun pun terlewati. Ibu yang tahu aku ingin menjadi astronot,
walaupun dia tahu itu hanya jawaban asalku, tetap mendukungku. Dia mengajariku
tentang planet, bintang, dan alam semesta. Beruntung ibuku merupakan salah satu
ahli di bidang ipa.
Aku mulai
tertarik dengan astronomi. Umurku saat itu 14 tahun saat ibu berkata
“Hikaru, kau
masih ingin menjadi astronot?”
Aku terdiam
kembali sama seperti 7 tahun yang lalu. Pertanyaan yang berbeda tapi memiliki
makna yang sama. Aku diam mencari jawaban. Apa yang harus kukatakan?
“ya bu, aku
ingin menjadi astronot. Bukan lagi seperti Dora, tapi sekarang aku ingin
melihat alam semesta. Aku penasaran bu, ketika ibu berkata bahwa ada milyaran
bahkan jutaan galaksi di luar sana. Aku penasaran, seberapa kecilnya kita
diantara banyaknya galaksi diluar sana? Betapa hebatnya sang pencipta langit
dan bumi? Aku penasaran bu”
Ibu
tersenyum. Bukan lagi karena kekonyolan ku tetapi karena jawaban yang
kulontarkan.
“Ibu senang
kau serius menjadi astronot Hikaru. Teruslah gapai mimpimu hingga kau raih itu.
Ingat Hikaru, waktu itu terus berjalan, tak pernah berhenti. Maka manfaatkanlah
waktu itu sebaik baiknya. Jangan sia siakan sepeser dan sedetik pun waktu yang
kupunya”
Aku terdiam
kembali. Bukan karena bingung mencerna kalimat yang ibu katakana. Tetapi karena
aku berhasil menangkap makna dari kalimat itu. Kalimat yang sama seperti 7
tahun yang lalu, kalimat yang membuatku keheranan dan kebingungan saat umurku
masih 7 tahun. Aku sekarang tahu. Aku harus belajar dan belajar. Tidak boleh
bermain dan bersenang senang. Karena aku harus memanfaatkan waktu yang kupunya
sebaik baiknya. Dan saat itu umurku 14 tahun.
Lalu waktu
pun kembali berjalan. Tak pernah berhenti. Sama seperti yang dikatakan ibuku. Aku
melewati masa sma ku dengan lancar. Nilaiku sempurna tak bercela. Guru guru
memujiku. Universitas ternama pun berlomba lomba mengundangku untuk belajar
disana. Namun aku merasa hampa. Tahun tahunku di sma terasa hambar. Hari hariku
hanya kuisi dengan belajar belajar dan belajar. Tak pernah ada kata berhenti.
Saat teman temanku asyik berkumpul dan berjalan jalan bersama. Aku diam
dirumah. Belajar. Itu membuang waktu berhargaku kupikir. Begitupun seterusnya,
ketika temanku mengajakku untuk menonton bioskop, aku dengan tegas menolak dan
berkata aku tak butuh kegiatan yang hanya membuang waktu ku.
Aku menyesal.
Teman temanku menjauhiku. Masa sma yang seharusnya menyenangkan, hilang begitu
saja. Aku mulai berpikir. Apakah aku baru saja menyia nyiakan waktuku? Tapi
bukannya seharusnya waktu yang kupunya kumanfaatkan sebaik baiknya? Aku sudah
belajar dan semakin mendekati citaku citaku. Aku tak pernah membuang waktuku
untuk kegiatan yang tidak penting. Tapi entah kenapa, aku merasa salah. Aku
merasa aku baru saja membuang waktu berharga ku.
Aku pun
bertanya pada ibuku. Tidak seperti dulu ketika ibu yang bertanya duluan
kepadaku.
“Ibu, aku
yakin dengan cita citaku menjadi astronot. Aku selalu belajar dengan giat untuk
meraihnya. Waktu ku pun tak pernah kusia siakan. Aku selalu belajar karena aku
tahu waktu itu terus berjalan. Aku semakin dekat dengan cita citaku dan aku
merasa itu karena aku tak pernah membuang buang waktuku. Tapi bu, aku bingung.
Kenapa aku merasa seperti telah membuang waktu? Kenapa aku merasa bahwa aku
sudah menelantarkan masa sma ku yang harusnya terasa bahagia? Aku merasa salah
bu”
Ibuku
tersenyum. Bukan karena jawaban konyolku dan bukan karena jawaban yang
kulontarkan. Ibu tersenyum penuh makna atas pertanyaan yang ku lontarkan.
“Kau tidak sepenuhnya
salah Hikaru. Kau benar tentang tidak menyia-nyiakan waktu mu untuk belajar dan
meraih cita citamu. Tapi kau salah tentang tidak menikmati waktu yang kau punya.
Ibu pernah berkata bahwa kau tidak boleh menyia nyiakan waktumu bukan? Mungkin
kau salah mengartikannya Hikaru. Yang ibu maksud adalah, nikmati waktumu. Ikuti
alur waktumu. Jangan sia siakan waktumu. Jangan buang semua kesempatan yang
telah diberikan kepadamu Hikaru. Manfaatkan itu. Bawa itu. Ikuti alirannya.
Rasakan sensainya. Ingat Hikaru, inilah pesan yang bisa ibu sampaikan kepadamu,
waktu itu terus berjalan, tak pernah berhenti. Maka manfaatkanlah waktu itu
sebaik baiknya. Jangan sia siakan sepeser dan sedetik pun waktu yang kupunya.
Jangan buang kesempatan itu Hikaru”
Dan untuk
terakhir kalinya aku terdiam menanggapi jawaban ibu. Bukan karena aku bingung,
tapi karena aku tahu yang sebenarnya sekarang. Bahwa kita harus menjalani hidup
kita sebaik mungkin, jangan sia siakan waktu dan kesempatan yang telah
diberikan kepada kita. Hidup bukan hanya untuk belajar dan bekerja. Kita juga
harus menikmati hidup yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Jangan
menyianyakannya,
Jangan
membuang semua waktu dan kesempatan yang telah diberikan Tuhan kepada kita,
Karena ingat,
waktu terus berjalan, tak pernah berhenti,
Maka
manfaatkanlah waktu itu sebaik mungkin dan jangan sia siakan sepeser bahkan
sedetik pun waktu yang kita punya.
Umurku saat
itu 24 tahun. Saat aku sudah mengerti dengan sepenuhnya apa maksud perkataan
dari ibu.
Umurku saat
itu 24 tahun, dan aku sudah menjadi astronot seperti yang pernah aku cita
citakan.
Dan umurku
saat itu 24 tahun, ketika aku berjanji untuk selalu mengingat dan meneruskan
kepada anak cucuku, apa yang selalu ibuku pesankan kepadaku.
Bahwa waktu
akan terus berjalan, dan tak pernah berhenti.
Vanessa Olivia H
X MIA 3
Tantangan
Persahabatan
Kriinnggggg…
Jam beker berdering keras pukul 04.50
pagi, Ghita segera beranjak dari kasur nya untuk mempersiapkan diri ke sekolah.
Ghita merupakan seorang siswi yang berhasil masuk ke salah satu SMA Negeri
favorit di Jakarta. Hari ini adalah hari pertama nya masuk ke sekolah baru dan
menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah. Ghita sangat senang dan merasa
beruntung karena berhasil mengalahkan ratusan orang yang ingin masuk ke SMA 68.
Rosa—sahabat nya sejak TK— juga berhasil masuk ke SMA 68 dengan jurusan IPS,
jurusan yang sama dengan Ghita. Mereka berdua berada di kelas yang berbeda, yakni
kelas X IPS III dan X IPS II.
Hari pertama MPLS diawali dengan
kegiatan upacara bersama kakak kelas XI dan XII di lapangan. Jujur saja, Ghita
kecewa karena tubuhnya pendek sehingga ia harus berdiri di barisan belakang.
"Udah pendek, diri di belakang,
ngeliat apaan dong gue," Keluh Ghita.
Setelah kegiatan upacara, para peserta
mengikuti berbagai seminar dan kegiatan sosialisasi yang disiapkan pihak
sekolah, seperti pengenalan visi dan misi sekolah dan sosialisasi tata tertib. Pada
awalnya, Ghita semangat menyimak deretan kegiatan. Namun, ketika hari mulai
siang, banyak siswi yang mulai merasa bosan dan kelelahan, termasuk Ghita.
Setelah upacara sore, hari pertama di
sekolah baru resmi usai, kini saat nya Ghita untuk kembali ke rumah. Ghita
pulang sendiri dengan menggunakan Transjakarta menuju apartemen nya di daerah
Perintis Kemerdekaan.
Kira-kira lima menit Ghita menunggu, TJ yang
akan ia naiki pun datang. Karena seisi TJ penuh, terpaka Ghita harus berdiri di
bagian tengah bus. Di samping nya berdiri seorang laki-laki dengan tinggi
semapai, kulit yang menurut Ghita berwarna coklat manis, dengan hidung yang
mancung dan mata hitam pekat yang memesona. Ghita mengagumi laki-laki yang
ternyata juga memakai baju SMP asal sekolah laki-laki tersebut, sama dengan
Ghita yang juga mengenakan baju SMP asal.
“Halo, anak 68 juga ya?” Ucap laki-laki itu.
Ghita merasa kebingungan dengan siapa laki-laki itu bicara Karena ia tak
mengenal siapa laki-laki itu.
Ghita mengarahkan jari telunjuk tangan kanan nya ke arah badannya, “Lo
ngomong sama gue?” Tanya Ghita.
“Iya astaga, gue ngomong sama lo,
nama lo siapa? Gue liat lo tadi pas di 68.” Ucap laki-laki itu.
“Gue Angghita Indrawan. Panggil aja Ghita.”
Ucap Ghita sambal menyambut uluran tangan laki-laki itu.
“Gue Jerri. Jerriko Rangga
Fernando. Salken ya.” Balas Jerry.
Entah mengapa, Ghita merasakan kupu-kupu
terbang di sekitar nya. Bagi Ghita, suara Jerri memiliki ciri khas sendiri, membuat
diri merasakan sesuatu. Sepanjang perjalanan, mereka banyak berbincang dan
akhirnya lebih mengenal satu sama lain. Jerry masuk ke jurusan MIPA dan duduk
di kelas X MIA 1, kelas yang bisa dibilang cukup ansos. Disebut anti sosial
karena letaknya di lantai tiga, terpojok, dan merupakan satu-satu nya kelas X
yang ada di lantai tiga.
***
Ghita berada di dalam apartemennya sendiran,
kedua orang tua nya sedang pergi bekerja dan Ghita tidak memiliki adik maupun
kakak. Sesampainya di apartemen, Ghita langsung bergegas ke kamar mandi. Tubuh dan
pikirannya penat setelah beraktivitas dari pagi hingga sore. Ia berdiri dibawah
shower cukup lama. Bagi Ghita,
berdiri dibawah shower, menikmati tetesan air yg mengenai kepala dan badannya
mampu melepas lelah yang dialami.
Tiga puluh menit telah berlalu dan kini Ghita
sedang asik bermain hp, ia mengobrol dengan teman sekelas nya lewat grup kelas
yg mereka buat. Lalu sebuah notif pun masuk, seseorang dengan username @jkrfernando
ingin menfollow dirinya. Ghita mengunci akunnya, atau bisa dibilang ia ingin
Instagram nya private, hanya dilihat
oleh orang-orang tertentu. Di zaman modern ini, Ghita merasa harus menyaring
pergaulan, termasuk teman di media sosial. Ghita tak mau terjerumus ke hal-hal
negatif yang akhirnya merusak diri dan masa depan.
Ghita menerima permintaan
pertemanan dari akun tersebut serta menfollow balik. Ternyata, itu adalah akun
jerry, laki-laki yang baru saja ia kenal dan merupakan teman satu angkatannya
di sekolah baru. Jujur saja, Ghita mulai menyadari kalau ia menyukai Jerry,
selain wajahnya yang tampan dan otak nya yang pasti pintar, kepribadian Jerry
juga baik. Jerry ramah kepada nya dan tak segan-segan memulai pembicaraan dengan
Ghita.
Notif line pun masuk, seseorang
dengan display name Jerrikorf baru
saja mengirim pesan kepada Ghita.
Jerrikorf :
Halooo
Angghita :
Halo juga
Jerrikorf :
salken ya
Angghita :
iya, salken juga ya.
Jerrikorf :
lagi apa nih sekarang?
Menurut pelajaran yang Ghita dapat dari Rosa,
jika laki-laki sudah mulai bertanya hal yang lebih ke arah privat dan
menanyakan yang menunjukkan ketertarikan kepada kita, maka laki-laki sedang
modus. Berawal dari chat itu, Ghita dan Jerri semakin dekat, Ghita pun merasa
ia benar-benar jatuh cinta kepada Jerri. Namun, saat di sekolah mereka seperti
orang asing, tak pernah berbicara berdua atau pun sekedar menyapa pun tidak.
Menjadi teman sejak TK, curhat sudah menjadi
kebiasaan Ghita dan Rosa. Ghita menceritakan sosok idaman baru nya tetapi tidak
menyebutkan siapa nama laki-laki itu, ia masih ingin merahasiakan. Begitu pun
dengan Rosa, ia juga sudah menemukan tambatan hati nya. Saat bercerita dengan
Rosa, Ghita menyamarkan nama Jerriko dengan huruf X, sedangkan Rosa,
menyamarkan laki-laki yang ia taksir dengan huruf Y.
Rosa menceritakan beda dekat nya
dia dengan Y saat di chat, mereka bahkan pernah pergi ke mall bersama. Ghita
pun tak mau kalah seru, ia menceritakan bagaimana dekatnya hubungan mereka
lewat chat maupun secara langsung. Ya, sebenarnya Ghita berbohong karena tidak
mau kalah dari Rosa. Ghita dan Rosa pun sepakat untuk memberitahu siapa
laki-laki yang mereka taksir dalam beberapa hari.
Hari itu pun tiba, Ghita dan Rosa
saling memberitahu siapa laki-laki yang mereka sukai.
“Eh jadi tuh
gue suka sama anak MIA I, cakep banget ihh,” Ucap Rosa dengan semangat. “Gue
juga tau lo suka sama anak MIA I, kan doi kita sekelas Ros,” Ghita pun memutar
bola mata nya dengan jengah, “Udah, langsung ke inti nya aja, gue suka sama
yang nama nya Jerri,” Ghita tersenyum, berbanding balik dengan Rosa yang merasa
terkejut. “Lo suka sama dia?” Tanya Rosa dengan penuh antusias, yang dijawab
dengan anggukan kepala Ghita.
“Ghit, masa orang yang kita taksir
sama deh,” Rosa berbicara. “Hah? Lah jadi X dan Y itu Jerri?” Ghita merasa
bingung, apakah dia memilih sahabat atau… cinta? Keduanya hening seketika
sampai akhirnya Ghita memecah kesunyian.
“Ros, inget ga? Kita waktu SMP
pernah janji, janji kalo cowok ga boleh jadi hambatan kita buat tetep
bersahabat,” Ucap Ghita sambil mengaduk-aduk minumannya. “Iya Ghit, gue masih
inget kok,” Balas Rosa. “Perjanjian itu masih berlaku buat sekarang juga kan?” Tanya
Ghita. Rosa tersenyum, “Masih lah, gue gak rela gara-gara Jerri yang padahal
belum tentu suka sama salah satu dari kita, kita jadi pecah.” Ghita tersenyum
lega dan mereka berdua berpelukan. Mereka tak peduli jika Jerri hanya
bermain-main dengan mereka atau ramah kepada semua orang, mereka tidak peduli
lagi dengan alasan-alasan apa pun. Mereka akan tetap bersahabat, sekarang
sampai seribu tahun lagi.
Wadi
Mufid
X MIA 3
Hijrah
Belakangan
ini ada yang berbeda dengan Vika, dia lebih sopan dan ramah daripada biasanya.
Beberapa temannya pun kebingungan dengan sikapnya belakangan ini. Aku sebagai
sahabatnya pun heran dengan perubahannya yang cukup singkat ini.
Vika
merupakan teman main ku sejak SMP. Dulu dia orang yang keras kepala, egois, dan
tidak punya tata krama. Walaupun perempuan, tapi sifatnya seperti seorang
laki-laki. Tetapi itu dulu, sekarang kami sudah SMA dan kebetulan dia satu
sekolah lagi dengan ku.
Beberapa
hari ini ku lihat dia selalu menggunakan pakaian yang sopan, ditambah lagi
dengan jilbabnya yang panjang. Perilakunya pun berubah menjadi lebih tenang.
Parasnya pun terlihat lebih ayu diselingi dengan tutur kata yang menyejukkan
hati.
Selama
beberapa hari, ku lihat perubahannya semakin baik, dan ku mulai memberanikan
menanyakan hal itu kepadanya.
"Hai
Vika, Sekarang lebih sopan yak, terlihat lebih ayu gimana gitu.", tanyaku
sambil merayunya.
"Ahh,
bisa aja nih sih Rehan. Ini mah emang gue sengaja han, sekarang udah saatnya
berubah, lagian juga gue udah dewasa. Gue gak mau nanti diliatin ama laki-laki
mata keranjang, termasuk lu han.", jawabnya sambil meledekku.
"Heheheee...
tapi baguslah temen gua udah berubah jadi lebih baik, lanjutin terus tuh."
"Siap
boss, lagian juga itu emang maunya gue."
Jujur
pada saat itu aku mulai kagum dengan Vika, dia berhijrah dengan sangat cepat,
bahkan tidak ku duga sebelumnya.
Hari
demi hari ku memperhatikannya, dalam proses hijrahnya dia masih terbawa masa-masa
kelamnya, teman-temannya masih sering mengejek Vika sok alim, cari perhatian dan
masih banyak lagi. Tapi... ku kagum dengan tekatnya itu yang masih berpegang
teguh pada pendiriannya. Keteguhannya itu juga lah yang membangkitkan semangatku
untuk berhijrah.
Suatu
ketika aku bertemu Vika lagi saat ingin pulang. Kebetulan rumah kami memang
searah dari sekolah.
"Eh
vik, kok lu bisa tetep pada pendirian lu sih, padahal kan temen-temen lu masih
sering ngeledekin, dan lu juga responnya kayak santai gitu."
"Ohh
itu han, jadi gini kalo kita udah niat sungguh-sungguh dari awal, cobaan apapun
itu pasti kerasa enteng. Dan satu lagi nih han, kalo ada yang ngeledekin lu
itu, jadiin motivasi aja. Anggep aja kambing yang ngembek-ngembek gk
jelas."
Dan
blablabla... selama perjalanan kami terus berbincang-bincang mengenai masalah
itu. Dan sejak itu lah aku mendapatkan pelajaran terbaik dan aku akan terus
bertekad untuk menjadi lebih baik setiap saatnya. Dan terlebih lagi aku sudah
mulai tertarik dengan Vika. Tapi aku sudah tau sebagai muslim yang baik aku
tidak boleh mendekati hal apapun yang mendekati zina. Aku lebih baik menyimpan
perasaan ini, karena jika memang benar suka, buat apa mengajak berbuat dosa
bersama.
Hari
demi hari kami lewati bersama, kami sama-sama saling belajar untuk memperbaiki
diri kami. Tak jarang Vika memberiku nasihat jika aku sudah melenceng dari
tekatku. Walaupun begitu kami tetaplah teman biasa, tanpa ada status apapun dan
kami memiliki prinsip bersama yakni "Fastabiqul Khairat".
Dan
satu pesanku untuk para muslimah disana, berjilbab bukan hanya sebuah identitas
bagimu untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab
adalah suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan
ibadah lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata
dari seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan
lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah
jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita
yang tiada duanya ini?
Yusuf Shadiq
X MIA 3
Sebuah
Cerita
Pada suatu hari hiduplah seekor
tupai bernama paipai yang pandai berbicara. Dia sangat pandai berbicara ,
sehingga semua tupai di hutan itu yg berdebat dengan dia selalu kalah.
Lalu paipai semakin tenar dan
semakin banyak orang yg menyukai dia karena kehebatannya. Paipai pun mulai
bertaruh dengan kacang kenari karena dia sudah merasa yakin dengan kemampuannya
Tak lama kemudian paipai menjadi
tupai dengan kacang kenari terbanyak sehutan. Karena kekayaannya itu paipai
menjadi sombong dan serakah. Semua kacang yg ia miliki dia jaga baik baik dan
tidak mau berbagi.
Setelah lama dia menikmati
kekayaannya, dia pun menjadi gendut karena jumlah kacang yang dia makan sangat
banyak. Sampai akhirnya ada seekor tupai penantang paipai, dia menantangnya
dengan mengejek paipai sebagai tupai yang payah berdebat.
Dia juga menantang paipai untuk
bertaruh dengan seluruh kekayaannya.
Mereka pun berdebat , perdebatan
itu sengit sekali sehingga penontonnya ada panik histeris. Sampai akhirnya
paipai sudah lelah berbicara karena kegendutannya menghambat dia melantunkan
kata kata yang banyak, dan paipai kalah dalam perdebatan ituu. Akhirnya paipai
menyesal karena dia tidak suka berbagi, dan karena keserakahannya itulah yang
menyebabkan dia jadi miskin.
Zabina Chaerunissa
X MIA 3
LIBURAN YANG MENYENANGKAN
Hari ini hari terakhir Andy mengerjakan Ujian Kenaikan
Kelasnya. Andy berusaha untuk fokus terhadap soal yang Ia kerjakan, namun
pikirannya sudah melayang ke Jepang. Sepulang sekolah nanti, Andy dengan
keluarganya akan pergi ke Jepang untuk mengisi liburan panjang. Andy sudah
memikirkan kemana saja yang akan ia kunjungi sesampai di Jepang. Terlalu banyak
berpikir tentang liburan, Andy tidak menyadari bahwa waktu pengerjaan tinggal
15 menit lagi dan baru setengah soal yang Ia sudah selesaikan. Andy bergegas
mengejar ketinggalannya dengan teliti.
Bel sudah berbunyi, Andy yang merasa sangat senang
bergegas untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, keluarganya sedang bersiap-siap.
Bibi sudah merapikan koper Andy, jadi Andy hanya butuh mandi dan berganti
pakaian sebelum berangkat ke bandara.
Dalam perjalanan ke bandara, Andy tidak bisa berhenti
tersenyum. Ia sedang membayangkan Jepang yang sangat indah dan tentunya dipenuhi
oleh bunga sakura mengetahui bulan ini bunga sakura di Jepang sedang mekar. Hanya
butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di bandara dan dua jam untuk
menunggu pesawat mereka terbang.
Di pesawat, Andy merasa lelah. Karena otaknya sudah
dikuras selama ujian tadi dan selama perjalanan ke bandara ia tidak tidur,
akhirnya Ia memutuskan untuk tidur selama penerbangan. Setelah dibangunkan oleh
Bibi, Andy menyadari bahwa Ia telah sampai di Jepang dengan selamat.
Hari sudah larut dan keluarga Andy memutuskan untuk
langsung ke tempat penginapan. Tempat penginapannya sangat bagus, Andy dan yang
lain sempat berfoto ria di lobby hotel sebelum mereka masuk ke kamar
masing-masing. Andy langsung terlelap dan siap untuk menghadapi perjalanan esok
hari.
Keesokan harinya, keluarga Andy pergi ke daerah dimana
banyak bunga sakura yang mekar. Mereka berfoto-foto dengan latar belakang bunga
sakura yang indah. Setelah itu, mereka pergi belanja ke suatu tempat yang
memiliki banyak toko-toko menarik. Mereka membeli baju, peralatan make up untuk
ibu dan kakak Andy, mainan mobil-mobilan, dan oleh-oleh untuk yang ada di
Jakarta. Malamnya, mereka makan di sebuah restoran terkenal, dan makanannya
sangat enak sampai Andy sudah merasa terlalu kenyang.
Hari kedua, mereka pergi ke Fuji-Q, sebuah amusement
park yang terletak dekat dengan Gunung Fuji. Disana, mereka bermain banyak
sekali wahana, dan melihat Gunung Fuji yang indah. Selain bermain, mereka juga
mencoba berbagai makanan ringan seperti gulali, churros, dan sebagainya. Tak
lupa juga mereka membeli cinderamata dari taman wahana tersebut. Malamnya
mereka memilih untuk langsung pulang ke hotel karena terlalu lelah.
Perjalanan mereka hanya empat hari saja. Hari
ketiganya mereka berkunjung ke Disneyland. Mereka melihat berbagai macam tokoh
kartun seperti Mickey Mouse, Minnie Mouse, Donald Duck, dan yang lain. Mereka
juga berkunjung ke tempat yang dibuat layaknya kita sedang berada di dunia
Harry Potter. Mereka membeli banyak hal disana, seperti Butterbeer, minuman
khas Harry Potter, tongkat sihir dan jubahnya, dan masih banyak lagi.
Hari terakhir, mereka mencoba berbagai kuliner yang
ada di Jepang. Mereka makan banyak makanan lezat. Sering kali mereka membeli
makanan ringan yang tidak kalah juga enaknya dengan makanan yang ada di
restoran. Merasa sudah kenyang, mereka membeli berbagai souvenir lagi untuk
dibawa pulang, dan langsung pergi ke bandara. Andy merasa senang sekaligus
sedih. Ia sedih karena harus berpisah dengan Jepang, namun ia tetap senang
karena sudah mengunjungi tempat-tempat yang bagus. Mereka sampai di bandara
pukul tujuh malam dan terbang pada pukul sembilan malam. Selama terbang pulang,
Andy kembali terlelap karena lelah sudah berjalan seharian. Andy tidak akan
melupakan perjalanan yang sangat seru ini. Ia ingin cepat-cepat kembali ke
Jepang yang indah lagi.
Zidan Adidarma
X MIA 3
Siang di Pantai Normandia
Angin menyepoi mukaku
yang baru terjaga dari tidur. Rasa asin yang terbawa dari laut bukanlah hal
terbaik di pagi hari. Jam 5.00 pagi menandakan giliranku jaga pos, giliranku
menjalankan kewajibanku
“gutten morgen
Kreiger! Heh, kau bersemangat seperti biasa tampaknya,” Temanku,Hans, memberiku
salam
“sebuah kehormatan
dapat mengabdi pada Fuhrer, Hans. Apakah kau tak bersemangat?”
“ Hoho, kau sendiri
tahu kan aku bukan penggemarnya seperti mu. Aku hanya ingin mati di medan
perang saja seperti..,”
“ ya ya, ayahmu, kita
sudah sering bahas ini sejak kita kadet,”
“Bukan bermaksud
menghinanya, tapi apakah kau juga merasa Fuhrer terlalu paranoid sampai ia
ingin pantai sekecil ini dijadikan benteng,”
“Jaga mulutmu, kau
dapat diadili karena itu”
Hans yang selalu
bersemangat pertama kali bertemu denganku saat kami masih menjadi kadet. Ia
memotivasi dirinya untuk kehormatan ayahnya yang meninggal dalam Serangan
Ludendorff, secara pribadi dia tak terlalu menyukai Fuhrer Karena ia pernah
berhutang nyawa pada seorang dokter Yahudi.
Karena itulah aku
hanya menganggapnya sebagai teman saja.
Berbeda dengannya,
aku membenci Yahudi yang seenaknya mengganggu kesucian Jerman. Di tengah
keputusasaan dan kekacauan, Partai Buruh dipimpin Fuhrer berhasil menebus dosa
para yahudi di tanah air. Demi dirinya aku berani mengorbankan diri.
“Tampaknya kalian
sedang bersenang senang Kreiger, Apakah kalian sudah tumpul?”bisik seseorang.
Aku dan Hans
terkejut, “Siap! Kami pasukan pembela akan selalu menjaga tanah air, akan
selalu menjaga Fuhrer, akan selalu..”
“Cukup, cukup. Arn,
aku perlu bicara denganmu,” Ucap Komandan sambil melihatku, “Hans, dapatkah kau
pergi”
“siap pak,”
Ada dua kemungkinan
jika Komandan ingin berbicara pribadi dengan prajurit, entah ia ingin bersenda
gurau atau prajurit itu akan diadili militer. Kemungkinan pertama hanya akan
terjadi jika dan hanya jika ia sudah mati, jadi aku bersiap menyeret Hans jika
perlu.
“Tidak, kau tak akan
diadili militer atau apa pun, kau tahu? adikmu Adamand Alfonso telah menghilang
dalam tugas,”
“Kita tidak tahu
apakah ia gugur atau ditangkap, walau begitu aku ingin kau tahu ini”
Aku lupa satu
kemungkinan lagi, komandan kadang memberikan berita kematian keluarga para
prajuritnya. Tak perlu dikatakan lagi, aku menyayangi adikku. Tak ada hariku
kulewati tanpa memandang foto kami berdua. Dahulu hanya dia yang kumiliki.
Hanya dahulu..
Aku tak mengucapkan
sepatah kata lagi di hari utu. Siang berjalan sangat lama, aku menghabiskan hariku
memandang laut lepas. Pandanganku tertuju pada sepasang camar yang hinggap di
atas menara penjaga. Aku melamun dan berpikir betapa menyenangkan menjadi
camar. Makan yang diinginan, hidup bebas dan tak sendiri. Berita kematian
adikku mengingatkanku bahwa ini medan perang, mengingatkanku bahwa aku adalah
prajurit. Prajurit yang dapat mati kapan saja saat menjalankan tugas.
Aku memberitahu Hans
tentang hal ini. Hans mencoba menceriakan ku,tapi ia tahu akan butuh lebih dari
sekedar permainan kartu dan beer. Ia tahu masa lalu ku dan seberapa dalam
cintaku terhadap adikku. Sore itu saat istirahat,ia makan di sebelahku.
“Jika aku benar kau
hanya pernah menceritakan masa lalu mu padaku saja, jadi akan tak adil jika aku
tidak memberitahu mu sesuatu” ucapnya
“owh, aku kira anak
seorang pengkhianat tak punya masa lalu,” jawabku sinis
“ Ha ha ha, disitulah
kau salah, aku hanya ingin berbagi kisah dari teman ayahku,sebut saja Nico”
“kau tahu, Nico
adalah prajurit yang pernah bertempur di pertempura Reims, ia memilikki seorang
sahabat yang pintar dan berani. Sahabat Nico itu menemukan kejanggalan ketika
Britania dan Prancis dapat dengan mudah mengalahkan mereka. Menurutmu mengapa
pasukan kecil mereka dapat mengalahkan Jerman?”
Keheningan sejenak,
sampai aku menjawab, “Informasi”
“Ya, Sahabatnya
mengajak Nico untuk bergabung dalam penyelidikannya. Mereka mencari informasi
dari petinggi,pewira , sesama prajurit bahkan penjaga kuda hingga mereka tahu
ada seorang pengkhianat di antara mereka”
“Sahabat Nico pun
menghadap sang Komandan mereka dan keesokannya Sahabatnya itu dieksekusi di
tempat atas tuduhan pengkhianatan”
“Demi Tuhan, Hans!
Ayahmu di fitnah?” Jawab diriku yang kaget mendengar ceritanya
“Daan.. dibunuh,
siapa sangka yang kuat menentukan mana yang benar, tidakkah kau setuju?”
Komentar
Posting Komentar