KUMPULAN CERPEN X MIA 3

Alvito Rizqi
X MIA 3
Cacat Kecil Yang Tidak Kelihatan
Suatu hari hiduplah pemuda yang kaya, tampan, cerdas, dan lain-lain. Pokoknya serba sempurna deh dia. Dia sangat bangga akan kesempurnaannya. Tapi dia hanya punya satu kekurangan yaitu dia tidak mempunyai pasangan alias jomblo. Dia mencari perempuan yang sempurna seperti dirinya. Ya perempuan yang tidak mempunyai kecacatan apapun. Dia mencari kesana-kemari tapi tidak menemukan apa yang dia inginkan.
              Lalu sampailah dia pada suatu desa. Konon kata orang-orang ada seorang petani yang memiliki tiga anak perempuan yang sempurna semua. Bergegaslah dia untuk menemui petani itu. Saat menemui petani itu dia berkata, ‘wahai pak tani izinkan aku untuk menemui anak-anakmu. Jika benar salah satu dari mereka tidak mempunyai kecacatan apapun, aku akan menikahinya’. Petani itu bahagia sekali karena salah satu anaknya akan menikahi pemuda ini. Dia berpikir mungkin akan terlepas dari hidupnya yang susah. Pak Tani menyarankan untuk mengencani mereka satu-satu.
Dimulailah dari anak yang pertama. Pemuda itu mengajaknya jalan-jalan di sekitar desa itu. Selesainya dari jalan-jalan mereka pulang ke rumah pak tani. Disambutlah mereka oleh Pak Tani. Lalu pak tani bertanya, ‘bagaimana anak muda? Apakah dia sempurna?’. ‘Dia sempurna sih pak tapi dia memiliki satu kecacatan yaitu mata kirinya agak jereng’, jawab si Pemuda. Tak disangka oleh Pak Tani kecacatan sekecil itupun dia masih menyadarinya.
Lalu si Pemuda mulai berkencan dengan anak yang kedua. Setelah selesai berkencan akhirnya mereka pulang. ‘Bagaimana anakku yang satu ini? Bukankah dia sempurna?’ , tanya Pak Tani. ‘Dia memiliki kecacatan kecil sekali yaitu jempol kaki kanannya lebih besar dibanding kaki sebelah kirinya’ jawab si Pemuda. Sang Petani mulai geram dan gelisah. ‘Bagaimana jika si Pemuda tidak jadi menikah dengan salah satu anakku’, pikirnya. Tapi dia masih bersabar karena masih ada satu harapan lagi.
Akhirnya dimulailah kencan dengan anak yang ketiga. Setelah kencannya berakhir pulanglah mereka. Si Pemuda tampak bahagia dia telah menemukan perempuan yang sempurna. Si Pemuda berkata, ‘inilah yang saya cari, dia tidak memiliki kecacatan apapun.’
Lalu menikahlah si Pemuda dengan anak yang ketiga. Sembilan bulan kemudian saat istrinya melahirkan, si Pemuda sangat senang karena dia akan menyaksikan kelahiran anaknya yang pertama itu.
Ketika lahir betapa kecewanya si Pemuda melihat anaknya sangat jelek tidak seperti dirinya yang tampan. Lalu dia menemui Pak Tani dan bertanya, ‘Hei Pak, kenapa anakku jadi seperti ini? Saya tampan dan anak bapak juga cantik, lantas kenapa hasilnya jelek?’. Pak Tani menjawab, ‘wah gimana ya mas. Anak saya sebenarnya memiliki cacat kecil tapi tidak kelihatan yaitu waktu itu dia sudah hamil duluan.…”

Ananta Widya
X MIA 3
Bahagia
Bahagia. Banyak orang ingin memiliki hidup yang bahagia. Beberapa orang mengartikan bahagia itu memiliki uang yang banyak, ada yang mengartikan bahagia itu berarti memiliki rumah meskipun kecil, bahkan ada yang mengartikannya memiliki keluarga.
Alfred, seorang anak kecil yang ingin sekali merasakan apa itu bahagia. Ia hanya ingin tahu apa rasanya, memiliki orang yang mengasihinya. Sejak umur 6 tahun, ia telah hidup sendirian. Ia melarikan diri dari keluarganya karena kedua orang tuanya sering sekali bermabok-mabokan, dan akibatnya ia sering dimarahi, dipukuli, dan dicacimaki oleh mereka.
Setelah ia kabur, ia ditemukan oleh seorang pria bernama Argos. Awalnya Argos bersikap baik terhadap anak itu, ia bahkan menjajikan kehidupan yang layak. Padahal ia sendiri tidak tergolong orang yang berkecukupan. Pekerjaannya adalah memperdagangkan anak hilang yang umurnya sudah 7 tahun ke atas.
1 tahun Alfred hidup bersama Argos, Alfred merasakan apa itu kebahagiaan, sampai suatu hari Argos menjualnya ke orang – orang yang memperkerjakan anak. Alfred dijual dengan harga yang cukup tinggi. Ia akhirnya bekerja sebagai kuli. Karena ia masih berumur 7 tahun, ia tidak terlalu mengerti cara dunia bekerja. Bahkan, ia sering dicurangi oleh orang – orang. Ia mendapat gaji lebih sedikit, padahal dia bekerja lebih giat dari orang – orang disekitarnya.
Saat malam, ia tidur di depan toko – toko, karena uang yang ia miliki hanya cukup untuk membelikannya makan. Hari demi hari ia lalui dengan bekerja keras, sampai akhirnya ia tahu bahwa ia dicurangi oleh orang yang memberikannya uang. Alfred pun protes, karena orang tersebut tidak suka, ia memukulinya sampai darah berlumuran di mukanya. Alfred tidak bisa menggerakan badannya. Saat ia hampir pingsan, ia mendengar suara seorang laki – laki yang mencoba membangunkannya. Alfred merasakan badannya diangkat dan ditaruh di sebuah mobil.
Ternyata Alfred diselamatkan oleh Seorang Pegawai Sipil yang kaya raya, dan ingin sekali memiliki anak. Ia bernama Sapto. Saat Alfred bangun, Sapto mengatakan bahwa ia ingin mengadopsinya. Alfred pun setuju. Sekarang Alfred mendapat pendidikan dan kehidupan yang layak. Dan akhirnya, ia merasakan apa itu bahagia

Andre Nafis Kamil
X MIA III
Cerita Mistis
Namaku Rheza. Aku tinggal di Jakarta. Aku masih duduk di bangku SMA, kelas 11 tepatnya. Aku bersekolah di SMAN 68. Sudah satu setengah tahun aku mengalami hal yang berbau mistis disini, apalagi semenjak aku pindah ke kelas 11. Banyak yang bilang aku memiliki indra ke enam, tapi aku tidak pernah percaya dengan hal-hal seperti itu. Sampai suatu saat aku mengobrol dengan seseorang yang ku anggap normal dan tiba2 teman ku bertanya.
 “Lu gila ya?”
              “Yakali, gua sehat kaya gini juga.”
              “Trus dari tadi lu ngomong sendiri emang kaga gila itu namanya?”
              “Emang gua ngomong sendiri? Lu itumah yang gila.”
              Lalu teman ku memanggil beberapa orang yang tadi sedang bersamanya dan menanyai apakah aku tadi ngomong sendiri. Mereka semua berkata iya. Aku sedikit terkejut, pantas sejak kecil jika aku sedang berbicara dengan orang ibu suka tiba-tiba menarik ku dari sana.
              Mungkin orang lain akan menganggap ini kutukan tapi aku menganggap ini anugrah. Sebab ak tidak pernah takut lagi dengan yang namnya hantu karna sudah terbiasa melihat. Karna ini juga aku bisa mengerjai teman ku. Jika aku bilang di suatu tempat di sekolah ada hantu mereka pasti mempercayainya, padahal tidak ada apa-apa disana. Kecuali hal yang aku alami di SMA ku ini.
              Pas awal-awal masuk SMA aku sudah ada beberapa teman dari SMP. Jadi aku minta tolong bantu aku berkenalan dengan beberapa orang dan meyakinkan mereka kalau aku punya indra ke-enam. Setelah beberapa minggu aku berhasil mendapat banyak teman, aku dan teman lama ku juga sudah siap mengerjai mereka dengan bilang kalau di toilet sekolah itu angker. Ya karna itu mereka semua percaya, sampai-sampai setiap ada yang mau ke kamar mandi  mereka minta di temani sama temannya. Cerita ini pun viral ke berbagai kelas bahkan sampai ke kakak kelas. Aku merasa senang karna berhasil menjahili satu sekolah.
              Tapi siapa sangka salah seorang dari kelas 11 mengalami hal gaib. Awalnya ku kira ia hanya berhayal ternyata betul. Ketika aku pindah ke lantai 3 aku mendapat kelas dekat kamar mandi. Setiap hari kelas ku selalu terasa gaduh walau saat itu aku hanya ber-6.
              Setelah sebulan disana aku merasa makin aneh karna kerap kali ada orang yang tidak berseragam mondar mandir ke kamar mandi. Dalam hati aku berikir “itu orang ngapain coba dari tadi, anak mana lagi.” Aku menceritakan ini ke guru BK ku. Aku minta agar sedikit diselidiki karna ada beberapa orang yang mengalami hal serupa di kelas ku. Pada saat itu aku sempat berpikir apa candaan ku ini ternyata memang benar. Aku langsung menggelengkan kepala dan mengalihkan pikiran ke hal lain.
              Guru bk ku melaporkan balik tentang pengalamanku, katanya tidak ada orang yang mondar mandir saat itu kalau melalui rekaman cctv. Tubuhku langsung terpaku diam karna menyimpulkan bahwa di sekitar kamar mandi itu memang anker. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengecek sendiri. Disitu lampunya remang dan sedikit penahayaan dari luar. Suasanya saja sudah bikin merinding aplagi pas tau ternyata disitu memang sering ada gentayangan. Pengalam yang paling sering adalah dari cleaning service yang kerap kali mendengar tagisan perempuan, padahal itu toilet laki-laki. Aku menanyai beberapa dari mereka. Pengalamannya berbesa-beda mulai dari lampu yang sering mati sendiri, pintu yang digedor, dan suara tangisan.
              Seram memang tapi aneh, karna kalau saya kesana tidak pernah ada hal2 semacam itu, hanya suasananya saja yang suram. Karna aku ingin tahu lebih dalam jadi aku diam-diam mengajak ustad dekat rumah ku. Aku membawanya ke sekolah dengan pura-pura kalau dia ayahku. Kami mengecek ke kamar mandi itu, dan benar kata ustad ku itu. Tapi hanya ada satu pesan darinya,”Jangan menceritakan kalau disini anker ke siapa pun lagi. Bilang ke teman mu semua cerita mistis itu hanya candaan dan dibuat-buat. Ini semua untuk mencegah anak-anak yang akan sering diganggu oleh hantunya.” Jadi ku turutilah semua perkataannya. Walau sudah kuturuti masih saja ada yang diganggu dan selalu ku sangkan cerita mereka dengan berkata ,”ngayal itu lu mah.” Ya ini semua demi kenyamanan dan agar tidak menurunkan mental teman-teman ku.

Andrea
X MIA 3
APA YANG SALAH
malam itu,seorang perempuan bernama nuansa duduk di bangku panjang yang ada di taman tengah kompleks rumahan yang sepi. ditemani oleh secangkir kopi instan yang biasa ia minum dan suara kendaraan yang masih berlalu lalang di depan kompleksnya. oh ya jangan dilupakan juga 'krik krik krik' nya suara jangkrik disaat malam yang membuat bulu kuduk berdiri.

nuansa yang saat itu menggunakan piyama tidurnya yang berwarna biru menengadahkan kepalanya, ia bingung memikirkan apa kesalahan yang terdapat dalam perkataannya tadi siang di sekolah. ia kan hanya memberikan menegur. tidak ada niat untuk menjelekkan. tidak ada niat untuk menyakiti.

sampai saat pulang sekolah siang tadi,nuansa di panggil oleh kepala sekolah. awalnya hanya perkenalan,lama lama di ceramahkan. lho nuansa pikir apa salah dirinya, wong yang salah caraka di sekolahnya. asal membuang tempat bekalnya. jelas, geramlah nuansa dibuatnya.

nuansa langsung memaki-maki caraka sekolahnya. dengan kata-kata mencela. sampai satu kalimat itu keluar dari mulutnya. 'memangnya bapak tau harga kotak bekal ini berapa ? mana mungkin bapak bisa tau, wong ini di belikan ibu saya di amerika'.

nuansa tersadar. kalimat itu yang membuatnya seperti ini. mulutnya yang membuat ia menjadi begini. di ceramahi oleh kepala sekolah siang tadi. di berikan poin dan di skors tiga hari.

jam satu dini hari. nuansa sadar ia masih berada di taman kompleks rumahnya tadi. memikirkan kejadian yang mengusik hati. ia tekadkan pada hati. selesai skors aku akan meminta maaf pada caraka tadi.

Ariobimo Daffa Widosetyo
X MIA III
Baru
Jenjang SMP sudah kulalui. Tidak terasa, memang, tapi mau diapain lagi, toh udah lewat. Mending ikutin kata iklan “Menatap masa depan”.
Singkat cerita, saatnya MPLS. Dua hari sebelum MPLS, semua “calon peserta didik” SMAN 68 datang untuk mengikuti pembagian kelas & diberi “pengetahuan” tentang MPLS.
MPLS berjalan dengan lancar. Berbagai macam hal yang perlu diketahui tentang sekolah kami sudah diberi tahu (padahal nggak semuanya+nggak selalu didengerin) :)
Gue udah mulai terbiasa dengan lingkungan sekolah baru. Jujur, SMA jauh lebih ribet dibandingkan dengan SMP. Tugas lebih banyak, pelajaran makin berat, pulang makin malem, dll (Yawdalaya, ikutin aja).
Akan tetapi, masa SMA merupakan masa yang menarik. Kita belajar berbagai macam pengalaman berharga di masa SMA. Masa depan kita pun dapat ditentukan melalui SMA. Entah kita akan melanjutkan kuliah ataupun langsung bekerja, semua pilihan tersebut pasti akan ditentukan dalam masa SMA. #bijak
Jadi, masa awal SMA merupakan masa yang sangat penting. Kita menentukan bagaimana diri kita ke depannya dalam masa-masa awal ini. Buanglah jauh-jauh pikiran “ah baru masuk SMA, nyantai æ dulu”. masih #bijak

Arnetta
X MIA 3
Seorang Bocah
Saya berdiri di halte yang sama setiap hari. Menunggu bus yang sama dengan tujuan yang sama. Cuaca yang sama, atmosfer yang sama, juga sekumpulan orang yang sama. Saya sampai hafal bapak-bapak kantoran berkumis itu naik bus yang sama dengan saya pada hari Senin, Selasa, dan Kamis. Atau seorang wanita muda yang naik pada hari Rabu dan Jumat.
              Saya menoleh ke kiri. Bocah laki-laki itu selalu ada di halte ini tiap kali saya menunggu bus—yang artinya tiap hari. Badannya selalu ia sandarkan pada tiang penyangga halte. Wajahnya murung, seolah tak pernah ada kebahagiaan dalam dunianya. Kaus oblong abu-abu kusam yang sama. Celana hitam kelonggaran yang sama.
              Saya perhatikan dia dari kepala hingga kaki. Anak laki-laki itu saya duga berusia sekitar dua belas tahun. Awalnya saya tidak terganggu dengan keberadaan bocah itu di halte. Namun, lama-kelamaan saya agak risi. Orang lain di halte tampaknya tidak peduli akan kehadiran bocah itu. Mereka bahkan menganggapnya tak ada. Padahal anak itu selalu di sana berminggu-minggu setelah saya pertama kali melihatnya. Sejengkal pun tak ada yang berubah. Pakaiannya, tatapan sendunya, segalanya. Saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu.
              Sekarang bocah itu berganti posisi, tetapi tatapan sendu itu sudah jadi ciri khas dirinya. Kini ia tidak lagi bersandar pada tiang penyangga, tubuhnya ia tegakkan, tetapi nantinya bungkuk lagi. Ia tak pernah menunjukkan gestur itu sebelumnya. Mungkin karena bus saya keburu datang sebelum ia ganti posisi.
              Tak lama kemudian, bus saya datang dan mata saya teralihkan dari bocah itu.
Esoknya, tekad saya sudah bulat akan menghampiri bocah itu, berbasa-basi, bertanya, dan sebagainya. Namun setibanya saya di halte, bocak laki-laki itu tidak terlihat batang hidungnya. Saya tunggu hingga kira-kira lima belas menit lamanya, tetapi anak itu tak kunjung datang. Saya putuskan untuk bertanya pada seorang lelaki tua yang tiba lebih dulu—tampaknya ia juga sering ke sini. Hari ini kota dibasuh hujan yang cukup deras, tak ada orang di halte selain kami berdua.
              Setelah saya tanya, lelaki tua itu hanya menatap saya kebingungan. Saya sendiri jadi ikutan bingung. Saya jelaskan lagi maksud saya, namun jawaban yang saya dapat membuat saya terkejut.
              “Setiap hari saya ke halte ini, namun tak pernah saya lihat seorang bocah laki-laki seperti pada deskripsi Anda.”
              Jadi, siapakah sebenarnya bocah laki-laki itu?[]

Astrid Mutiara
X MIA 3

Serbuk Hitam
      Kematian tragis Robert menimbulkan teka-teki rumit.Mulai dari pengakuan salah seorang saksi,belati tajam yang dibenamkan tepat pada jantung,sampai postur tubuh terlentang macam bintang laut.Disekitaran area pembunuhan terdapat lingkaran hitam pekat lebih seperti pusat kematian.Tidak berhenti disitu,ketika jasad Robert diangkut,punggung putih Robert menunjukan ukiran hasil sayatan pisau sehingga daging lelaki paruh baya itu menyembul keluar.
Woodward bergumam,membaca sayatan karya sang pembunuh,”On Dracula Cloe  9,10,19,29,48,77.”
Ia meneliti,mengamati,dan mengingat,Konspirasi apa ini?
“Mr.Woodward saya rasa si pembunuh sedang bermain-main.”bisik Leonardo,pria yang mengaku mendengar teriakan histeris Robert sebelum pria itu meregang nyawa dengan bentuk mengerikan.
“Ada baiknya kau mengurus Robert dan saya akan mencari penemuan baru dimana nantinya dapat dijadikan barang bukti.”Saran Woodward terdengar mengusir Leonardo,dia butuh ketenangan tanpa ada yang mengusik juga mengulik.
Leonardo menghembuskan nafas berat,”Baik jika itu yang kau butuhkan.”
Setelah dua jam berlalu,kini Woodward sudah bisa bernafas lega sebab tidak ada lagi gangguan yang membuatnya gagal fokus.Pemuda itu berjongkok dengan salah satu kaki dikedapankan sedangkan yang satu menjadi penopang tubuh,tangan berpengalaman mulai menyapukan sisir halus guna mencari sidik jari tersangka,tapi rupanya yang diduga terlalu pintar menyembunyikan bukti,sehingga bisa disebut sebagai  pembunuhan mendekati sempurna.Woodward berdiri,memasukan tangannya kedalam saku,pasti satu rahasia besar terjadi di sini.Sedari awal,suasana mencekam sangat memeluk tubuh Woodward erat dengan cahaya minim remang-remang menambah keingintahuan perihal latar belakang kasus Robert.Woodward menatap keluar jendela apartment Robert,bola matanya mendadak tertuju pada satu titik hampir dua menit,pemuda itu membenarkan letak kaca mata berlensa hitam yang sedari tadi bertengger di hidung runcing Woodward.
“On Dracula Cloe  9,10,19,29,48,77.”lirih Woodward untuk kali kedua lalu menyunggingkan senyum miring pertanda dia sudah menemukan jawabannya.
Ruangan khusus bernuansa abu-abu hitam,dengan artefak bebatuan bertebaran terukir di atas marmer bergurat hitam.Permadani hitam panjang menyambut tamu bagaikan ratu dunia dongeng.Sejak satu jam lalu,ruangan khusus detective Woodward berubah bising dengan suara bariton Leonardo.Lelaki itu menjelaskan kesaksian dihadapan wajah dingin Woodward,Leonardo tidak henti-hentinya menceritakan kronologi secara runtun dan detail.Terdengar seperti melihat langsung detik-detik kematian Robert.
“Saya mempunyai firasat buruk jika saudara saya sendiri yang menancapkan belati itu,hanya dia yang punya kesadisan tingkat atas ditambah lagi apartmennya bersebelahan dengan tempat kejadian perkara.”Ucap Leonardo menyudutkan Paul,kakak angkat tertua dari Leonardo.
“Bagaimana bisa kau menuduh saudaramu sendiri sementara dirimu tidak paham apa yang sebenarnya terjadi?”Woodward mulai angkat bicara setelah menahan selama lebih dari satu jam.
“Aku hanya berpendapat tidak menuduh,memangnya salah berkata demikian,kau kan tau hal mustahil bisa saja terjadi“
“Ya memang hal mustahil memungkinkan terjadi seperti---“
Rahang Woodward mengeras menahan amarah.”KAU SENDIRI PEMBUNUH ROBERT!!”potong Woodward cepat  ,dirinya letih berbasa basi busuk.Diwaktu bersamaan polisi yang sebelumnya bersembunyi dibalik lemari kayu besar  segera membekuk Leonardo.
“Saya benar-benar tidak mengerti,mustahil saya melakukan hal bejat demikian!”Elak Leonardo dengan kedua tangan diborgol kebelakang.
“Kau kira aku ini bodoh!kau menggunakan prinsip dasar Davinci Code.Berawal dari nama On Dracula Cloe kalimat itu bersumber dari nama asli kau tetapi hurufnya diacak.Dan perihal  9,10,19,29,48,77 mereka adalah  angka Fibonacci dimana angka bisa didapatkan dari hasil tambah dua angka sebelumnya seperti 19 hasil tambah sepuluh dan sembilan.”
Leonardo berniat menyemburkan kalimat kebohongan lainnya tetapi Woodward menepisnya secepat mungkin
”Satu bukti lainnya yaitu teropong seratus meter  di apartment mu yang mengarah pada kamar Robert, dengan teropong itulah kau bisa dengan mudah  mengamati gerak-gerik Robert meski seratus meter pun jaraknya.Cara itu semakin mahir bagimu sebab kaca  jendela Robert berwarna transparan  membuat rencana mu mulus juga sempurna.Jika menurutmu itulah waktu yang cocok membunuh Robert maka Tadaaa,semua terjadi.”Tambah Woodward sangat akurat membuat Leonardo bertambah pucat dan berkeringat
 “Tidak mungkin kau tau semua itu!!aku tidak bersalah,semuanya perbuatan Paul!IDia telah merebut Ashley pacarku,dia merebutnya dengan rasa tidak bersalah!!!salahkan dia !!Anda menangkap orang yang salah Woodward!!”Leonardo berkicau layaknya orang mabuk.Namun polisi bertugas tetap menggiring Leonardo menuju jeruji besi.Teriakan-teriakan masih terdengar sepanjang lorong panjang.”Woodward lihat kau akan kubuat kau menderita!!”Woodward tersenyum singkat mendengar makian Leonardo tiada henti,ia terlalu lelah untuk membahasnya.Lelaki itu menghempaskan tubuhnya di kursi lalu meraih notes kecil dan menuliskan angka ke-101 sebagai pelajaran baru ‘Jangan bermain serbuk hitam di dalam lingkaran putih.’


Atikah Syahidah
X MIA 3

Telat Berujung Fatality

              “Ehh besok tag-in gw tempat ya, kalo bisa kedua di depan,” Kata Andrea. “Iyadah serahlu nanti gw tag in tempatnya,” Jawab Raisa. “Woii dateng pagi elahh , nanti lo dapet poin lohh..” Ujar Atikah. Andrea menghiraukan perkataan Atikah dan pergi begitu saja.
              Andrea akhirnya sampai di rumah. Andrea langsung makan, mandi dan bermain handphone beberapa menit. Setelah itu, Andrea langsung mengerjakan pr. Pr yang dikerjakannya adalah pr ekonomi tentang teori ekonomi. Memang pr nya banyak. Tetapi Andrea mengerjakannya sepenuh hati. Andrea memanglah siswa teladan, dan ya dia ingin sekali masuk UI melalui jalur PPKB UI. Andrea belajar hingga larut malam. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Andrea pun tertidur. Di pagi harinya Andrea menonton tv dulu sebentar karena ia membutuhkan hiburan sehabis malam yang panjang. Ternyata dia malah ke asyikan menonton siaran ulang Game of Thrones. Andrea kalau sudah menonton acara tv nya memang suka ketagihan. Walaupun dia bangun jam 3 pagi. Tetap saja dia telat sekolah karena ia bersantai2 nya terlalu lama.
              Rumahnya bukan di Bekasi melainkan Cempaka Putih. Tidak terlalu jauh. Dia sering sekali meremehkan. Sudah pukul 6 pagi , Andrea baru berangkat. Andrea terjebak macet karena memang ada proyek di jalanan juga Andrea berangkat dengan mobil jadi tidak bisa menyalip. Andrea sudah sampai di Sekolah. Seprti biasa dia telat. Telat 3 menit doang sih. Tapi tetap saja di hitung poin pelanggaran.
              “Eh kamu, lagi-lagi kamu, udah berapa poin kamu? pasti banyak ya.” Ujar seorang guru. “Banyak apanya pak!” Sangkal Andrea. “Andrea lihat poin kamu ini udah 75 , kamu memang siswa baik tapi kamu selalu telat, tidak disiplin, kamu tidak akan ikut PPKB UI!!!”.
              Andrea kecewa, sangat kecewa juga kesal. “AHHH SAYA MASUK PTN MANA DONG PAK!” Kata Andrea.
              “Woi bangun woi nanti gw juga ikut telat.” Kata Kak Sekar. “Woii bangun lo ngingonya kelamaan”.

Bonanza Haggai Rosairo
X MIA III

Pahlawan Dadakan
Bonanza Sitorus adalah seorang remaja siswa sekolah menengah atas yang biasa saja. Yap, ‘biasa saja’, nilainya biasa aja, badannya biasa aja, mukanya juga biasa-biasa aja. Pokoknya, Bonanza adalah seorang remaja yang menjalani kehidupan ya yang biasa-biasa aja. Dibalik kehidupan yang biasa-biasa aja itu, Bonanza ingin menjadi pahlawan atau orang yang bisa berguna bagi orang lain.
Sehabis pulang sekolah, Bonanza selalu jalan kaki menuju rumahnya melewati jalanan yang ditakuti banyak orang, karena gang itu terkenal sebagai sarang penyamun. Tapi, Bonanza biasa saja, lagipula dia belum pernah diganggu oleh preman, bahkan melihatpun belum pernah, toh itu rute jalan yang paling dekat dari sekolah ke rumahnya.

Pada suatu hari, Bonanza pulang sekolah lebih lama dari biasanya, yaitu jam 8 malam, Karena keasikan bermain bersama teman-temannya. Seperti biasa, Bonanza pulang melewati jalan yang ditakuti itu. Saat malam tiba, suasana di jalanan itu sangat lebih menyeramkan dari siang har, tetapi Bonanza biasa-biasa saja karena sudah sering melewati jalan tersebut. Saat di tengah perjalanan, Bonanza mendengar suara teriakan anak kecil.
Ternyata, setelah mendekati suara teriakan tersebut, ada sekawanan orang misterius yang sedang membawa paksa seorang anak kecil ke suatu rumah. Maka, Bonanza pun memberanikan diri untuk mengintip lewat jendela rumah itu. Anak kecil itu disekap dan diperlakukan tidak wajar oleh orang-orang misterius tersebut.

Karena tidak kuat melihat perbuatan tersebut, Bonanza berinisiatif untuk menelpon polisi. Telepon pun tersambung dan sempat menghubungi polisi. Karena sangat ketakutan dan terburu-buru, Bonanza tidak sengaja menjatuhkan hp miliknya, dan menimbulkan suara. Hal itu membuat penculik-penculik itu dapat menemukan Bonanza yang sedang bersembunyi. Lalu, Bonanza dengan cepat kabur dari kepungan penculik dan dapat melepaskan tali yang mengikat anak kecil tersebut. Bonanza dan anak kecil tersebut dapat kabur dari rumah itu, tetapi di tengah jalan yang sepi para penculik itu sudah menunggu mereka dan menodongkan pisau kea rah mereka. Bonanza sudah sangat ketakutan, tetapi dari kejauhan muncul suara sirine dan helicopter. Ternyata itu adalah polisi yang sempat Bonanza telpon. Karena kalah banyak dan kalah senjata, para penculik itupun menyerah dan melepaskan kita.

Akhirnya, anak kecil itupun dapat bebas dengan selamat, walau terdapat luka-luka kecil di tubuhnya. Anak kecil itu bernama Wati, Wati sangat berterimakasih kepada Bonanza karena menyelamatkan nyawanya. Polisipun segera menangkap para penculik itu dan berterimakasih atas keberanian Bonanza menyelamatkan anak kecil tersebut. Semenjak itu, Bonanza terkenal di sekolahnya, lebih pede untuk menjalani hidupnya, dan tidak menganggap bahwa kehidupannya adalah hal yang biasa-biasa aja.

Bryan Daud Setiawan
X MIA 3

Satu Tangkai Bunga bagi Sahabatku
Pagi hari yang cerah, Aku melihat awan berkerumun dan bergerak perlahan dan Aku menginjakkan langkah pertamaku dari rumah ke sekolah. Burung burung menyambut pagi hariku sehingga aku pun menjadi bersemangat dan riang gembira selama perjalanan ke sekolah. Seperti hari hari yang lalu, Aku selalu mengunjungi rumah sahabatku yang hanya sejengkal dari rumahku untuk mengajaknya berangkat bersama. Sahabatku itu adalah Darius. Oleh karena kami berangkat bersama, perjalanan ke sekolah pun tidak pernah kami rasakan.
Hari demi hari, bulan demi bulan, kami lewati bersama hingga kami menginjakkan kaki di SMA. Pada saat di SMA Aku merasakan hal yang luar biasa yang kami lalui bersama karena kami berdua terpilih sebagai orang yang memenangkan OSN tingkat nasional. Aku dan Darius pun membangun kebiasaan menghabiskan waktu bersama untuk belajar dan membaca buku yang berbau sains.
Ketika semua berjalan dengan lancar, Aku merasakan sesuatu yang berbeda dari sahabatku. Dia mulai merahasiakan sesuatu dariku. Namun, hal tersebut tidak aku risaukan karena Aku berpikir semua orang memiliki masalah pribadi yang tidak baik bagi orang lain untuk ikut campur kedalamnya. Jadi aku berpikir untuk tidak menanyakannya kepada Darius.
Kemudian beberapa bulan kemudian, Aku merasakan ada hal yang tidak benar menimpa sahabatku karena kerap ia mimisan, pusing, muntah muntah, demam. Hingga pada suatu saat Aku mendengar dari orang tua darius, kalau Darius dirawat di rumah sakit. Sepulang dari sekolah, Aku bergegas pergi menghampiri temanku yang sudah lemah di ruang ICU.  Dokter mengatakan bahwa darius terkena sakit kanker otak. Aku pun kaget mendengar kabar dari dokter tersebut.
Aku sangat tidak menyangka bahwa temanku terkena penyakit yang parah seperti itu. Dokter mengatakan penyakitnya sudah mencapai stadium 3 dan Aku pun sangat sedih jika kehilangan sahabatku yang sangat Aku sayangi. Aku pun bergegas pulang dari rumah sakit dan memberitahu orang tuaku bahwa Darius terkena penyakit kanker otak. Kami sekeluarga langsung berdoa bagi Darius dan orangtuanya.
Keesokan harinya, Aku diingatkan oleh guru pelatih OSNku bahwa lomba akan dilaksanakan minggu depan maka Aku harus belajar dan memenangkan OSN tersebut. Ketika itu, Aku bertekad untuk memenangkan lomba OSN tersebut dan membawakan medali emas kemenanganku kepada Darius. Aku pun belajar pagi dan malam dengan giat agar memenangkan OSN tersebut.
Hingga pada satu hari sebelum OSN, Aku mengunjungi sahabatku Darius, ia sudah terbaring lemah dengan rambut dan alis yang botak akibat penyakit yang dideritanya. Aku pun menangis disampingnya dan mendoakannya agar cepat sembuh. Aku pun berbisik kepadanya sebelum meninggalkan rumah sakit, bahwa Aku akan memenangkan OSN dan membawa medali kemenanganku kepadanya.
Ketika keesokan harinya, Aku mengikuti lomba OSN dan Aku menjawab semua soal dengan tekun dan penuh harapan demi kemenangan untuk sahabatku. Aku pun tak kuat menahan tangis ketika mengerjakan soal karena mengingat nasib sahabatku di rumah sakit. Pada saat lomba selesai, Aku pun berdoa agar hasil yang Aku kerjakan dapat membuahkan kemenangan bagi sahabatku. Ketika lomba diumumkan, semua jerih payah dan usahaku terbayarkan sudah karena Aku memenangkan OSN tersebut dan meraih medali emas. Pada saat Aku mengucapkan hal hal yang dirasakan ketika menjadi pemenang, Aku hanya menangis dan dapat berkata bahwa kemenangan ini hanya Aku tunjukan kepada sahabatku yang terbaring lemah di rumah sakit.
Ketika Aku pulang, orang tuaku langsung mengantarkanku ke rumah sakit. Ketika Aku sampai di rumah sakit, Aku melihat sahabatku yang Aku sayangi sudah terbaring kaku di kamar mayat. Aku pun menangis dan bersedih. Aku pun langsung mengalunginya medali kemenanganku dan Aku langsung pergi membeli bunga. Namun, ketika Aku kembali ia sudah tidak boleh disentuh kembali. Aku pun sangat sedih dan hanya dapat memberi bunga diatas batu nisan tempat terakhirnya.
  
Debora Karyoko
X MIA 3
Detik – Detik Berharga

              Dua orang saudara perempuan yang sedang tertawa bersama itu mengalihkan pandangan Megan. Suara candaan itu mengiang di benak Megan. Entah mengapa hati Megan menjadi sakit. Ia teringat saat mereka tertawa bersama, ia merindukan waktu luang bersama kakaknya.
              Ya, Aurel, kakak Megan itu memang sibuk sekali. Kesehariannya sebagai artis terkadang membuat Megan gusar. Sering kali orangtuanya membanding-bandingkannya dengan Aurel yang sudah memiliki profesi saat ia duduk di bangku SMA. Selain itu, nilai Aurel juga tidak bisa disebut buruk. Aurel sering kali menjuarai kompetesi, baik di bidang akademik maupun di bidang non akademik. Banyak orang yang berkata bahwa Aurel adalah seorang yang multitalenta, tetapi Megan tidak menyetujui hal tersebut. Ia membenci pernyataan itu.
              Aurel menjadi artis mulai ketika ia kelas 1 SMA dan mulai pada saat itulah hubungan Megan dengan Aurel merenggang. Mereka hanya dua bersaudara, sehingga hubungan mereka dahulu sangatlah dekat. Berbeda dengan sekarang, berbicara dengan kakaknya saja sudah termasuk salah satu keajaiban. Ketika Megan bangun tidur, Aurel sudah meninggalkan rumah. Juga ketika Megan ingin tidur malam, Aurel belum juga pulang ke rumah. Megan tau bahwa kakaknya memang sibuk, tapi apakah ia tidak memikirkan Megan sama sekali? Kejengkelan Megan sudah mencapai puncaknya. Ia berjalan ke sekolah dengan menghentakan kakinya tanpa sengaja. Bahkan memikirkan kakaknya saja sudah membuat dirinya kesal seperti itu.
Tidak terasa, ia sudah sampai ke tempat yang ia tuju. Papan besar yang bertulisan “SMP Merdeka Jaya” itu terpampang jelas di hadapannya. Megan menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia menghembuskannya. Megan berjalan ke arah kelasnya, kelas IX-B. Saat ia membuka pintu kelas, seluruh teman-temannya yang berada di dalam kelas menatap ke arahnya. Tidak lama setelah itu, mereka membuang muka seolah tak melihat Megan di sana. Megan tidak memperdulikannya, ia sudah terbiasa.
Megan menaruh tas birunya itu ke atas meja, kemudian ia mengeluarkan novel yang ia bawa dari rumah. Ia membolak-balikan lembaran kertas itu. Beberapa saat kemudian, bel tanda masuk berbunyi dengan nyaring. Megan menghembuskan nafas pelan, saatnya untuk belajar.
Selama pelajaran, Megan tidak fokus mendengarkan Bu Meri yang sedang menerangkan rumus lingkaran di depan kelasnya. Jujur saja, ia sebenarnya tidak terlalu mengerti apa yang Bu Meri ajarkan.
BRAKKK….
Pintu kelas terbuka lebar, seluruh siswa mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Di sana ada wali kelas mereka, Pak Robin. Pak Robin datang dengan nafas terengah-engah, seperti habis berlari jauh.
“Megan,” panggilan Pak Robin itu membuat teman-temannya melihat ke arahnya sekarang. “Ayo, ikut saya!”
Jantung Megan berdetak dengan cepat. Berbagai macam pertanyaan bermunculan di benaknya. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk yang terus menghantui dirinya.
***
              Selang-selang yang tersambung ke tubuh Aurel membuat nafas Megan memberat. Aurel melihat Megan memasuki kamarnya, ia tersenyum untuk menyambut adiknya itu.
              “Hai,” sambut Aurel dengan lemah. Megan berjalan mendekati kasur Aurel. “Mama lagi keluar sebentar, mau beli makan, mungkin sebentar lagi balik.”
              “Hai,” Megan hanya bisa tersenyum miris. Ya, bahkan ia tidak sadar kalau sekarang Megan sudah kelas 3 SMP, ia tidak sadar kalau model rambut Megan sudah tidak berbentuk bob pendek lagi, dan juga ia tidak sadar kalau ini pertama kalinya mereka berbicara setelah dua tahun. “Gimana, kak? Udah mendingan belom?”
              Aurel mengangguk. “Udah. Ga parah kok sebenernya.”
              “Ga parah?” ucapan Megan meninggi. “Apanya yang ga parah, kak? Aku hampir kena serangan jantung nih pas denger kakak masuk rumah sakit!”
              Aurel tertawa kecil. “Serius, engga parah kok! Buktinya masih sadar nih!”
              Megan hanya bisa tertawa mendengar jawaban dari kakaknya itu. Sepanjang hari itu, mereka menghabiskan waktu untuk bercanda bersama. Saat-saat tersebut merupakan waktu yang berharga bagi Megan.
              Waktu berjalan dengan cepat, tidak terasa sudah satu minggu Aurel dirawat di rumah sakit. Hari-hari di dalam rumah sakit terasa membosankan bagi Aurel, sehingga Aurel bersikeras untuk keluar dari rumah sakit sesegera mungkin. Ia juga ingin melanjutkan karirnya sebagai artis, para fansnya sudah menunggunya untuk kembali.
              “Kak, kakak serius mau pulang sekarang? Kondisi kakak belom pulih banget kak,” kata Megan dengan cemas.
              Aurel mengangguk yakin. “Iya, lagian sakit kakak engga parah-parah banget kok.”
              “Ma,” Megan menoleh ke arah mamanya itu. “Emang kakak udah boleh pulang?”
              “Sebenernya mama juga engga setuju, Meg. Kakak kamu ini udah pengen pulang, engga betah katanya,” jawab mama pasrah. “Ya udahlah.”
              Aurel mengambil tasnya dan mereka pun segera keluar dari ruangan itu. Mereka bertiga berjalan menyelusuri koridor rumah sakit.
              “Kak,” panggil Megan.
              “Hmm?”
              “Kakak seriusan udah mau balik nih?” tanya Megan sekali lagi. Setelah beberapa detik, tidak ada jawaban yang terdengar dari belakang Megan. Megan menoleh ke belakang.
              BRRUKKKK…
              Penglihatan pertama yang Megan lihat yaitu Aurel yang tersungkur lemas di lantai koridor. Megan berteriak dengan panik. Mamanya juga segera berlari untuk memanggil dokter.
***
Dua hari kemudian, Megan baru sempat mengunjungi kakaknya yang sedang terbaring di rumah sakit itu. Sama seperti sebelumnya, Megan menatap Aurel yang tersambung oleh kabel-kabel itu lagi, yang berbeda hanya sekarang ia tidak membuka matanya. Bunyi alat-alat medis mengisi kesunyian di ruangan itu. Suara jantungnya yang berdetak lebih cepat itu seakan terdengar jelas di telinganya.
              “Kak,” panggil Megan.
              Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Aurel. Aurel hanya bisa menjawab dengan hembusan nafas teratur.
              “Kak, maafin Megan,” ucapnya dengan lemah. “Selama ini Megan cuma bisa ngeliat diri sendiri, Megan engga bisa ngeliat dari sisi kakak. Kakak udah banyak banget bantu keluarga ini. Bantu ngebiayain keuangan keluarga, semenjak papa engga ada. Kerja sampe engga merhatiin kesehatan diri sendiri, belajar sampe pagi-pagi banget.”
              Megan mulai berjalan mendekati kasur Aurel, kemudian ia duduk di kursi sebelah kasur itu. “Mungkin selama ini aku kesel sama kakak, aku ga suka kakak jadi artis, aku ga suka liat kakak sibuk, aku ga suka sendiri, karena aku butuh sosok kakak yang dulu lagi. Aku ga bisa temenan karena aku takut suatu saat temen-temen aku itu bakal menjauh, sama kayak kakak, kayak… papa. Aku tau ini egois, tapi sekarang aku udah ngerti. Suatu saat orang pasti akan menjauh, pasti akan pergi juga, tapi bakal ada orang-orang yang berusaha selagi dia bisa buat terus ada di deket orang yang penting di hidup dia.”
              Megan menarik nafas panjang-panjang. “Aku akan berusaha buat berada di samping kakak dan mama selama yang aku bisa, juga aku bakal nyari temen. Aku bakal nyoba buat bantu keluarga kita juga, kak. Aku bakal ngertiin jadwal kakak yang padat banget, tapi tolong bangun, kak.”
              Megan mengusap matanya yang sudah mulai berair itu. AH! Megan seperti melihat tangan Aurel bergerak sedikit. Ia mencoba untuk memperhatikan Aurel lagi. Benar! Jari-jari tangan Aurel bergerak sedikit. “Kak? Kakak sudah bangun?”
              Aurel mulai membuka kedua matanya perlahan. Tetesan air mata mengalir dari mata Aurel. Senyum samar itu melekat di benak Megan. “Maafin kakak juga,” kata Aurel nyaris tidak terdengar oleh Megan. Megan mengerti ucapan kakaknya itu, senyum Megan mengembang.
              “Dokter! Dokter!” seru Megan senang.
Ia sudah berjanji dalam hatinya dan ia tidak akan pernah mengingkari janjinya itu. Ya, tidak akan pernah.

Diva Marchandra
X MIA 3
HAL TAK DIINGINKAN
              Sepekan yang lalu, tepatnya di hari Sabtu, kejadian buruk baru saja menimpaku. Sebuah ponsel dan dompet milikku hilang. Sebenarnya aku tidak merasakan pasti bagaimana barang berhargaku itu hilang, tapi aku punya dugaan yang cukup ku yakini benar.
              Kejadian ini bermula dari pagi dimana aku harus berangkat ke sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang aku pilih. Aku memasukkan semua barang yang aku butuhkan ke dalam tas tanganku dan memastikan tidak ada yang tertinggal.
              Handphone? Sudah.
              Dompet?Sudah.
              Buku Tulis?Sudah.
              Alat tulis?Sudah.
              Mukena?Sudah.
              Setelah merasa barang bawaanku lengkap, aku langsung membawa tas itu, dan menggantungkannya di pundakku. Hari itu aku tidak berpamitan dengan ibu karena aku takut terlambat. Toh ibu tahu kok bahwa hari ini adalah jadwalku ekskul. Jadi, buat apa aku izin lagi?
              Bus kopaja, alat transportasi yang kugunakan setiap hari ini entah kenapa sangat padat sekarang ini. Aku tidak kebagian tempat duduk sehingga aku harus berdiri dan berpegangan pada sandaran kursi di sebelahku.
              “Dek, mau turun di mana nanti?” Tanya seorang bapak-bapak yang ku tebak berusia tiga puluhan yang berdiri tepat di depanku. Aku tidak curiga sama sekali, dan menganggap bahwa dia hanya orang ramah yang ingin bersosialisasi.
              “Oh, di Jatinegara pak” jawabku sambil tersenyum
              Aku merasa seseorang di belakangku terus bergeser mendesakku ke kursi bagian kanan di mana ada seorang pemuda duduk di situ. Tapi lagi, aku tidak peduli dan menganggap itu hanya ketidak sengajaan.
              “Mau sekolah ya?” Tanya bapak tadi lagi yang hanya ku jawab dengan anggukan.
              “Padahal hari Sabtu lho dek?”
              “Iya pak ekskul”
              Aneh, aku merasa orang di belakangku ini terus-terusan mendesakku padahal ia sama sekali tidak kesempitan, masih ada ruang untuknya berdiri dengan nyaman walaupun kondisi bus penuh. Merasa terganggu, aku bergeser maju untuk menjauh. Tak lama, bapak-bapak yang tadi mengajakku ngobrol, orang di belakangku, dan pemuda yang tadi duduk di bagian kananku turun bersamaan di daerah Matraman. Aneh, pikirku.
              Sampai persis di depan sekolahku, aku pun turun setelah memberikan dua lembar uang dua ribuan kepada kenek bus. Masuk ke gerbang sekolah, aku hendak mengecek grup ekskulku di LINE untuk mengetahui tempat latihan hari itu. ketika aku merogoh tasku, benda yang ku cari itu tidak ada di sana. Dengan kondisi setengah panik aku merogoh saku celanaku dan hasilnya nihil.
              Aku duduk di depan pos sekolahku dan perlahan-lahan mengeluarkan seluruh isi tasku. Dan ada dua hal yang aku sadari setelah berulang-ulang mengecek isi tasku. Pertama, ponselku tidak ada di sana. Dan kedua, dompetku juga tidak ada di sana. Aku mengingat kembali apakah aku sudah memasukkan ponsel dan dompetku ke dalam tas pagi tadi. Dan aku ingat betul aku sudah memasukkannya
Seketika aku panik dan menyadari tentang kejadian aneh yang tadi ku alami di bus. Aku yakin bahwa mereka ada hubungannya dengan hilangnya dua barang berhargaku ini. Selain kehilangan ponsel, aku juga kehilangan seluruh isi dompetku. Mulai dari katu pelajarku, kartu ATM-ku, dan seluruh uang tunai yang ada di sana. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengikhlaskan dan menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran untukku ke depannya.

Diwyastra Kalyanadipta
X MIA 3
Bocah Penjual Korek Api
Malam itu, langit sangatlah gelap, cahaya bulan tertutup oleh pekatnya awan hujan yang tak kunjung-kunjungnya berhenti. Aku berdiri di pojok jalan menunggu dan mencoba menghangatkan diri di malam yang dinginnya begitu menusuk tulang.
              Aku berumur 8 tahun, aku adalah seorang anak penjual korek api, setiap pagi aku diberi dua kantong plastik untuk dijual dan apabila kurang dari tiga perempatnya terjual aku tak akan bisa membeli makan untuk hari itu. Orang tuaku meninggalkanku saat aku baru 3 tahun aku tidak tau harus apa jadi dari umurku baru  4 tahun aku hanya tau cara menjual korek api.
               Tiba-tiba di saat aku hampir terpingsan karena dinginnya malam, sebuah mobil berhenti di depanku, seorang pria turun dan menggendongku masuk ke mobil. Karena sudah tidak kuat lagi akhirnya akupun tertiur.
              Aku terbangun di sekolah untuk anak-anak yatim piatu. Aku terkejut bagaimana aku bisa ada di situ sekaligus merasa sedikit bersyukur. Di situ aku harus bekerja sebagai tukang cuci piring, setiap hari aku dicaci maki dan diteriaki tetapi setidaknya aku mendapat pakaian layak, tempat tidur serta makanan yang cukup.
              Setiap hari aku melihat-lihat anak murid belajar dan secara perlahan aku mencoba untuk mengikuti mereka, tentu saja aku banyak ditertawakan anak-anak sekolah itu dan aku akan selalu dipukul apabila ketawan menyelinap untuk mencoba mendengarkan pelajaran-pelajaran mereka.
              Teman-teman masih banyak anak-anak di Indonesia yang tinggal di jalanan dan mereka masih berjuang untuk bisa mendapatkan hidup yang layak. Upaya untuk membantu anak-anak di jalanan masih sangat minim di Indonesia, dan apabila mereka diselamatkan pun, mereka tetap saja hanya akan digunaka untuk hal lain yang tidak berbeda bururknya. Jadi mari kita bersama  mencoba untuk menyelamatkan anak-anak jalanan di Indonesia. Serta untuk tidak membeda-bedakan orang lain.

Eunike Mercy
X MIA 3         
Missing Piece
Dahulu kala, berdiri 4 kerajaan di pesisir pantai Laut Carcissia. Kerajaan-kerajaan terdahulu ini dipimpin oleh 4 pria kakak-beradik. Mereka memimpin kerajaan yang diwariskan kepada mereka dengan keistimewaannya masing-masing. Si sulung, Raja Aldwin menguasai daerah utara, memimpin kerajaan dengan kebijaksanaannya. Negeri Utara disebut-sebut sebagai daerah penuh kebijaksanaan, diturunkan dari rajanya sampai kepada seluruh rakyatnya, mereka semua menghargai pilihan dan kemungkinan. Anak kedua, menguasai daerah timur, Raja Adrian memimpin daerahnya yang memiliki sumber daya paling terbatas dengan kecerdasan, Ia pandai memanfaatkan dan mencari alternatif. Rakyat Negeri Timur menghargai ilmu pengetahuan mulai dari kasta tertinggi sampai terendah. Lalu Raja Agrand, ialah yang paling adil di antara semuanya. Ia menguasai daerah paling subur, paling damai, dan paling menghargai keadilan dan kejujuran yang mana diturunkan langsung dari Raja Agrand kepada segenap rakyatnya. Neraca yang seimbang membumi erat di dalam tanah Negeri Selatan. Dan ada si bungsu, Raja Ahory, yang mendapat kan bagian terakhir, di daerah bagian barat. Walau merupakan keturunan terakhir, Raja Ahory adalah raja yang menghargai keberanian dan kekuatan. Di Negeri Barat inilah lahir putra putri negeri yang terkuat. Pedang dan perisai di tempa di sini. Begitulah kehidupan 4 kerajaan di pesisir pantai laut Carcissia.
Kerajaan-kerajaan ini berkembang dengan pesat dari tahun ke tahun, menjadi pusat kejayaan yang kabarnya tersiar sampai ke pelosok bumi. Dengan pasukan persatuan yang paling bijaksana, paling cerdas, paling adil, serta paling kuat. Semua pasukan itu dipimpin secara langsung sebagai orang-orang terpilih oleh para raja. Mereka bertugas menjaga perbatasan dan melindungi wilayah. Tidak seperti warga biasa dari per daerah, pasukan khusus ini menguasai keempat keistimewaan milik individu setiap raja. Mereka tak pernah kalah dalam medan perang, tak pernah gagal menjalankan tugas, tak pernah kembali ke kerajaan membawa mayat. Namun, dengan segala kesempurnaan yang dimiliki keempa kerajaan tersebut, tidak ada seorangpun yang merasa bahagia, tak seorangpun.
Hari itu hari bersejarah, dimana perbatasan negeri luruh, penyerangan terjadi di pinggir negeri, tiada seorangpun pasukan yang selamat, tidak seorangpun. Seluruh negeri kacau porak-poranda ketakutan, orang-orang berlarian sampai berteriak histeris. Keempat raja pergi mendatangi satu-satunya tetua yang tersisa di kuil kuno demi meredam keadaan yang kian ricuh. "Salam. Kami datang dari keempat penjuru negeri, memohon nasihat dari yang termulia, tetua negeri.", sapa keempat raja. "Waktu itu setengah abad yang lalu, dimana kalian semua terakhir meminta nasihat dari padaku, sebelum para tetua ditelantarkan, dan hanya tinggal aku seorang. Entah apa yang sedang terjadi di luar sana, tapi aku tahu, bahwa segalanya tidak akan berjalan mulus mulai sekarang.", balas tetua itu pelan. "Omong kosong, kami mempunyai pasukan terbaik sepanjang masa, bagaimana bisa kami dikalahkan oleh segelintir orang buangan dengan kemampuan yang tidak ada apa apanya?, balas keempat raja. Tetua hanya memandangi mereka dalam keheningan. "Kami tidak pernah salah dalam memilih, kami menghargai kebijaksanaan. Kami mustahil dikalahkan.", ucap raja Aldwin. "Kamilah yang tercerdas di medan perang, kami menghargai ilmu pengetahuan. Kami mustahil dikalahkan.", ucap Raja Adrian. "Kami adalah orang yang paling seimbang dan paling stabil dimanapun, kami menghargai keadilan. Kami mustahil dikalahkan.", ucap Raja Agrand. "Kami adalah putra-putri negeri yang paling kuat di seluruh negeri, kami menghargai keberanian. Kami mustahil dikalahkan.", ucap Raja Ahory.
"Ya, itu semua benar adanya, namun ada yang kurang, yang terlupakan oleh kalian berempat. Kaliam memerintah dengan murka angkara, seluruh rakyat ketakutan dibawah pijakan kekuasaan kalian, kalian kehilangan hal tersebut, the missing piece, yaitu..", jawab sang tetua. Suara peperangan dan teriakan makin jelas terdengar, para raja mengernyit menyadari kesalahan mereka semua. Mereka sudah tahu kelanjutan ucapan tetua. Dan mereka sadar bahwa kebinasaan sudah siap mendiami negeri ini. Lalu terdengar kelanjutan ucapan tetua, hal yang selama ini mereka abaikan, "Loyalty.".

Ezia Purnama Putri
X MIA 3
Pertemanan abadi
    Erik adalah seorang anak kecil yang tinggal di rumah yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalku. Kedua orangtuanya adalah pekerja kantoran, jadi dia selalu sendirian dirumah walaupun terkadang pembantunya berada dirumahnya.
       Erik adalah seorang anak yang nakal. Dia adalah teman sebayaku. Dia mudah sekali marah. Dia bahkan sering memukul teman-temannya. Sering kali dia membuat mereka menangis. Karena itu, teman-teman sebayanya selalu menjauhinya. Orang tuaku bahkan melarangku untuk bermain dengannya walaupun terkadang aku masih mendekatinya.
       Pada suatu malam, saat aku sedang dalam perjalanan pulang dari warung sebelah rumah, aku melihatnya sedang duduk sendirian di atas salah satu ayunan di taman dekat rumah. Wajahnya murung dan matanya sembab karena menangis terlalu lama. Dengan perlahan, aku mencoba mendekatinya.
     “Hai Erik, sedang apa kamu disini ? malam-malam begini kok keluar sendirian ? kata mama nanti  diculik lho,” Sapaku sambil sedikit bercanda, mungkin saja aku dapat menghiburnya walaupun hanya sedikit.
      Dia tidak menjawab sapaanku, hanya mendongak sedikit ke arah ku sejenak sebelum kembali  menatap ke tanah. Setelah diam beberapa saat, dia menjawab dengan nada lesu.
     “Aku tidak bisa pulang ke rumah…”, ucapnya dengan sendu.
     “Kenapa tidak bisa ?”
     “Dirumah tidak ada yang sayang padaku.”
      Aku berjalan mendekati salah satu ayunan yang kosong dan duduk di ayunan di sebelahnya. Aku merasa empati kepadanya. Erik masih berumur 10 tahun, sudah sering ditinggal orang tuanya, dijauhi teman-temannya. Aku tidak tau apakah aku bisa tahan hidup seperti itu, saat ditinggal Ibu ke pasar saja aku masih menangis.
    “Kenapa kamu bisa berpikir begitu ?”
     “Aku orang yang pemarah dan suka memukul orang, pasti tidak ada yang sayang denganku,”katanya dengan wajah masih mengarah ke tanah dengan mata yang sesekali melihat ke arahku.
    “Pasti ada kok, pemarah atau bukan, kamu itu pantas untuk disayang, ” jawabku sambil sedikit mengayunkan ayunan tempat aku duduk.
   “Meskipun aku memukulmu ? merusak mainanmu ?”

      Terlintas sejenak dibenakku sewaktu aku pertama kali mengajaknya main. Aku membawa dua mobil-mobilan dengan warna yang berbeda, satu berwarna merah dan yang lain berwarna hijau. Mobil-mobilan itu baru dibelikan Ibuku beberapa hari sebelumnya.  Aku sangat menyukai mobil-mobilan itu.
      Saat aku mencoba mengajaknya bermain, dia hanya menjawabku dengan ketus.
      “Pergi sana, kamu cuma buang-buang waktu kesini,” ucapnya dengan ketus sambil mendorong bahuku hingga aku terjatuh. Mobil-mobilanku terlepas dari peganganku dan jatuh didepannya. Erik menendang mobil-mobilanku lalu langsung beranjak pergi. Aku hanya bisa diam, menatap mobil-mobilanku yang  sudah tertendang sambil menahan air mataku agar tidak jatuh.
      Mengingat kejadian itu membuatku bertanya kepada diriku sendiri, mengapa aku masih bersikeras untuk berteman dengannya.
     “Tentu saja, mainan seperti itu bisa digantikan setiap saat, tapi kamu tidak bisa menggantikan seorang teman,” jawabku sambil tersenyum meyakinkan.
    “Tapi jika aku besar nanti, apa kamu masih mau berteman denganku? Meskipun aku sudah berubah?”
     Pikiranku melayang lagi, ke kedua orang tuaku. Mereka bilang mereka berdua sudah bersama sejak masih muda dan hingga sekarang kebersamaan mereka tak pernah pudar meskipun sudah bertahun-tahun bersama.
     “Tentu, waktu sekarang atau di masa depan, kamu akan selalu menjadi temanku.”
     “Apapun yang terjadi ? Meskipun pertemanan kita hancur? kamu tetap menjadi temanku ?”, sekarang wajahnya menoleh ke arahku. Raut kesedihan di mukanya sudah menghilang. Meskipun ia belum menyunggingkan senyum, setidaknya aku sudah membuat perubahan.
    “Mana kutahu, yang terpenting hanya kamu adalah temanku yang tak terganti.”
    “Bagaimana saat kita mati ? Apa kamu tetap menjadi temanku ? Apa pertemanan terus bertahan sampai itu terjadi ?”, Tanya Erik sambil memiringkan kepalanya sedikit.
     Saat aku mendongak ke atas, aku melihat langit yang cerah dengan bintang-bintang yang bersinar terang tanpa malu menunjukkan cahayanya. Awan-awan yang tadi menutupi sudah menghilang. Erik mendongakkan kepalanya mengikutiku. Kudengar suara hela napas darinya, nampaknya dia juga terpana melihat bintang-bintang gemerlap dilangit.
     “Lihat bintang-bintang itu, mereka bercahaya terang gemerlapan, tetapi Ibuku bilang bintang-bintang itu sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Tetapi mereka tetap bersinar sampai sekarang di langit yang gelap. Seperti bintang-bintang, pertemanan dan kasih sayang itu tidak akan hilang. Terkadang orang hanya memilih untuk tidak mengucapkannya.”
      Awan-awan kembali menutup langit, aku dan Erik beranjak untuk pulang kerumah masing-masing. Erik berjanji akan menjaga pertemanan kami dan aku berjanji akan selalu menjadi teman baiknya hingga dewasa nanti.

Firda Rahmania Bandjar
X MIA 3        
JIKA….
Suhu di sekitarku mulai menurun, badanku mulai dingin tak terasa, mataku sudah terpejam walau belum lelap. Saya tak tahu apa nama fasenya, yang jelas, fase ini adalah fase terbaik saya berimajinasi dan mencari inspirasi.
Ketukan jam tetap berjalan,tetapi imajinasiku masih hitam, belum ada gambaran yang saya bayangkan, otakku terus memaksa harus berimajinasi. Selalu teringat cerita orang tua tragisnya sejarah akhir abad 19. Setiap saya mengalihkan, makin susah tidur yang saya rasa.
Saya semakin hanyut. Apa yang terjadi jika saya hidup di masa itu? Masihkah saya peduli dengan fase fase tidur?  Akankah saya masih memedulikan paragraph ini? Atau masihkah saya peduli dengan pertanyaan ini?
Tidak dapat lagi dibendung. Bagaimana jika saya terlahir berkebangsaan Tionghoa? Akankah saya diperkosa pada waktu itu?
Yang mereka katakan, Jakarta tidak terbentuk saat itu. Pecahan kaca berserakan karna saling serang. Mobil mobil, gedung gedung hancur hangus terbakar. Saling serang dengan aparat keamanan.
Apa yang harus saya lakukan jika ternyata lokasi saya dekat dengan lokasi kejadian? Harus kemana saya lari? Kemana saya mengumpat? Apakah saya pasrah dengan kehidupan saat itu?
Seandainya saya lahir tahun 1981, rumah saya di sekitar Glodok, mungkin ada satu diantara banyak makam bernisankan
Firda Rahmania Bandjar
      6 Agustus 1981
wafat pada 14 mei 1998
Tapi untung saya terlahir pada awal abad 20, tidak pernah merasakan kerusuhan. Itulah mengapa kita harus bersyukur. Tidak menyesal atau mengeluh “Mengapa saya harus merasakan?”
Jarum jam terus bergerak ke kanan,saya sudah agak terlelap, memasuki fase tidur N2, terus terus hingga  semuanya hitam.

Grizelda Soefa Aisha
X MIA III

PILIHAN HIDUP
“Hei Fel! Berlutut di hadapanku!” Felicya atau biasa disebut Fel pun segera beranjak dari kursinya dan menuruti apa yang dikatakan oleh lelaki yang ada di depannya. Kemudian lelaki itu menendang tubuh gadis itu sambil berjongkok “Bawakan aku makanan yang biasa kutunggu 5 menit lagi di atap". Tanpa berani membalas, Fel segera berlari menuju kantin dan memesan makanan, tentunya ia membeli dengan uangnya sendiri.
“Bu yang biasa ya" “Lagi? Kau harusnya mengadu kepada guru atau kepala sekolah" “Tak apa lagi pula aku punya uang lebih" Fel pun menyerahkan uangnya kepada ibu kantin tapi uangnya ditolak “Hari ini kau tak usah membayar aku akan mengganti uangmu" “Tapi...” “Tak apa untuk kali ini saja".
Fel pun menuju atap sekolah dan membuka pintunya “ Telat 30 detik, berdiri mengangkat satu kaki 5 menit!”. Ia menghela napas dan berdiri di sebelah pintu sambil merenung.
Sudah sebulan sejak ia pindah ke sekolah ini, dan ini yang ia dapat semenjak sebulan lalu. Sebenarnya banyak yang kasihan padanya, hanya saja mereka tidak berani melawan orang yang katanya “paling kuat seangkatan". Namanya Arvin, ia dibilang paling kuat karena ia suka berkelahi entah itu di sekolah ataupun di luar. Tapi yang hebat, ia belum pernah ketahuan guru sekalipun karena ia berlagak baik di depan guru.
Fel berjalan ke kelas dengan gontai, bel sudah berbunyi tapi ia belum makan sama sekali semenjak pagi karena hukuman tadi. Sesampainya di depan pintu kelas ia membukanya, tetapi, ia langsung roboh di tempat membuat teman-teman sekelasnya mengerubunginya.
Fel membuka matanya dan ia menemukan sekelilingnya hanya putih polos tak ada yang lain. Namun, ada sosok hitam berdiri tak jauh darinya yang semakin mendekat. Fel pun mengetahui bahwa ia adalah seorang lelaki dengan jubah dan topi hitam. “Siapa kau?” tanya Fel dengan sedikit meninggikan suaranya. Lelaki itu tersenyum meremehkan dan menjawab “Kau berani bertanya dengan nada tinggi tetapi di kenyataannya kau bahkan tak bisa menjawab anak lelaki itu, aku sungguh kecewa". Fel merasa sedikit tersinggung dan bertanya lagi “Lalu aku harus apa? Kau harusnya tahu orang seperti apa Arvin itu". “Berubahlah Fel, kau tak pantas diperlakukan seperti itu" Fel hanya terdiam menunggu kelanjutan omongan si sosok jubah hitam itu. “ Kau bisa berubah jika kau mau, apa harus aku menunjukkan masa depanmu jika kau tak mau berubah?” kata si sosok jubah hitam sambil menengadahkan tangannya kearah Fel.
Fel langsung tersentak dan seketika ia melihat seorang perempuan dewasa yang sepertinya tengah disuruh-suruh oleh bosnya. “Kau tahu, jika kau berubah mungkin kau bisa menjadi pemilik gedung ini dan bukan menjadi pegawai kantor biasa" kata sosok jubah hitam yang tiba-tiba ada di sebelahnya. “Hah?! Ini aku di masa depan?” katanya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Ya sebenarnya masa depanmu bisa menjadi apa saja, tapi ini mungkin masa depanmu yang paling dekat dengan dirimu sekarang".
Fel masih membelalakan matanya saat ia tahu bahwa di masa depannya, ia masih harus disuruh-suruh oleh orang lain. Ia sebenarnya tak mau begitu lagi tapi ia tak bisa melawan. “Kau harus melawan Fel kau pasti bisa, bukan dengan kekerasan, tetapi kau harus melawannya". “Apa aku bisa?” “ Ya kau bisa, kau harus bisa". Fel masih bingung dengan apa yang harus dilakukannya, tetapi ia juga tak mau lagi merepotkan ibu kantin. “Ah sudah waktunya kau bangun, ayo bersiap-siap, sekarang pilihan hidupmu ada di tanganmu".
Fel terbangun di ruangan serba putih yang sepertinya adalah UKS, ia beranjak berdiri menuju ruang kelas. Ia lihat jam dinding sudah menunjukkan waktu untuk pulang. “Aku akan berbicara padanya besok".
Esoknya ia memasuki kelas yang isinya hanya Arvin yang sudah duduk di bangkunya. “Hai Fel, sudah siap untuk hari ini?” dengan nada sarkasnya sambil menyeringai. “Arvin, aku ingin bicara, hanya berdua".
Mereka sampai di atap sekolah kemudian Fel memberanikan diri membuka pembicaraan “Arvin, aku mau kau berhenti menyuruhku ataupun menyakitiku lagi" “Apa?! Kau kira aku akan melepaskannya begitu saja?!” bentak Arvin sambil menarik kerah baju Fel. “Aku masih bicara baik-baik sekarang, aku bisa saja ke bawah dan mengadu langsung ke kepala sekolah dan memintamu untuk dikeluarkan" “Kau berani ya sekarang!!” kata Arvin sambil melepas kerah baju Fel. “Ck aku tak mau cari gara-gara dengan guru apalagi kepala sekolah jadi jangan dekati aku lagi" Fel tersenyum mendengar ucapan Arvin dan membalas “Terima kasih sudah mengerti aku tak akan mengganggumu".
Sebulan setelah percakapan itu mereka tak pernah berhubungan satu sama lain. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Fel yang sekarang sudah memiliki banyak teman sedangkan Arvin fokus dengan belajarnya bersama teman-temannya. Tanpa disadari ada sosok jubah hitam yang memandang dari kejauhan “Kau sudah menemukan pilihan hidup terbaikmu Fel" sambil tersenyum kemudian berlalu.

Hubert Nathanael
X MIA 3
Misteri yang Tidak Diketahui
              Sore itu, setelah pulang sekolah. kudapati sebuah kotak misterius bercorak huruf Sanskerta di depan pintu rumah. Warnanya hijau keabuan. Hanya ada satu kata bertuliskan bahasa Indonesia “imajinasi”. Awalnya memang aku bingung. Namun, aku berniat untuk membawa masuk karena tidak ada pemilik jelas kotak tersebut. Langsung kubawa masuk ke rumah dan kutaruh di ranjang.
              Makan malam sudah kusantap, aku pun bergegas untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Perhatianku terganggu saat kulihat kotak itu. Aku memutuskan untuk menelpon Austin. Kenalkan, dia adalah teman baikku. Kami sudah berteman sejak Sekolah Dasar kelas 4. Oh ya, kenalkan namaku Troy. Aku sekarang menduduki bangku kelas 2 SMA atau kelas 11. Jadi pertemanan kami sudah tidak perlu diragukan lagi.
“Austin! Cepat ke rumah gue. Ada sesuatu yang aneh yang perlu lu tahu!”
“Baiklah!” jawab Austin.
Ya, Austin sudah pasti tahu apa yang ada di pikiranku ketika aku mengatakan hal tersebut. Kami sudah sering menemukan kasus-kasus aneh dan tidak jarang pula kami pecahkan solusinya. Namun, kali ini berbeda. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa.
“Apa ini? Apa lu udah coba buka?”
Kenapa tidak terlintas di kepalaku untuk membuka kotak tersebut ya? Tidak bisa!
“Ini terkunci!”
Aku dan Austin langsung memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang.
“Coba cek tempat di mana kotak ini tadi kamu ambil,” kata Austin.
Ternyata, benar! Ada petunjuk di bawah karpet di depan rumah, mengarah ke halaman. Kami mencari petunjuk selanjutnya sejenak, tetapi tak kami temukan satu acuan pun. Setelah lama mencari, kami sadar bahwa petunjuk selanjutnya bukan merupakan benda atau gambar. Petunjuknya memang mengarah ke halaman, tetapi bukan berarti harus ke halaman. Petunjuk itu menunjukan tempat di mana kami harus menempatkan kotak tersebut. Kami berlari tunggang-langgang ke kamar dan mengambil kotak tersebut. Karena terburu-buru aku tidak sengaja menjatuhkan kotak tersebut sehingga… Apa yang terjadi pada kotak tersebut?

Iris Fadiyah
X MIA 3
Kisah 2 Orang Petani
Disuatu desa yang subur tinggalah dua orang petani yang bernama pak Firman dan pak Joko. Pak Firman adalah seorang petani yang rajin, tekun, dan senang membantu orang lain, lahan pertaniannya pun subur, sedangkan pak Joko adalah seorang petani yang suka bermalas malasan serta tidak peduli pada perkataan orang lain.
              Pada suatu hari pak Joko melihat pak Firman sedang memanen kebunnya lebih awal, pak Joko pun heran mengapa pak Firman sudah mulai memanen kebunnya dipagi buta seperti ini, pak Joko pun bertanya pada pak Firman apa yang sedang ia lakukan. Pak Firman pun menjawab bahwa ia sedang mempersiapkan bahan-bahan makanan untuk badai yang akan segera dating, namun pak Joko tidak memedulikan perkataan pak Firman dan hanya bermalas-malasan.
              Pada keesokan harinya pun benar, terjadi badai yang hebat melanda desa tersebut yang menyebabkan toko toko tutup. Pak Firman tidak takut karena ia memiliki cadangan makanan yang mencukupi untuk beberapa hari kedepan,sedangkan pak Joko pun kebingungan karena cadangan makanannya sudah habis pak Joko pun berpikir “aku harus meminta makanan kepada orang lain,namun satu satunya orang yang tinggal dekat rumahku adalah pak Firman” ia pun langsung menyadari kesalahannya karna ia tidak mendengarkan perkataan pak Firman sehingga ia harus menanggung deritanya itu, ia pun bergegas ke rumah pak Firman untuk meminta makanan sekaligus meminta maaf walau sedang terjadi badai.
              “tok..tok..tok” pak Firman mendengar  suara ketukan pintu yang membangunkannya dari tidurnya itu,ia pun bergegas membuka pintu dan saat dibuka ia melihat pak Joko yang basah kuyup dan segera mempersilahkannya masuk. Melihat pak Joko yang basah kuyup pak Firman pun langsung memberinya pakaian baru agar tidak kedinginan serta langsung mengambilkannya makanan. Pak Joko pun langsung meminta maaf kepada pak Firman karena sering mengabaikan perkatannya. Semenjak itu pak Joko dan pak Firman menjadi sahabat yang dekat dan saling membantu, dan pak Joko tidak menganggap pak Firman sebagai saingannya lagi. Kebun pak Joko pun sekarang subur karna pak Joko sudah tidak bermalas malasan lagi semenjak kejadian itu.

Josh Alevsan
X MIA 3
Hijau dan Biru
“Zzz..., Zzz...” suara Biru tertidur sembari berbaring di atas rumput di ujung bukit.
“Hey, kau. Sudah cukup tidurnya. Dari tadi siang kerjaanmu tidur saja,” kata Hijau sedang membangunkan biru.
Hari semakin senja. Terlihat warna langit yang kemerah-merahan disertai awan-awan yang bergerak dengan pelan. Setelah Biru bangun, Hijau pun menunjuk ke arah matahari.
“Lihatlah...” seru Hijau yang menunjuk ke arah matahari yang sedang terbenam.
Terdengar lonceng desa berbunyi bagaikan musik yang mengiringi akhir dari terang siang. Hampir setiap hari Hijau dan Biru berkumpul di ujung bukit hanya untuk melihat pemandangan matahari yang terbenam. 
“Bir, apakah kamu masih ingat saat pertama kalinya ayah membawa kita ke sini ? Waktu itu, ketika ayah pulang kerja,” tanya Hijau melihat ke hutan yang terletak di bawah bukit.
“Kalau tidak salah, ayah waktu itu sedang melukis kita bukan?” sahut Biru mencoba mengingat.
“Hehe..., waktu itu aku sedang menggendongmu. Lukisannya sekarang terpajang di ruang tamu,” ucap Hijau memberi tahu.
Ayah mereka adalah seorang kondektur kereta api. Memang beliau mempunyai hobi menggambar atau melukis. Ia sering menggambar sketsa-sketsa pemandangan alam yang ia lewati. Ketika beliau pulang dari pekerjaannya, ia selalu menunjukkan gambar ciptaannya kepada anak-anaknya. Pohon, gunung, pantai, jembatan..., banyaklah gambar yang dibuatnya. Jarang sekali beliau pergi bekerja tanpa membawa kotak pensilnya.
“Kak Hijau, Biru tak sabar ingin bertemu ayah,” seru Biru dengan penuh semangat.
“Iya, aku juga. Menurutmu Bir, apa saja gambar ayah nanti?” balas Hijau bertanya.
“Tak tahu, kak. Biru berharap sesuatu yang berbeda,” jawab Biru berandai-andai.
“Ya sudahlah. Mari kita kembali ke rumah. Langit sudah mulai gelap,” ajak Hijau berjalan ke arah rumah mereka.
“Hey, kak..., tunggu Biru”, teriak Biru ketinggalan seraya mengejar Hijau.

Hijau dan Biru kejar-kejaran di perjalanan pulang. Sesampainya di rumah terlihat dua orang sahabat ibu mereka yang juga adalah tetangga mereka duduk di ruang tamu sambil memeluk ibu mereka. Ketika Hijau dan Biru masuk, tampaklah ibu mereka sedang menangis tersedu-sedu.
“Ibu, ada apa?” tanya Biru menghampiri ibunya di sofa.
“Tidak apa-apa. Ibumu hanya sedang...” jawab salah satu tetangga, lalu seketika itu ucapannya dipotong.
“Cukup! Mereka punya hak untuk tahu,” bentak ibu kepada sang tetangga.
“Hijau, Biru..., ayahmu..., ayahmu mengalami kecelakaan di kereta tiga hari yang lalu,” kata ibu sembari meneteskan air mata.
Biru langsung menghampiri dan memeluk ibunya, lalu ikut menangis. Tetangga yang lain menghampiri Hijau yang berdiri diam di tempat dan mengajaknya untuk berbicara empat mata di teras rumah.
“Nak, begini, kami baru saja mendapatkan surat berisi berita kecelakaan kereta tempat ayahmu bekerja. Tertulis di sini bahwa jasad dari ayahmu tidak ditemukan dari sekian korban dan kerusakan yang ada. Ibumu tampak tidak mempedulikan tulisan ini dan saya paham. Saya hanya ingin memperjelas kondisi,” jelas sang tetangga kepada Hijau. 
  “Berarti, ayah belum mati?!” tanya Hijau dengan antusias.
“Saya, teman saya, beserta ibumu jelas tidak tahu. Yang kami tahu hanyalah lokasi kejadian yang terletak sejauh tiga hari berjalan kaki dari stasiun kereta desa ke arah utara dari desa ini. Tetapi, saya dan teman saya turut berdukacita atas kehilangannya,” kata sang tetangga jelas lagi, setelah itu mengajak tetangga yang lain untuk pulang.
Setelah itu, Hijau langsung berlari ke kamarnya, sedangkan Biru dan ibunya menetap di ruang tamu dengan perasaan yang amat teramat sedih.

Malam pun terus berlanjut. Biru pergi ke kamar untuk tidur. Setelah ia membuka pintu, ia melihat kamarnya yang berantakan tidak karuan. Tampak juga Hijau yang sedang mengemas barang-barang yang tampaknya untuk sebuah perjalanan.
“Kak Hijau mau ke mana?” tanya Biru yang sedang berjalan menuju tempat tidurnya.
“Tidak apa-apa, kok. Ini tidak penting,” jawab Hijau dengan senyum yang agak aneh.
“Perlu Biru panggilkan ibu kak untuk membantu?” tanya Biru lagi sambil berjalan ke pintu kamar.
“Tidak perlu, Bir... Kakak bisa sendiri kok,” balas Hijau menjawab pertanyaan Biru.
“Ya sudah. Biru tanya ibu saja kak Hijau mau ke mana,” ucap Biru sembari membuka pintu kamar.
“Ok, kakak beri tahu,” cegat Hijau.
“Kakak berencana ingin mencari ayah. Kata teman ibu, tubuh ayah tidak ditemukan di tempat kecelakaan,” jelas Hijau kepada adiknya.
“Ya sudah, kak. Biru mau ikut,” sahut Biru dengan penuh antusias.
“Bir, kamu belum cukup umur untuk mengembara,” jawab Hijau dengan maksud melarang.
“Biru ikut atau Biru bilang ke ibu,” ancam adiknya.
“Ok, kau boleh ikut, asal kau harus bangun dini subuh nanti. Sudah banyak waktumu terpakai untuk tidur. Dan juga berkemaslah,” tegas Hijau kepada Biru.
“Ok, kak. Biru berkemas dulu ya, terus Biru tidur,” ucap Biru mengambil koper kepunyaannya.
Malam itu, Hijau dan Biru tertidur lelap dengan harapan baru di benak mereka. Cukup berat bagi mereka pada malam itu. Tidak mudah bagi mereka untuk kehilangan ayah mereka.

Biru adalah tipe anak yang sangat sulit untuk dibangunkan. Sudah beberapa kali Biru hampir telat ke sekolah. Tetapi, kali ini dengan cepat ia bangun dipenuhi semangat. Subuh itu mereka sudah siap untuk pergi. Tak lupa Hijau meninggalkan sepucuk surat untuk ibunya di atas meja belajar. Mereka meninggalkan rumah dan pergi menuju garasi. Terlihat di situ sepeda motor yang tersambung dengan sebuah kereta di sampingnya. Hijau memeriksa bahan bakar dan mengaitkan cadangannya di belakang kereta. Pintu garasi dibuka dan Hijau mengeluarkan motor tersebut. Barang-barang yang sudah di kemas di taruh ke dalam kereta. Setelah pintu garasi di tutup, mereka memulai perjalanan mereka. Dengan sepeda motor, mereka berjalan mengitari rel kereta api. Dua setengah hari lamanya perjalanan mereka berlangsung, hingga akhirnya mereka sampai di tepi sebuah hutan. Hutan tersebut terletak di belakang perbukitan utara, tepat di samping sungai besar dan tampaklah pepohonan yang tinggi dan rindang serta berwarna ungu. Hijau memandang ke dua pohon yang sangat besar dan bagian atasnya dari luar tampak seperti kubah lancip. Kedua pohon tersebut terletak jauh ke dalam hutan. Ketika itu, Hijau teringat akan sesuatu.
"Pohon itu..., tampak seperti yang digambar ayah," ucap Hijau teringat.
"Gambar apa, kak?" Tanya Biru tampak kebingungan.
"Kamu tak ingat...? Kedua pohon besar disana tampak seperti lukisan pohon yang dipajang di teras rumah," jawab Hijau mengingatkan.
"Oh iya, kak. Di sana ada rel kereta api," sahut Biru sambil menunjuk ke arah rel kereta api yang terdapat di seberang sungai.
"Mereka sudah membereskannya... Ya sudah, kita lanjutkan perjalanan kita," ucap Hijau menyalakan mesin motor.
Mereka terpaksa harus memarkir motor dikarenakan jalan yang tidak memungkinkan bagi kendaraan untuk masuk. Motor tersebut dipaarkir dekat pohon oak dekat sebuah kolam  air yang dipenuhi dengan ikan mas. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki.

Dua jam lamanya mereka berjalan memasuki kedalaman hutan. Tujuan mereka adalah dua pohon besar yang digambar ayahnya itu. Tampak Biru yang mengikuti Hijau dengan wajah yang tampak kelelahan.
"Kak..., cukuplah kak. Mari kita... istirahat dulu. Sudah cukup lama kita, berjalan," kata Biru dengan suara terbatata-bata.
"Ayolah, Bir. Tidak jauh lagi kok. Dikit lagi kita sampai," seru Hijau menyemangati adiknya.
Tak lama kemudian, perjalanan mereka disambut dengan gempa bumi ringan disertai dengan raungan yang cukup keras.
"Ada apa ini, kak?" tanya Biru ketakutan.
"Aku tak tahu, Bir." jawab Hijau kebingungan.
Mereka pun meneruskan perjalanan sampai mereka menemukan jejak hewan yang berukuran sangat besar. Dari bentuknya, jelas jejak tersebut merupakan jejak kaki sebuah hewan.
"Kak, lihat kak," sahut Biru menunjuk ke arah jejak hewan besar di depan mereka.
"Jejak ini..., tampak seperti jejak kaki beruang," ucap Hijau menggaruk kepalanya.
Tak lama kemudian gempa bumi tersebut datang kembali. Sosok raksasa keluar dari pepohonan di arah kanan mereka. Tampaklah seekor beruang berbulu hitam dengan garis-garis hitam di sekujur tubuhnya. Sosok tersebut hampir setinggi pohon-pohon yang ada di sekeliling Hijau dan Biru. Tampak dari wajahnya yang sangar melihat ke arah Hijau dan Biru.
"Biru..., ayo lari!" seru Hijau menarik tangan Biru.
Hijau dan Biru  berlari menjauh dari beruang raksasa tersebut.Beruang tersebut pun turut serta mengejar mereka. Mereka berlari sekencang mungkin hingga dengan tidak sengaja, Hijau dan Biru tersandung akar pohon dan terjatuh ke dalam lubang di tanah.
Hijau terbangunIah. Ia mencoba membangunkan Biru yang masih belum sadarkan diri. Biru pun terbangun dengan wajah kaget. Biru menunjuk ke tepat kearah belakang Hijau, tampak sekumpulan kelinci seukuran tubuh mereka berdiri melihat mereka.Tanpa menunggu lama, kelinci-kelinci tersebut langsung membawa mereka ke suatu tempat. Sampailah mereka di suatu ruangan. Ruangan tersebut tampak seperti kamar tidur, terdapat tempat tidur dan semacamnya. Barang-barang mereka terlihat di samping meja belajar yang tampaknya sedang digunakan seorang lelaki dengan pakaian yang tampak lusuh. Pakaian tersebut tampak seperti seragam kondektur kereta api. Lelaki tersebut kemudian berdiri dan berbalik menatap Hijau dan Biru. Suasana pun hening untuk sejenak.
"Ayah..." teriak Biru berlari kepada sang lelaki.
Lelaki tersebut menyambut pelukan Biru dengan pelukan yang sama dan perasaan sukacita.
"Ayah, aku tahu kau masih hidup..." ucap Hijau mendatangi ayahnya dengan berlinang air mata.
"Oh, nak. Ayah benar-benar minta maaf. Hanya saja ayah tidak dapat keluar," balas ayah.
"Kenapa, yah?" tanya Biru ikut campur.
"Kelinci-kelinci ini tidak memperbolehkan ayah untuk keluar. Mereka percaya bahwa ayah adalah penyelamat mereka," hawab ayah.
"Memang ayah dapat berkomunikasi dengan kelinci-kelinci itu," tanya Hijau penasaran.
"Memang kamu tidak?" tanya ayahnya membalas.
"Kami tidak mengerti apa-apa," jawab Biru.
"Itu tidak penting. Sekarang kita harus dapat keluar dari hutan ini. Ayah bilang tadi ayah adalah penyelamat mereka. Nah, memang ayah perlu menyelamatkan mereka dari apa?" tanya Hijau.
"Kalian, ikut ayah," ajak ayah mereka.

Sang ayah mengajak mereka ke sebuah yang lubang dengan atap yang terbuka. Hijau melihat ke bawah lubang tersebut dan menyasari bahwa lubang tersebut sangatlah dalam.
"Kalian tahu, bahwa kelinci-kelinci tersebut menggali lubang ini hanya memakan waktu satu jam saja," jelas ayah kepada Hijau dan Biru.
Mereka pun menaiki tangga panjat yang sudah disediakan. Setelah mereka sampai di atas, Hijau dan Biru menyadari bahwa mereka ada di tempat yang sama saat mereka terjatuh. Ayah mereka mengantar mereka ke pohon besar yang merupakan tujuan awal Hijau dan Biru. Sesampainya di sana terlihatlah beruang tang mengejar mereka sebelumnya berteduh di bawah rindangnya pohon tersebut sambil memakan makan malamnya.
"Itulah target kita. Beruang itu telah meneror kelinci-kelinci tersebut akhir ini. Beberapa dari mereka mati dimakan beruang ini," jelas ayah lagi.
"Ayah, mengapa kami dapat selamat ketika kami terjatuh di lubang tadi?" tanya Hijau.
"Kelinci-kelinci itu juga pandai membuat jaring. Mereka menggunakan jaring tersebut untuk memasuki lubang tersebut. Tampaknya kalian mujur karena ketika kelinci terakhir masuk, jaring tersebut belum ditarik," jawab ayahnya menjelaskan.
"Ayah, bagaimana jika kita membuat suatu jebakan bagi beruang yang mengerikan itu?" tanya Hijau.
"Kamu punya ide nak?" tanya ayahnya dengan antusias.
"Marilah kita meminta kelinci-kelinci tersebut untuk bekerja ketika beruang tersebut tidur," jelas Hijau.
"Apa yang harua mereka kerjakan, kak?" tanya Biru kebingungan.
"Tengah malam nanti mereka akan menggali lubang yang sangat besar, lalu kita jatuhkan jatuhkan jaring ke beruang tersebut setelah beruang itu jatuh ke dalam lubang," helas Hijau lagi mencurahkan idenya.
"Nak, idemu bagus juga. Ayah akan meminta kelinci-kelinci tersebut untuk menggali lubang dan membuat jaring yang sangat besar," ucap ayah mereka dengan penuh semangat.
"Yasudah, yah. Ayo kita kembali," ajak Biru menarik tangan ayahnya.
Sesudah mereka kembali ke bawah tanah, ayah meminta kelinci-kelinci tersebut untuk menggali lubang di samping tempat tidur beruang ketika beruang tersebut tidur. Tak lupa ayah tersebut meminta kelinci-kelinci itu untuk membuat jaring yang berukuran raksasa. Kelinci-kelinci tersebut bekerja saat tengah malam dan selesai ketika subuh.

Keesokan paginya adalah hari penentuan, apakah jebakan tersebut berhasil atau tidak. Beruang tersebut pun bangun dari tidurnya. Di karenakanberuang tersebut belum sepenuhnya sadarkan diri, beruang tersebut pun jatuh ke dalam lubang tersebut. Langsung tidak lama kemudian disambut dengan jaring dari atas lubang, sehingga beruang tersebut kesulitan untuk bergerak. Lubang tersebut pun ditutup para kelinci dengan tanah agar beruang tersebut tidak dapat keluar. Beruang tersebut akhirnya mati kehabisa udara dan tidak pernah terdengar atau pun kelihatan kembali. Kelinci-kelinci tersebut merayakan kemenangan mereka dengan sebuah pesta di bawah tanah. Hijau, Biru, dan ayahnya memutuskan untuk pulang ketika senja. Akhirnya Hijau dan Biru berhasil mengambil kembali ayah mereka dengan selamat dari hutan biru di samping sungai besar.

Jovita Anggi
X MIA 3
Kisah Ozzy dan Trilili
Pada suatu pagi menjelang siang, di sebuah pohon, di tengah hutan, tampaklah Trilili, seekor anak burung, sedang berjalan pada salah satu cabangnya.  Sambil merentangkan kedua sayapnya yang mungil, dia melihat ke arah  bawah seolah-olah sedang mengira berapa tinggi dari pohon itu.  Kemudian, dia menghela nafas panjang sambil memejamkannnya matanya, berusaha untuk berkonsentrasi.  Tak jauh dari situ, di dekat rerumputan, terlihat Ozzy, seekor anak kura-kura, sedang menatap ke arah Trilili sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.  Kemudian, Ozzy berteriak, “Sudahlah Trilili! Apakah kau tidak capek? Sudah berapa kali kau menaiki pohon itu dan berusaha untuk terbang? Tidakkah engkau tahu bahwa engkau sebenarnya tidak dapat terbang? Lihatlah, dari beberapa hari yang lalu, kau mencoba terus. Tapi, apakah sekarang kau sudah bisa terbang? Ayolah, teman, jangan bersikap bodoh, terimalah kenyataan bahwa kau memang adalah seekor burung yang takkan pernah bisa terbang! Apa kau tidak ingat pepatah ‘Keledai yang bodoh pun tidak akan jatuh ke lubang sama untuk kedua kalinya’ ? Kau selalu jatuh ke tanah setiap kali kau berusaha untuk terbang. Kok tidak ada kapok-kapok nya?”

Trilili mendengar apa yang dikatakan oleh Ozzy, tetapi baginya, kata-kata tersebut tidak membuatnya menjadi putus asa, tetapi justru semakin membakar semangatnya untuk bisa terbang.  Trilili menyadari benar bahwa pada dasarnya seekor burung mempunyai kemampuan untuk bisa terbang.  “Hey Ozzy, temanku yang baik!”, kata Trilili, “Practice makes perfect, you know?”, lanjutnya sambil tersenyum.  “Terserah kau, lah!”, sahut Ozzy sambil memalingkan mukanya seolah tak peduli.  Trilili pun tetap mengulang latihan terbangnya dengan semangat.  Seminggu kemudian, ketika Ozzy sedang melintasi hutan, ia melihat seekor anak burung terbang, berputar-putar di atasnya, sambil bersiul-siul.  Anak burung itu terbang kian kemari, naik turun, menikmati suasana di hutan itu.  “Hai Ozzy!,” teriak anak burung itu. Ozzy mendongak ke atas, melihat siapa yang memanggilnya, “Ini aku, Trilili, temanmu! Lihat! Aku sudah bisa terbang!.” Ozzy terpana melihat Trilili, temannya, sudah bisa terbang dengan baik.  “Hei, Trilili! Akhirnya kau bisa terbang juga, ya! Turun dulu ke sini, aku ingin berbicara dengan mu!.” Menuruti permintaan Ozzy, Trilili pun hinggap di atas bongkahan batu, tak jauh dari Ozzy. 
“Bagaimana bisa?,” tanya Ozzy pensaran pada Trilili, “Ingat perkataan ku dulu Practice makes perfect? Itulah yang terjadi, kawan,” jawab Trilili. “Oh begitu, yaaa,” sahut Ozzy sambil menganggukan kepalanya.  Kemudian Trilili melihat mata Ozzy bersinar-sinar dan Ozzy terlihat sangat bersemangat, membuatnya tak tahan untuk bertanya, “Ada apa, Ozzy? Kok tiba-tiba kau terlihat bersemangat sekali?.” Sambil tersenyum, Ozzy menjawab, “Kau lihat bongkahan batu tempat kau berdiri, Trilili? Lihatlah, ada dua bongkahan batu yang terpisah sehingga membuat celah diantaranya.  Aku penasaran, apakah aku bisa melewati celah itu.  Memang terlihat agak sempit, tapi aku yakin aku bisa.” Trilili terbelalak melihat ukuran celah bongkahan batu itu.  Menurutnya, Ozzy tidak akan bisa melewati celah itu karena ukuran tempurung Ozzy tidak akan muat melewati celah itu.
Trilili berusaha mencegah Ozzy, “Jangan, Ozzy! Itu berbahaya bauatmu! Kau tidak akan bisa melewatinya,” “Ah, Trilili. Tadi kau bilang practice makes perfect. Itulah jawabannya!,” jawab Ozzy.  “Jangan bodoh, kawan!,” sahut Trilili, “Ini adalah suatu hal yang berbeda! Kau tidak akan mungkin melewatinya. Kau hanya akan membahayakan dirimu!.” Ozzy tidak mengindahkan peringatan Trilili, ia tetap bersikeras, berjalan mendekati celah tersebut dan berusaha melewatinya. “Ozzy! Jangan!,” teriak Trilili berusaha memperingati temannya. Ozzy tidak mengindahkan peringatan Trilili, dan tetap memasukkan dirinya ke celah tersebut, berusaha melewatinya.  Ternyata Ozzy malah tersangkut dan tidak bisa membebaskan dirinya dari celah tersebut. Berulang kali ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tersangkut.  Melihat hal itu Trilili berusaha menolong Ozzy, ia melihat ada seutas tali, tak jauh dari sana. Ia mengambil tali itu, mengikatnya menjadi sebuah simpul, lalu dikaitkannya pada tempurung Ozzy.  Trilili memegang ujung tali yang satunya dan menarik tali tersebut ke arah yang berlawanan sambil terbang sekuat tenaga.  Akhirnya, Ozzy pun bisa terlepas dari celah itu.
Trilili menghela nafas lega, “Akhirnya kau lepas juga, kawan. Aku khawatir sekali kau tidak akan bisa bebas dari sana.”  Mendengar kata-kata Trilili, Ozzy mengerutkan dahinya dan tetap bersikeras bahwa dia pasti bisa melewati celah teresebut.  “Ingat ya, Ozzy. Jangan kau ulangi tindakan mu tadi, karena itu adalah tindakan yang sangat bodoh. Ingat kata-kata mu dulu, bahwa Keledai yang bodoh pun tidak akan jatuh ke lubang sama untuk kedua kalinya,” kata Trilili, “Aku pulang dulu, ya.  Aku sudah ditunggu ibuku.” Mendengar kata-kata Trilili, Ozzy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam dengan keras kepala, “Ah, Trilili. Kau hanya membodoh-bodohi ku saja. Aku pasti bisa melewati celah itu, sama seperti dirimu yang bisa terbang,” yakin Ozzy dalam hati, “Aku akan melakukannya lagi besok.  Pasti aku bisa melewati celah itu!.”
Keeseokan harinya, pagi-pagi benar, Ozzy kembali mendatangi tempat tersebut dan berjalan dengan yakin ke arah celah batu itu, memasukinya, dan berusaha melewatinya.  Namun, berbeda dengan kemarin, hari itu tidak ada Trilili yang menyaksikannya.  Seperti yang sudah diduga, tempurung Ozzy tersangkut lagi di celah batu itu.  Ozzy kembali berusaha menggerak-gerakkan kakinya dengan harapan dapat keluar dari celah batu itu. Tetapi hingga hari menjelang gelap, Ozzy masih tersangkut di celah batu itu.  Ozzy pun kelelahan, haus, dan lapar, namun tak ada yang dapat menolongnya saat itu.  Akhirnya Ozzy pun menyadari bahwa apa yang ia lakukan benar-benar merupakan hal yang sangat bodoh.  Ia menyesali dirinya yang tidak mau mendengar nasihat Trilili, temannya.  Ozzy pun hanya bisa pasrah dan berharap bahwa ada yang akan menolongnya terbebas dari celah batu tersebut dan ia berjanji ia tidak akan berbuat bodoh lagi.

M Farhan
X MIA 3
Literasi yang salah
Di suatu pagi yang cerah, disaat orang orang memulai aktifitasnya. Anak anak berangkat ke sekolah. Waktu menunjukan pukul 6.30. Anak anak kurang senang. Karena mereka diperintahkan berkumpul dilapangan hanya untuk membaca buku. Sekolah menamakan kegiatan itu "literasi" . Literasi dilakukan setiap hari selasa, rabu, dan kamis. Yang diresahkan siswa adalah mengapa literasi harus dilakukan dilapangan?. Mereka merasa akan lebih baik jika literasi dilakukan di kelas, karena membaca akan jadi lebih konsentrasi. Kegiatan itu berlangsung sampai jam 8. Setelah literasi anak anak langsung naik ke kelas dan belajar seperti biasa.

MOHAMMAD IHSAN
X MIA III

GARUDAKU
Jalan mulai sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Suara-suara jangkrik dan binatang kecil lainnya membuat suasana mencekam menjadi riuh lagi. Di ruang tamu, TV sudah menyala dengan minuman soda lengkap dengan makanan ringan yang tersedia di atas meja. Pria dengan jersey Timnas Indonesia duduk perlahan di atas sofa. Tak lain dan tak bukan, hari itu adalah hari dimana Tim Nasional Sepakbola Indonesia bermain di laga yang sangat ditunggu-tunggu khalayak ramai. Laga Final Piala Asia 2019.
 Sebuah trofi yang sudah lama didambakan seantero Nusantara, Sebuah trofi yang dapat mengangkat harkat dan martabat sepakbola Indonesia. Pria itu yakin, Timnas Indonesia akan mampu meraih kemenangan dan membawa pulang trofi itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Keyakinan itu bukan tanpa alasan yang kuat. Kedalaman skuad saat ini adalah yang terbaik dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Bahkan bila dibandingkan, skuad Indonesia saat Olimpiade  1956 ketika berhasil menahan tim terkuat saat itu, Uni Soviet, mungkin bisa dibilang lebih baik.
Para pemain mulai memasuki lapangan pertandingan. Stadion Saitama 2002 adalah tempat berlangsungnya pertandingan sarat gengsi ini. Ya, untuk kesekian kalinya Indonesia harus berhadapan dengan musuh bebuyutannya, Malaysia. Indonesia Raya dikumandangkan dengan khidmat diiringi dengan dentuman music yang membuat adrenalin pemain terpacu. MENANG! Adalah satu-satunya hal yang harus diraih dan diwujudkan saat itu juga.
Evan Dimas, wonderkid Piala AFF U-19 2013 diberi amanah untuk mengapteni Timnas Indonesia. Jenderal lapangan satu ini sudah sarat pengalaman akan sepakbola negeri Jiran karena beberapa kali berhadapan dengan Bachtiar Badrool, kapten Malaysia yang membela klub Selangor. Evan bersama klubnya Bhayangkara, beberapa kali berhadapan dengan Badrool di ajang AFC Cup ataupun SEA Games.
Wasit meniup peluit tanda dimulainya babak pertama. Indonesia menerapkan pola          4-3-3 dengan satu gelandang jangkar berpengalaman yakni Egi Maulana Fikri. Posisi gelandang kreatif dikomandoi Evan bersama Adam Alis Setyano, pemain terbaik Piala Presiden 2016. Beserta trio FIS di lini depan, membuat permainan satu-dua antar pemain berjalan dengan optimal.
Kembali ke pria yang sibuk mengamati pertandingan dengan seksama. Tangannya sesekali mengambil makanan ringan yang sedari tadi masih penuh. Malah hampir tidak disentuh sama sekali. Mulutnya terus berkomat-komat sesekali berteriak dengan penuh semangat “AYO INDONESIA! KAPAN LAGI KITA BISA JUARA?” yang terkadang kena teguran tetangganya akibat terlalu berisik. Namun itu semua sudah biasa di lingkungan sekitar tempat tinggal pria itu.
Malaysia rupanya telah mengantisipasi strategi umpan pendek Timnas Indonesia. Penerapan 5 gelandang di tengah rupanya membuat pergerakan sayap Febri Hariyadi di kanan agak terhambat. Sesekali crossingnya yang ditujukan untuk Saddil Ramdani berhasil diputus Badrool dan kawan-kawannya. Barisan pertahanan juga tak luput dari kesalahan. Terutama dalam hal komunikasi. Bagian kanan yang diisi Rezaldi Hehanusa kerap kesulitan saat para harimau melakukan serangan balik. Beruntung ada Hansamu serta Bagas Adi, dua bek tengah yang saling bergantian melakukan sapuan atau blok yang menentukan dari pemain Malaysia.
Babak pertama berakhir dengan skor sama kuat 0-0. Evaluasi oleh pelatih kepala Muhammad Sobri, adalah jangan terburu-buru melakukan umpan tarik untuk memecah barisan bek karena dinilai terlalu berbahaya. Sebab, lima gelandang Malaysia selalu siap untuk memutus serangan-serangan Timnas kita. Tugas khusus diberikan untuk Gavin Kwan Adsit agar tidak kecolongan oleh penyerang sayap andalan Malaysia, Khalid Sanusi. Tak lupa hairdryer treatment diberikan untuk Rezaldi agar tak mengulangi kesalahan di babak pertama.
Peluit panjang babak kedua telah ditiup. Tensi pertandingan semakin memanas dan memanas. Apalagi setelah dikeluarkannya gelandang veteran Malaysia Safiq Rahim akibat menjegal penyerang sayap energik Indonesia, Ilham Armaiyn. Tendangan bebas dari jarak ideal 20 meter diberikan wasit berkebangsaan Nepal, So Te. Evan Dimas bersiap dengan Febri sebagai pengecoh barisan belakang Malaysia. Tendangan dilakukan dan……..
.
.
MEMBENTUR TIANG! BOLA  REBOUND MENGARAH KE SADDIL! dan sayang sekali langsung dibuang oleh Badrool ke tengah lapangan. Celaka! batin pria yang sedari tadi memerhatikan jalannya laga. Satu-satunya bek yang tidak maju ke garis depan hanyalah Gavin. Bola berhasil diteruskan ke Khalid yang berdiri bebas di tengah lapangan. Membawa bola hingga kotak penalti, Khalid terus dibayangi Gavin di belakangnya, mencoba untuk merebut bola. Gocekan cantik melalui tumit kiri Khalid berhasil melewati Gavin dan membuat Indonesia tinggal berharap dengan Ravi Murdianto, sang penjaga gawang. Sontekan ke tiang jauh berhasil di blok oleh Ravi hingga membuat bola terpental beberapa meter ke tengah lapangan. Bola muntah disambar Badrool dengan tendangan cannon ball yang sangat keras tanpa bisa dijangkau Ravi. 1-0 untuk keunggulan Malaysia.
              Waktu menyisakan 15 menit saja untuk minimal menyamakan kedudukan. Pelatih Sobri memasukkan Hanif Sjahbandi menggantikan Adam, merubah pola menjadi 4-2-3-1 dengan Evan sebagai gelandang serang tunggal. Masuknya Hanif membuat kontribusi besar dalam aliran bola Timnas. Kecepatan Hanif beradaptasi dengan Egi, membuat pria di depan TV tersebut kembali optimis setelah beberapa saat yang lalu ia hampir kehilangan semangat melihat Indonesia tertinggal oleh Malaysia. Ia tahu, pelatih Indonesia saat ini dapat memberikan trofi yang telah lama dinantikan oleh bangsa ini. Apalagi kapten timnas adalah Evan Dimas. Anak asuhnya sekaligus pemain terbaik saat menggondol trofi AFF U-19 2013. Indra Sjafri adalah nama pria itu. Satu-satunya pelatih dalam sedekade terakhir yang bisa memberikan trofi prestisius bagi kemajuan sepakbola Indonesia. Menggantungkan harapan kepada mantan anak-anak asuhnya dulu yang sekarang sedang berjuang,
              Memasuki menit 85, penyerangan Indonesia semakin terlihat akan membuahkan hasil. Kepincangan Malaysia akibat dikeluarkannya Safiq membuat duet Egi-Hanif berhasil mengontrol laju operan sehingga Evan leluasa mengatur serangan. Tapi, gol yang dinanti-nantikan tak kunjung datang. Hingga wasit memberikan tambahan waktu 2 menit, Febri yang tinggal berhadapan dengan kiper, dijegal di area berbahaya. 15 meter dari gawang. Evan kembali dipercaya menjadi algojo. Sebelum menendang, ia member instruksi agar Saddil tetap berada di dekat tiang kiri gawang Malaysia apapun yang terjadi. Saddil sempat protes dengan dalih akan terjebak offside namun Evan berkeras agar Saddil tetap mengikuti instruksinya.
              Kali ini Hansamu yang dijadikan pengecoh kiper Malaysia, Datook Jarujito Singh. Sempat membuat lawan bingung karena Hansamu yang notabenenya adalah bek, diikutsertakan menjadi penendang adalah sebagian kecil dari taktik Evan agar menghalangi pandangan kiper Malaysia karena tinggi badan Hansamu yang di atas rata-rata. Bersamaan dengan tendangan yang dilakukan Evan, Hansamu melompat setinggi mungkin untuk menutupi arah tendangan yang ternyata mendatar ke arah tiang kanan gawang Malaysia. Bola memantul ke arah Saddil yang dengan mudah menceploskan ke dalam gawang karena bebas pengawalan. Gol Saddil disambut sorak sorai penonton di stadion serta Indra Sjafri yang memuji taktik brilian anak asuhnya itu.
              Skor 1-1 membuat pertandingan harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu. Demi mengeksploitasi pertahanan Malaysia yang sudah terkuras staminanya, pelatih Sobri memasukkan Stefano Lilipaly menggantikan Febri. Malaysia merespon dengan memasukkan gelandang bertahan Nur Taufiq agar skor tidak berubah dan pertandingan berlanjut ke babak adu penalti yang dinilai  mereka lebih menguntungkan karena Datook Jarujito Singh dikenal sebagai penalty stopper yang handal.
Tak henti-hentinya Indra Sjafri menyemangati pasukan Garuda dari balik layar dengan terus meneriakkan AYO INDONESIA! KAPAN LAGI KITA BISA JUARA?” selama pertandingan berjalan. Ia yakin kali ini Indonesia dapat meraih gelar juara kembali setelah terakhir kali pada tahun 2013.
Masuknya Fano menambah kekuatan serangan pada lini depan Indonesia. Gelandang serang Ajax Amsterdam ini dengan mudah melewati pemain-pemain belakang Malaysia sebelum melepaskan umpan tarik yang harusnya dapat dituntaskan dengan sempurna oleh Saddil. Kesigapan Datook membuat harapan Indonesia menjadi mulai pudar. Selepas babak pertama perpanjangan waktu, pelatih Sobri memberikan instruksi yang mengejutkan. “Jangan lagi penetrasi ke kotak penalti. Perbanyak tendangan-tendangan spekulasi dari luar kotak.”
Benar saja. Pada babak kedua perpanjangan waktu, Malaysia memainkan dua bek sayap baru yang masih segar untuk mengantisipasi tusukan-tusukan dari sisi kanan dan kiri mereka. Melihat hal ini Evan memberikan bola-bola chip ke arah kotak penalti lawan namun bisa diamankan pemain belakang Malaysia.Memasuki 5 menit terakhir, Saddil ditarik digantikan oleh striker jangkung Ezra Walian.
Pengamatan yang sangat jeli oleh pelatih Sobri membuahkan hasil yang brillian. Berawal dari umpan jauh Hanif ke arah Ezra, area tembak begitu terbuka setelah dua pemain belakang Malaysia terpeleset rumput yang mulai basah diguyur hujan. Datook bersiap menerima tembakan. Namun, di luar dugaan Ezra melakukan backpass melalui tumit kirinya. Evan yang berdiri bebas di tengah lapangan, melakukan tendangan keras yang menyusur tanah. Bola sempat memantul ke tanah sebelum mengarah ke gawang Malaysia. Datook yang tertinggal beberapa langkah saja tidak mampu menjangkau bola yang lebih dulu masuk ke gawangnya. 1-2 untuk Indonesia di menit 119.
Wasit meniup peluit panjang tanda berakhirnya laga Final Piala Asia 2019. Seluruh pemain serta ofisial berhamburan ke tengah lapangan. Melampiaskan suka duka yang berbaur dengan semua rasa lelah dan letih, Kemenangan yang telah lama dinanti-nantikan seluruh rakyat Indonesia. Nun jauh di sana, Indra Sjafri menangis bahagia saat melihat Evan dan kawan-kawan mengangkat trofi Piala Asia. Pencetak gol terbanyak diberikan kepada Naruto Uzumaki dari Jepang yang mengemas 8 gol, pemain terbaik diberikan kepada Evan Dimas dari Indonesia, kiper terbaik diberikan kepada Ismail bin Mail dari Yaman serta tim paling sportif diberikan kepada Palestina dengan 1 kartu kuning saja selama pagelaran berlangsung.
Prestasi ini selain membuat Indonesia meroket di peringkat 33 FIFA juga membuat Indra Sjafri bangga akan anak-anak didikannya dahulu yang telah mengguncangkan dunia.
BERI AKU 1000 ORANG TUA NISCAYA AKAN KUCABUT SEMERU DARI AKARNYA. BERI AKU 10 PEMUDA NISCAYA AKAN KUGUNCANGKAN DUNIA.
-       Ir. Soekarno

Mutiara Cantikan
X MIA III

Maha Penyayang
     Depresi, ialah sahabatku yang setia. Ia selalu datang dan hadir mengusir sukacita. Ia selalu menemaniku dikala senang maupun sedih. Hari itu aku depresi hingga puncaknya. Tertanam rasa ingin mati di jiwa ini. Keluarga, sahabat, teman, mengapa kalian tidak memperdulikanku? Mengapa kalian anggap remeh depresiku ini? Pertanyaan itu selalu muncul dibenakku. Aku termenung dan memutuskan untuk bicara dengan Tuhan,
“ Tuhan, mengapa Kau ciptakan aku sebagai pribadi yang rentan depresi? “
Melalui renungan dan petunjuk dari-Nya, aku tau dia telah menjawab doaku. “
segala kelebihan yang Kuserahkan padamu, daripada itu kuselipkan kelemahan yang tentu didalam batas kekuatanmu “ bisik Tuhan.
“ Tapi aku tak sanggup sendiri menahan ini semua Tuhan, mengapa tak seorangpun peduli padaku?”
“ Aku mengerti, aku peduli. Engkau kuat nak, sebab kau didalam pelukan dan genggamanKu. Tak kan kubiarkan anakKu berdiri seorang diri. Kelak kan datang saatnya pelangi mengindahkan hatimu dan muncul seorang adam yang Ku ciptakan untuk menopang saat kau tak lagi sanggup, yang menggenggam tangan dan memeluk tubuhmu juga menghapuskan air matamu. Ia yang Ku ciptakan ialah lelaki yang setia padamu.”
Aku menangis terisak-isak dibait Allah. Ternyata selama ini aku tidak sendiri, karena Tuhan besertaku. Sejak saat itu, aku ingin selalu dekat dengan Tuhan dan menunggu seseorang yang dijanjikan-Nya.

Nadira Khoirunnisa
X MIA 3

Anemone
Di kelasku ada seorang anak perempuan yang pendiam sekali. Rambutnya Cuma digerai tanpa ada hiasan sama sekali, dan selalu pakai masker. Sering membaca novel saat jam kosong, jarang ngobrol dengan anak-anak yang lain. Pada jam istirahat juga selalu pergi dengan anak dari kelas sebelah yang bahkan tak kukenal namanya. Namun, kenapa sih guru-guru selalu mengistimewakan dia? Padahal nilainya juga biasa-biasa saja. Dasar para guru pilih kasih!
“Makan tuh telur!”
Aku dan teman-teman lelaki-ku yang lain terus melemparkan telur padanya. Tubuhnya yang kecil itu tampak tak berdaya menerima serangan dari kami. Dia hanya melindungi wajahnya dengan kedua tangan. Dia juga tak mengeluarkan tanda-tanda akan menangis. Hanya terdiam dengan kaki berlutut.
“Cih,” dalam hati aku mengumpat karena reaksinya yang membosankan. Padahal sudah sering kami jahili seperti ini, tapi dia tak pernah menangis atau berteriak. Seperti sedang menjahili dinding saja, tak ada suaranya sama sekali. Apa mulutnya yang tertutup masker itu tertutup begitu rapat?
“Dian, telurnya sudah habis, nih,” ujar salah satu temanku setelah menyerukan namaku. Dia memperlihatkan kantong plastik yang sudah tak ada isinya.
“Yah, ya sudahlah. Hari ini segini saja dulu,” temanku yang satu lagi menjawab.
“Bubar, yuk.”
“Oh, iya Rani. Jangan diambil hati, ya? Kamu ulang tahun hari ini, kan? Kita cuma mau merayakannya, kok.”
Setelah mengatakannya demikian, aku langsung berbalik mengikuti teman-temanku yang lain. Yah, tentu saja tadi itu bohong. Aku mana mau merayakan ulang tahun cewek suram sepertinya.
“Dian jahat banget. Masa’ kasih alasan manis begitu?” teman yang berjalan di depanku itu berkata dengan menunjukkan seringaiannya.
“Aku nggak salah, kan? Dia memang ulang tahun hari ini, kok. Temannya tadi mengucapkan selamat padanya saat istirahat,” balasku ringan.
“Uwaaa, dia punya teman?”
“Punya, kok. Dari kelas sebelah.”
“Nggak apa-apa, tuh? Nggak ketahuan kalau dia dibully sama kita?”
“Hahaha… mana mungkin! Temannya paling cuma satu. Kalau jumlahnya segitu, sih cuma jadi sasaran empuk kita, kan?”
“Hahaha… iya, ya. Mana mungkin ada yang mau temenan sama dia!”
“Kalian jahat, ah! Hahahaa…”
Setelah hari itu, serangan kamipun berkembang pesat menjadi lebih kejam. Dari hanya menyembunyikan bukunya, menjadi menghilangkan tasnya. Bekalnya kami hancurkan dengan mengocok-ngocoknya. Menguncinya di laboratorium. Bahkan kadang-kadang kami mengajak anak perempuan yang sepemikiran kami untuk mengerjainya. Pokoknya sekalin kejam lagi! Semakin kejam lagi! Semakin dan semakin!!
Hari ini kami dengan sengaja menyembunyikan ponsel pak guru di kolong meja Rani. Akan tetapi, anehnya ia tidak dimarahi. Ia hanya ditanyai oleh pak guru mengenai sesuatu yang tak tertangkap telingaku. Ia juga tidak dikenakan poin pelanggaran. “Cih!” sekali lagi, aku mengumpat dalam hati saking kesalnya.
“Hei, bukannya para guru itu terlalu pilih kasih?” Gina, anak perempuan di kelompok kami memulai topik pembicaraan. “Mereka seperti meng-anakbawangkan Rani,” lanjutnya.
Kami yang awalnya hanya sedang memakan makanan kami masing-masing, mulai tertarik untuk mengembangkan pembicaraan ini. Salah satu di antara kami turut angkat bicara, “Sebenranya aku juga memikirkan hal yang sama.”
“Padahal saat kita salah mengerjakan malah dimarahi, dibilang ‘kamu nggak merhatiin ibu, sih! Makanya pas pelajaran kupingnya dipakai!’, seperti itu. Tapi, kalau Rani yang salah malah dibilang nggak apa-apa.”
“Saat disuruh membaca puisi juga! Harus dengan lantang kek, mendalami kek! Tapi Cuma Rani saja yang namanya tidak dipanggil!”
“Iya, benar!”
Kami satu per satu mengeluarkan keluhan kami secara blak-blakan, baik itu mengenai para guru atau Rani sendiri. Kami bahkan saling bertukar informasi mengenai aib-aib mereka. Namun, tak ada yang tahu aib milik Rani. Padahal itulah yang paling membuatku penasaran.
“Untuk hukumannya, sebaiknya kita apakan Rani?”
“Apa, ya…”
“Sesuatu yang memalukan, sampai menjadi aibnya.”
Kami berpikir keras. Tak ada satupun dari kami yang berpendapat. Kami memkirikannya dengan sangat serius. Sampai-sampai bekal kami yang tertunda tak lagi kami sentuh. Hingga, Gina kembali memulainya, “Oh! Aku punya ide, teman-teman!”
Kamipun langsung memasang kuping baik-baik dan mendengarkan penjelasannya. Setelah selesai mendengar, kami semua mengangguk. Tak ada yang menentang. Semuanya  setuju untuk melancarkan serangan itu.
Untuk rencana kali, Gina bilang sebaiknya dilakukan oleh yang sekelas dengan Rani dan piket pada hari itu saja. Terlalu mencurigakan jika main gerombolan jika ada ada di ruang lingkup sekolah katanya. Maka dari itu, kelompok kali ini adalah Gina, Aldi, dan aku sendiri.
Setelah pulang sekolah, kami menjalankan piket setelah sekian lama membolos. Bukan hanya kami, sebenarnya semuanya juga tak ada yang mau membersihkan kelas lagi setelah pulang sekolah. Kurasa Cuma Rani yang satu-satunya anak rajin yang masih menjalankan ini.
Setelah sekian lama aku mengayunkan sapu, akupun mulai mendekati Rani. “Eh, Rani,” sapaku.
“Kamu selalu pakai masker, ya? Kenapa?” tanyaku berbasa-basi. Ia menanggapi pertanyaanku dengan menunjuk masker yang ia kenakan, seakan menanyakan balik.
“Iya, masker itu. Pinjam, ya!” aku langsung merebut paksa maskernya. Rani terlihat begitu terkejut. Ia langsung berusaha mengambilnya dari tanganku. “Hentikan!” serunya lemah. Akan tetapi, segera dari belakang, Gina menahan tangan Rani agar tak bisa bergerak bebas.
“Lho? Ternyata kamu bisa bicara, ya.”
“Kupikir kamu bisu, lho. Hahaha…”
“Yah, rencana kita gagal, dong?” ujar Aldi sembari memainkan ponselnya. Aku menghampirinya, menaruh sikuku pada pundaknya. “Ah, tapi lihat bibirnya. Bibirnya warna biru, lho! Apa dia pakai lipstik?” aku menunjuk pada bibirnya yang terlihat kebiruan.
“Huwaa, apa yang akan dilakukan Pak Rahman kalau tahu murid emasnya malah memakai lip, ya?”
“Cepat ambil fotonya!” seruku menyuruh Aldi. Tapi, saat Aldi hendak membuka aplikasi kamera, Gina yang berada di belakang Rani langsung menghentikannya. “Hei, dengar-dengar, sih kalau bibir biru itu artinya mengidap asma, lho!”
“Terus?”
“Gimana kalau kita jejeli debu yang kita kumpulkan hari ini padanya? Bukankah kita akan mendapat hasil foto yang lebih hebat lagi?”
Setelah saling bertukar pandang, aku dan Aldipun setuju dengan Gina. Aku mengangkat debu yang merupakan hasil kami menyapu. Tanpa menggubris reaksi penolakan dari Rani, aku terus mendekatinya dan mendekatkan debu tersebut pada hidung mungilnya.
Bruuk!
Tiba-tiba saja Rani jatuh berlutut. Ia menutup hidung dan mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya tak terlihat, sebab ia menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya juga menghalangi.
“Ngapain kamu jatuhin, Gin?” Aldi bertanya pada gadis yang bertugas menahan Rani.
“Siapa yang jatuhin? Dia sendiri yang tiba-tiba saja melemas.”
“Jangan-jangan… dia beneran asma?”
Dengan ragu-ragu, kami kembali menjatuhkan pandangan  pada Rani yang masih terduduk di lantai. Dari sela-sela rambutnya, aku bisa melihat wajahnya yang tampak begitu menderita. Seketika keringat dingin yang sebesar biji jagung membasahi wajahnya yang semakin membiru. Pupil matanya mengecil, dan dari bibirnya itu terdengar suara napas yang terburu-buru. Samar-samar aku juga mendengar suara detakan jantung yang terlampau kencang.
“H-hei, gimana nih? Dia beneran sakit, lho,” ujar Gina.
“Hah? K-kenapa tanya aku?”
“Yang menjejeli debunya kan kamu, Dian!”
“Jadi kamu mau bilang kalau ini salahku!?”
“Memangnya siapa lagi!?”
“Hei, kalau dipikir-pikir bukankah kita melakukan ini karena usul dari Gina?”
Di tengah-tengah kami saling menuduh satu sama lain, seorang perempuan yang tak asing memasuki ruang kelas. Ia langsung berlari menuju Rani yang sedang sesak napas. Dari wajahnya, terlihat jelas bahwa dia benar-benar khawatir. “Rani? Kamu kenapa? Maskermu mana?” tanyanya dengan suara yang cukup lantang.
Saat ia mengedarkan pandangannya untuk mencari benda yang ia sebutkan, ia menangkap masker yang sedang kupegang. Pandangannya terhenti padaku. “Itu masker Rani, kan? Kenapa ada di tanganmu?” dia bertanya dengan penuh kecurigaan—dan dari nadanya, aku tahu ada kemarahan yang turut tercampur di dalamnya.
Rasa bersalah langsung menggerogotiku saat sepasang mata itu menatapku dengan begitu tajam. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung memealingkan muka. Aku menolak untuk menatapnya. Tak hanya aku, kedua temankupun melakukan hal yang sama.
Tak lama kemudian, seorang guru yang lewat membantu Rani ke ruang UKS. Sedangkan kami bertiga dituntun ke ruang BK untuk bicara dengan wali kelas, Pak Ed.
Tanpa berbasa-basi, Pak Ed langsung bicara pada intinya, yakni mengenai masalah Rani yang mengidap Asma dan tentang tindak pembullyan kami padanya.
“Seperti yang kalian ketahui, Rani memang mengidap penyakit asma. Dan penyakitnya ini sudah sampai tahap kronis.”
Saat Pak Ed mengatakan ini, kami bertiga langsung merasa tertekan. Rasa bersalah ini seakan-akan menghakimi kami.  Kami sudah tak begitu mendengar penjelasan Pak Ed lagi waktu itu. Yang terbesit dalam pikiran hanyalah rasa penyesalan yang sangat dalam.
Suatu hari nanti, dalam waktu dekat kami ingin meminta maaf pada Rani. Secara resmi dan layak, di depan orang tuanya. Mungkin selama waktu skors yang akan kami dapatkan nanti.

Olivia Monica
X MIA 3

Sahabat Menjadi Teman
“Cha, Chacha! Bangun, nanti kamu telat,” teriak seseorang yang suaranya tidak asing bagiku. Ya, ia adalah ibuku. Aku memang paling malas bangun pagi, biasanya aku tak langsung bangun ketika dibangunkan oleh mama. Namun, aku sangat senang karena hari ini merupakan hari pertamaku kembali bersekolah di sekolah umum setelah 3 tahun menjalani home schooling.
Hidupku terasa sangat hampa selama 3 tahun terakhir. Aku jarang sekali beraktivitas di luar rumah sejak kasus bullying yang menimpaku pada kelas 7. Dulu, aku suka sekali datang kepada bebrapa guru dan bertanya mengenai beberapa materi yang kurang aku kuasai, tetapi teman-temanku menganggap bahwa aku caper. Sejak saat itu, hampir semua orang di kelasku membullyku karena mereka merasa bahwa aku datang kepada banyak guru agar menjadi anak kesayangan para guru. Awalnya mereka hanya membullyku secara verbal, tapi makin lama hal yang mereka lakukan semakin parah. Aku sampai hampir dikucilkan oleh semua teman seangkatan. Ah, aku sudah tak mau mengingatnya lagi. Aku mau fokus di sekolah baruku.
Oh iya, namaku Charlotte. Charlotte Avery. Aku berumur 15 tahun dan hari ini merupakan hari pertamaku di SMA. Sejujurnya, aku sangat takut kalau seandainya aku bertemu Violet. Aku yakin hidupku akan kembali kacau jika aku bersekolah di tempat yang sama lagi dengan dia. Dia telah menghancurkan masa-masa SMPku yang dulu ku kira akan menjadi masa-masa yang sangat menyenangkan. Aku sangat berharap agar masa-masa di SMA ini akan menjadi sangat menyenangkan, seperti kata kebanyakan orang di luar sana.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.00 pagi. Aku pun berangkat menuju sekolah baruku yang terletak tak jauh dari rumahku. Sesampainya di sekolah, aku pun mencari kelasku. Aku sedang melihat ke arah kanan dan kiriku. Tiba-tiba, “Brakk,” aku tertabrak oleh seorang perempuan. Rambutnya berwarna hitam dan panjang, hidungnya mancung, dan tingginya kurang lebih sama denganku. “Eh, maaf ya, gue lagi buru-buru,” katanya. Ia pun berlari meninggalkanku. Muka dan suaranya tidak asing bagiku. Mungkin dia …. Ah, tidak mungkin. Setauku Violet sudah pindah ke luar negeri beberapa bulan yang lalu.
Aku pun kembali menulusuri lorong sekolah yang ramai dan akhirnya menemukan kelasku. Aku masuk ke dalam kelas dan memilih untuk duduk di barisan tengah. Tiba-tiba, ada yang memegang pundakku dari belakang. “Hai, gue boleh duduk di sini?” tanyanya. Ternyata dia perempuan yang tadi menabrakku di lorong. "Iya, boleh kok," balasku. Kami pun terdiam sejenak.
Bel yang menandakan mulainya jam pelajaran pun berbunyi. Wali kelasku pun akhirnya masuk dan memperkenalkan diri. Ia mulai mengabsen kelasku. "Charlotte Avery," sahut wali kelasku. Aku pun membalasnya, "Hadir." Seketika muka teman sebangkuku berubah menjadi pucat. Ia tampak sangat kaget. Aku pun bertanya kepadanya, "Kenapa?" "Gapapa kok," balasnya. Akhirnya nomor absen 32 pun dipanggil. "Violet," sahut wali kelasku. Teman sebangkuku pun mengangkat tangannya dan berkata, "Hadir." Seketika aku mengingat akan masa lalu. Ya, Violet. Aku takut jika seandainya teman sebangkuku sekarang ini adalah Violet yang dulu pernah membullyku. Namun, aku tidak mau berburuk sangka terhadap Violet. Tidak baik, bukan?
Jam istirahat pun tiba. Hampir seluruh isi kelasku berhamburan keluar kelas untuk pergi ke kantin. Hanya aku dan Violet yang tersisa. Kami pun akhirnya berbincang mengenai banyak hal, mulai dari sekolah, keluarga, hobi, dan lain-lain. Namun, satu hal yang tidak kami bicarakan adalah sekolah asal kami. Sejujurnya, aku tidak mau menanyakan hal tersebut karena menurutku jika ia tau bahwa dulu aku home schooling, mungkin dia akan menganggapku anti sosial dan malah akan menjauhiku. Ternyata, Violet orangnya sangat asik, aku tak menyangka akan ada seseorang yang cocok denganku karena dari dulu aku belum pernah merasakan rasanya memiliki seorang sahabat.
Hari demi hari pun berlalu. Semakin hari kami semakin dekat. Sampai suatu hari, kejadisn buruk hampir menimpaku. Pada hari itu, aku hendak menyebrang jalan sendirian dari depan sekolah. Aku menyebrang sendirian karena rumahku dan rumah Violet tidak searah. Aku sedang asik mendengarkan lagu melalui headphoneku sehingga aku tidak mendengar bahwa ada mobil yang melaju kencang ke arahku. Pada saat itu, Violet mau mengembalikan chargerku yang telah ia pinjam. Ia melihat sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Ia berteriak, "Awas, Cha!" Sebelum aku menoleh, ia sudah mendorongku agar aku tak tertabrak. Aku hampir ditabrak oleh mobil tersebut, tetapi malah Violet yang tertabrak karena hendak menyelamatkanku. Aku sangat panik. Aku langsung mencari bantuan dan membawa Violet ke rumah sakit bersama beberapa teman sekelas yang lain.
Kepanikan menyelimutiku sembari menunggu kesadarannya. Aku khawatir jika nanti hal buruk akan terjadi kepadanya. Apa yang akan aku lakukan tanpanya? Hidupku menjadi lebih berwarna dengan kehadirannya. Tiba-tiba, secarik kertas terjatuh dari antara buku pelajaran Violet yang tadi ia pegang saat mau pulang. Aku pun membaca tulisan dalam kertas tersebut.
“Hey, Cha! Masih inget gue ga? Iya, gue Violet yang dulu tukang ngebully pas SMP. Jujur aja, gue nyesel jadi bully. Maafin gue ya, Cha. Gue bakal belajar jadi orang yang lebih baik dan menjadi sahabat yang lebih baik buat lo. –Violet”
Surat tersebut memang sangat singkat, tetapi sangat bermakna bagiku. Sesaat setelah selesai membaca surat itu, dokter yang tadi menangani Violet keluar. "Maaf ya dek, teman kamu tidak tertolong," katanya. Aku merasa sangat terpukul. Aku bingung harus berbuat apa. Kenapa ini harus terjadi saat aku baru dekat dengannya? Namun, satu hal yang ku tahu, Tuhan pasti punya rencana terbaik untuknya. Aku harap kau tenang di sana sahabatku, Violet.

Qinetta Aidia Fitrinna
X MIA III
Semprot Ajaib
Ada seorang anak yang bernama Lila. Lila adalah seorang anak berumur 6 tahun yang sangat takut dengan hal yang berbau mistis. Ia percaya dengan yang namanya hantu, monster, atau sejenisnya.
Pokoknya setiap hari Ia sering memikirkan hal itu, dan ia juga sering tidak bisa melakukan hal-hal yang biasa karena rasa takutnya itu.
              Misalnya, Ia sangat takut ke kamar mandi hanya karena Ia takut ada hantu yang mengikutinya. Jadi Ia meminta Ibunya menunggu di depan pintu kamar mandi agar Ia bisa ke kamar mandi. Atau juga Ia tidak bisa tidur sendiri karena Ia takut ada monster di bawah tempat tidurnya. Ataupun ada bayangan tangan mengerikan yang mengetuk-ngetuk jendelanya, padahal itu cuma ranting pohon yang tertiup angin. Ia jadi tidak bisa tidur sendiri dan Ibunya harus menemaninya sampai Ia tertidur.
              Ibunya selalu menasihati Lila bahwa yang namanya hantu atau monster itu tidak ada. Lila tetap saja tidak percaya dan masih suka ketakutan karena hal itu. Ibunya memikirkan cara agar Lila tidak takut lagi kepada hal-hal mistis itu. Akhirnya Ibunya mendapatkan ide untuk membuat semprot pengusir hantu & monster.
              Keesokannya Lila diberi semprot itu oleh Ibunya. Lila pun sangat senang, karena menurutnya semprot itu membuat hantu & monster pergi saat Ia menyemprotkannya ke segala arah. Ibunya pun lega, hasil buatannya membuat Lila tidak takut ke kamar mandi lagi atau tidur sendiri. Lila sangat senang menyemprotkannya ke segala arah. Sejak hari itu Lila tidak jadi penakut lagi.
              Walaupun begitu, ada satu rahasia yang tidak diketahui Lila. Ibunya membuatnya hanya dengan botol semprot diisi dengan air yang diberi perwarna dan pewangi.
              Setiap Lila berjalan menyemproti air itu ke segala arah, orang-orang melihatnya dengan heran. Mereka bingung melihat anak kecil yang menyemproti air wangi yang berwarna ke segala arah, tentu saja kecuali Ibunya. Lila tidak pernah menyadari hal itu sampai Ia berumur 10 tahun.

Raisa Ramadhani
X MIA 3

Psychopath
aku terbangun mendengar suara teriakan ibuku,dengan cepat aku berlari kekamarnya. begitu kagetnya aku melihat ibuku terbaring di lantai yang dingin dengan bersimbah darah.
aku adalah seorang bocah laki laki berumur 8 tahun, sekarang aku duduk dikelas 3 SD,aku tinggal bersama ibuku,kami hanya berdua,ayahku meninggalkan ibuku saat aku berumur 3 tahun mereka bertengkar begitu hebat,lalu ayahku langsung meninggalkan ibuku yang menangis menjerit,aku hanya bisa memeluk ibuku pada saat itu.kami melanjutkan hidup kami tanpa sesosok ayah dan suami.ibuku tidak putus asa dan bekerja keras untuk membiayai kehidupan kami.
hari ini hujan turun dengan derasnya,tepat pukul 11 malam ibuku belum pulang aku pun sangat khawatir,karena belakangan ini ada seorang psikopat yang akan membunuh wanita pada saat hujan turun dengan deras demi memuaskan rasa hausnya akan darah yang memuncak saat hujan turun dengan deras. polisi belum tahu apa motif sebenarnya tapi diyakini dia hanyalah seorang psikopat gila.aku mencoba menunggu ibuku pulang tapi ia tak kunjung datang akhirnya aku pun ter tidur lelap.
saat aku melihat ibuku terbaring tidak berdaya aku sangat ketakutan dan segara berlari menelphone polisi. pada saat aku terhubung dengan kantor polisi, tiba-tiba ada seseorang dibelakang ku aku memberanikan diri untuk nelihatnya,dia adalah seorang pria dengan pakaian serba hitam dia menggenggam sebuah kapak yang diselimuti darah ibuku.aku langsung berteriak dengan kencang,tetapi aku sudah dipukul dengan pukulan yang keras,lalu aku pun pingsan.
aku terbangun di tempat yang gelap tidak tau dimana aku berada.aku pikir diriku sudah mati,tapi ternyata belum,aku bersyukur diriku belum mati tapi,mengingat ibuku yang mati dengan mengenaskan membuat diriku menangis.aku berfikir mengapa dia tidak membunuhku mau apa dia dari dirku,pertanyaan itu terus ada di otakku.tiba tiba ada seseorang yang masuk dan kuyakin itu adalah dia dengan marahnya aku ingin membunuhnya tapi tidak bisa karena kedua tangan dan kakiku diikat dikursi,akhirnya dia membuka mulutnya,dia berkata...
"kau akan menjadi penerusku yang hebat"  

Sain Gimel Filbert Simatupang
X MIA 3

Gratefull
              “sial, kenapa harus aku?” pintaku. Teruss aku berfikir dan berfikir, kenapa aku sekarang bisa berlari menghindari sebuah robot manusia yang siap menembakan semacam laser dari tanganya?
              Iya, semua ini berawal saat aku terbangun disebuah ruangan dengan banyak alat”penyiksaan. Sangat mengerikan. Aku pikiri aku diculik, jadi aku berusaha mencari jalan keluar, dan untungnya aku menemukannya. Tapi ruginya, aku sekarang dikejar “Cyborg”yang mungkin ingin membawaku kembali ke ruangan itu.
              Dengan nafas yang hampir habis, keringat yang terus bercucuran, aku berlari tak henti sambil melihat tempat persembunyian. Lalu aku melihat sebuah gang kecil diantara gedung” tinggi. Aku memustuskan untuk lari kearah sana. Wah aku sangat beruntung! Aku menemukan tong sampah dan aku langsung loncat kesitu untuk bersembunyi. Aku tetap waspada dan mendengar langkah kaki cyborg itu. Saat aku merasa sudah aman, akhirnya aku keluar dari tempat sampah itu. Ohiya aku lupa, aku juga memakai jaket yang aku dapat dari tong sampah itu sebagai penyamaran. (yah emang sih bau dan jorok, namun aku lebih memilih untuk geli daripada dikejar oleh robot itu, beuuhh seram) Saat aku menyusuri kota yang sudah sangat “Futuristik” itu, tiba” ada layar besar yang muncul dari beberapa gedung disitu. Muncul seorang laki” gendut yang mengarahkan pisau ke leher seorang wanita tua. Wait, itu bukan wanita tua, ITU MAMAKU!?
              “Hai divan, kau kenal dia kan? Serahkan dirimu atau kau tidak dapat melihat ibumu lagi HAHAHA” kata pria gendut itu. Aku cuman bisa berdiam. Aku takut untuk meolong mamaku. “divan. Aku mulai menghitung mundur, 10” aku tersontak kaget dan langsung berlari ke arah gedung tempat aku disekap tadi. 9 8 7 6, setiap angka disebutkan, semakin aku menangis bercampur marah. Aku bingung, aku tak tahu arah, aku tak tau aku dimana, aku tak tau apa”. Yang aku tau hanya namaku divan dan aku ingin menyelamatkan ibuku. “3, 2, 1 dadahhh divann”. Iyaa itu dia. Saat dimana aku melihat ibuku dibunuh. Aku berteriak seakan”itu membuat ibuku tidak jadi dibunuh. Tapi itu percuma. Saat cipratan darah keluar dari tenggorak ibuku, aku terbangun.
              Aku melihat sekelilingku. Aku ada dikamarku. Aku aman. Ternyata itu mimpi. Awalnya nafasku terengah”, sekarang sudah normal kembali. Tiba – tiba aku mendengar suara mama menyuruh aku makan. Aku langsung keluar kamar dan langsung memeluk mama dengan sangat erat. Mengingat mimpi itu, aku menjadi sangat bersyukur akan ibuku yang sekarang. Aku akan terus berusaha melindugi ibuku, apapun keadaannya.
             
Scarlett Monauli
X MIA 3
Waktu
Waktu terus berjalan. Itu yang ibuku ajarkan, jangan sia siakan waktumu katanya. Karena waktu terus berjalan.
Umurku baru 7 tahun ketika ibu bertanya,
“Hikaru mau jadi apa nanti?”
Umurku yang masih 7 tahun bingung. Jadi apa? Tidak pernah terbesit dipikiranku tentang masa depan. Wajar. Umurku baru 7 tahun. Tapi aku tak mau mengecewakan ibu, dengan asal kujawab
“Hikaru mau jadi astronot bu!”
“Kenapa?”
Aku terdiam. Umurku masih 7 tahun, aku tidak tahu apa itu astronot. Aku hanya pernah mendengar kata astronot dari kartun yang kutonton di tv. Maka sekali lagi kujawab dengan asal.
“Karena Hikaru pikir jadi astronot itu asyik bu! Bisa menjelajah hutan kayak Dora yang di tv itu loh bu!!”
Ibuku hanya tersenyum mendengar kekonyolan yang aku lontarkan.
“Hikaru ingin jadi astronot kan? Berarti Hikaru harus belajar dengan giat dong! Ingat Hikaru, waktu itu terus berjalan, tak pernah berhenti. Maka manfaatkanlah waktu itu sebaik baiknya. Jangan sia siakan sepeser dan sedetik pun waktu yang kupunya”
Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepalaku. Aku tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan ibu. Waktu terus berjalan? Bukannya jam dinding di rumah pernah berhenti? Kenapa itu berkata waktu tak pernah berhenti? Aku tak mengerti. Aku masih 7 tahun tuanya.

Waktu pun berjalan. Dan tahun pun terlewati. Ibu yang tahu aku ingin menjadi astronot, walaupun dia tahu itu hanya jawaban asalku, tetap mendukungku. Dia mengajariku tentang planet, bintang, dan alam semesta. Beruntung ibuku merupakan salah satu ahli di bidang ipa.
Aku mulai tertarik dengan astronomi. Umurku saat itu 14 tahun saat ibu berkata
“Hikaru, kau masih ingin menjadi astronot?”
Aku terdiam kembali sama seperti 7 tahun yang lalu. Pertanyaan yang berbeda tapi memiliki makna yang sama. Aku diam mencari jawaban. Apa yang harus kukatakan?
“ya bu, aku ingin menjadi astronot. Bukan lagi seperti Dora, tapi sekarang aku ingin melihat alam semesta. Aku penasaran bu, ketika ibu berkata bahwa ada milyaran bahkan jutaan galaksi di luar sana. Aku penasaran, seberapa kecilnya kita diantara banyaknya galaksi diluar sana? Betapa hebatnya sang pencipta langit dan bumi? Aku penasaran bu”
Ibu tersenyum. Bukan lagi karena kekonyolan ku tetapi karena jawaban yang kulontarkan.
“Ibu senang kau serius menjadi astronot Hikaru. Teruslah gapai mimpimu hingga kau raih itu. Ingat Hikaru, waktu itu terus berjalan, tak pernah berhenti. Maka manfaatkanlah waktu itu sebaik baiknya. Jangan sia siakan sepeser dan sedetik pun waktu yang kupunya”
Aku terdiam kembali. Bukan karena bingung mencerna kalimat yang ibu katakana. Tetapi karena aku berhasil menangkap makna dari kalimat itu. Kalimat yang sama seperti 7 tahun yang lalu, kalimat yang membuatku keheranan dan kebingungan saat umurku masih 7 tahun. Aku sekarang tahu. Aku harus belajar dan belajar. Tidak boleh bermain dan bersenang senang. Karena aku harus memanfaatkan waktu yang kupunya sebaik baiknya. Dan saat itu umurku 14 tahun.

Lalu waktu pun kembali berjalan. Tak pernah berhenti. Sama seperti yang dikatakan ibuku. Aku melewati masa sma ku dengan lancar. Nilaiku sempurna tak bercela. Guru guru memujiku. Universitas ternama pun berlomba lomba mengundangku untuk belajar disana. Namun aku merasa hampa. Tahun tahunku di sma terasa hambar. Hari hariku hanya kuisi dengan belajar belajar dan belajar. Tak pernah ada kata berhenti. Saat teman temanku asyik berkumpul dan berjalan jalan bersama. Aku diam dirumah. Belajar. Itu membuang waktu berhargaku kupikir. Begitupun seterusnya, ketika temanku mengajakku untuk menonton bioskop, aku dengan tegas menolak dan berkata aku tak butuh kegiatan yang hanya membuang waktu ku.
Aku menyesal. Teman temanku menjauhiku. Masa sma yang seharusnya menyenangkan, hilang begitu saja. Aku mulai berpikir. Apakah aku baru saja menyia nyiakan waktuku? Tapi bukannya seharusnya waktu yang kupunya kumanfaatkan sebaik baiknya? Aku sudah belajar dan semakin mendekati citaku citaku. Aku tak pernah membuang waktuku untuk kegiatan yang tidak penting. Tapi entah kenapa, aku merasa salah. Aku merasa aku baru saja membuang waktu berharga ku.
Aku pun bertanya pada ibuku. Tidak seperti dulu ketika ibu yang bertanya duluan kepadaku.
“Ibu, aku yakin dengan cita citaku menjadi astronot. Aku selalu belajar dengan giat untuk meraihnya. Waktu ku pun tak pernah kusia siakan. Aku selalu belajar karena aku tahu waktu itu terus berjalan. Aku semakin dekat dengan cita citaku dan aku merasa itu karena aku tak pernah membuang buang waktuku. Tapi bu, aku bingung. Kenapa aku merasa seperti telah membuang waktu? Kenapa aku merasa bahwa aku sudah menelantarkan masa sma ku yang harusnya terasa bahagia? Aku merasa salah bu”
Ibuku tersenyum. Bukan karena jawaban konyolku dan bukan karena jawaban yang kulontarkan. Ibu tersenyum penuh makna atas pertanyaan yang ku lontarkan.
“Kau tidak sepenuhnya salah Hikaru. Kau benar tentang tidak menyia-nyiakan waktu mu untuk belajar dan meraih cita citamu. Tapi kau salah tentang tidak menikmati waktu yang kau punya. Ibu pernah berkata bahwa kau tidak boleh menyia nyiakan waktumu bukan? Mungkin kau salah mengartikannya Hikaru. Yang ibu maksud adalah, nikmati waktumu. Ikuti alur waktumu. Jangan sia siakan waktumu. Jangan buang semua kesempatan yang telah diberikan kepadamu Hikaru. Manfaatkan itu. Bawa itu. Ikuti alirannya. Rasakan sensainya. Ingat Hikaru, inilah pesan yang bisa ibu sampaikan kepadamu, waktu itu terus berjalan, tak pernah berhenti. Maka manfaatkanlah waktu itu sebaik baiknya. Jangan sia siakan sepeser dan sedetik pun waktu yang kupunya. Jangan buang kesempatan itu Hikaru”
Dan untuk terakhir kalinya aku terdiam menanggapi jawaban ibu. Bukan karena aku bingung, tapi karena aku tahu yang sebenarnya sekarang. Bahwa kita harus menjalani hidup kita sebaik mungkin, jangan sia siakan waktu dan kesempatan yang telah diberikan kepada kita. Hidup bukan hanya untuk belajar dan bekerja. Kita juga harus menikmati hidup yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Jangan menyianyakannya,
Jangan membuang semua waktu dan kesempatan yang telah diberikan Tuhan kepada kita,
Karena ingat, waktu terus berjalan, tak pernah berhenti,
Maka manfaatkanlah waktu itu sebaik mungkin dan jangan sia siakan sepeser bahkan sedetik pun waktu yang kita punya.
Umurku saat itu 24 tahun. Saat aku sudah mengerti dengan sepenuhnya apa maksud perkataan dari ibu.
Umurku saat itu 24 tahun, dan aku sudah menjadi astronot seperti yang pernah aku cita citakan.
Dan umurku saat itu 24 tahun, ketika aku berjanji untuk selalu mengingat dan meneruskan kepada anak cucuku, apa yang selalu ibuku pesankan kepadaku.
Bahwa waktu akan terus berjalan, dan tak pernah berhenti.

Vanessa Olivia H
X MIA 3
Tantangan Persahabatan
Kriinnggggg…
Jam beker berdering keras pukul 04.50 pagi, Ghita segera beranjak dari kasur nya untuk mempersiapkan diri ke sekolah. Ghita merupakan seorang siswi yang berhasil masuk ke salah satu SMA Negeri favorit di Jakarta. Hari ini adalah hari pertama nya masuk ke sekolah baru dan menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah. Ghita sangat senang dan merasa beruntung karena berhasil mengalahkan ratusan orang yang ingin masuk ke SMA 68. Rosa—sahabat nya sejak TK— juga berhasil masuk ke SMA 68 dengan jurusan IPS, jurusan yang sama dengan Ghita. Mereka berdua berada di kelas yang berbeda, yakni kelas X IPS III dan X IPS II.
Hari pertama MPLS diawali dengan kegiatan upacara bersama kakak kelas XI dan XII di lapangan. Jujur saja, Ghita kecewa karena tubuhnya pendek sehingga ia harus berdiri di barisan belakang.
"Udah pendek, diri di belakang, ngeliat apaan dong gue," Keluh Ghita.
 Setelah kegiatan upacara, para peserta mengikuti berbagai seminar dan kegiatan sosialisasi yang disiapkan pihak sekolah, seperti pengenalan visi dan misi sekolah dan sosialisasi tata tertib. Pada awalnya, Ghita semangat menyimak deretan kegiatan. Namun, ketika hari mulai siang, banyak siswi yang mulai merasa bosan dan kelelahan, termasuk Ghita.
Setelah upacara sore, hari pertama di sekolah baru resmi usai, kini saat nya Ghita untuk kembali ke rumah. Ghita pulang sendiri dengan menggunakan Transjakarta menuju apartemen nya di daerah Perintis Kemerdekaan.
              Kira-kira lima menit Ghita menunggu, TJ yang akan ia naiki pun datang. Karena seisi TJ penuh, terpaka Ghita harus berdiri di bagian tengah bus. Di samping nya berdiri seorang laki-laki dengan tinggi semapai, kulit yang menurut Ghita berwarna coklat manis, dengan hidung yang mancung dan mata hitam pekat yang memesona. Ghita mengagumi laki-laki yang ternyata juga memakai baju SMP asal sekolah laki-laki tersebut, sama dengan Ghita yang juga mengenakan baju SMP asal.

              “Halo, anak 68 juga ya?” Ucap laki-laki itu. Ghita merasa kebingungan dengan siapa laki-laki itu bicara Karena ia tak mengenal siapa laki-laki itu.

Ghita mengarahkan jari telunjuk tangan kanan nya ke arah badannya, “Lo ngomong sama gue?” Tanya Ghita.

              “Iya astaga, gue ngomong sama lo, nama lo siapa? Gue liat lo tadi pas di 68.” Ucap laki-laki itu.

              “Gue Angghita Indrawan. Panggil aja Ghita.” Ucap Ghita sambal menyambut uluran tangan laki-laki itu.

              “Gue Jerri. Jerriko Rangga Fernando. Salken ya.” Balas Jerry.

              Entah mengapa, Ghita merasakan kupu-kupu terbang di sekitar nya. Bagi Ghita, suara Jerri memiliki ciri khas sendiri, membuat diri merasakan sesuatu. Sepanjang perjalanan, mereka banyak berbincang dan akhirnya lebih mengenal satu sama lain. Jerry masuk ke jurusan MIPA dan duduk di kelas X MIA 1, kelas yang bisa dibilang cukup ansos. Disebut anti sosial karena letaknya di lantai tiga, terpojok, dan merupakan satu-satu nya kelas X yang ada di lantai tiga.
                                                                                      ***
              Ghita berada di dalam apartemennya sendiran, kedua orang tua nya sedang pergi bekerja dan Ghita tidak memiliki adik maupun kakak. Sesampainya di apartemen, Ghita langsung bergegas ke kamar mandi. Tubuh dan pikirannya penat setelah beraktivitas dari pagi hingga sore. Ia berdiri dibawah shower cukup lama. Bagi Ghita, berdiri dibawah shower, menikmati tetesan air yg mengenai kepala dan badannya mampu melepas lelah yang dialami.

              Tiga puluh menit telah berlalu dan kini Ghita sedang asik bermain hp, ia mengobrol dengan teman sekelas nya lewat grup kelas yg mereka buat. Lalu sebuah notif pun masuk, seseorang dengan username @jkrfernando ingin menfollow dirinya. Ghita mengunci akunnya, atau bisa dibilang ia ingin Instagram nya private, hanya dilihat oleh orang-orang tertentu. Di zaman modern ini, Ghita merasa harus menyaring pergaulan, termasuk teman di media sosial. Ghita tak mau terjerumus ke hal-hal negatif yang akhirnya merusak diri dan masa depan.

              Ghita menerima permintaan pertemanan dari akun tersebut serta menfollow balik. Ternyata, itu adalah akun jerry, laki-laki yang baru saja ia kenal dan merupakan teman satu angkatannya di sekolah baru. Jujur saja, Ghita mulai menyadari kalau ia menyukai Jerry, selain wajahnya yang tampan dan otak nya yang pasti pintar, kepribadian Jerry juga baik. Jerry ramah kepada nya dan tak segan-segan memulai pembicaraan dengan Ghita.

              Notif line pun masuk, seseorang dengan display name Jerrikorf baru saja mengirim pesan kepada Ghita.

Jerrikorf : Halooo
Angghita : Halo juga
Jerrikorf : salken ya     
Angghita : iya, salken juga ya.
Jerrikorf : lagi apa nih sekarang?

              Menurut pelajaran yang Ghita dapat dari Rosa, jika laki-laki sudah mulai bertanya hal yang lebih ke arah privat dan menanyakan yang menunjukkan ketertarikan kepada kita, maka laki-laki sedang modus. Berawal dari chat itu, Ghita dan Jerri semakin dekat, Ghita pun merasa ia benar-benar jatuh cinta kepada Jerri. Namun, saat di sekolah mereka seperti orang asing, tak pernah berbicara berdua atau pun sekedar menyapa pun tidak.

              Menjadi teman sejak TK, curhat sudah menjadi kebiasaan Ghita dan Rosa. Ghita menceritakan sosok idaman baru nya tetapi tidak menyebutkan siapa nama laki-laki itu, ia masih ingin merahasiakan. Begitu pun dengan Rosa, ia juga sudah menemukan tambatan hati nya. Saat bercerita dengan Rosa, Ghita menyamarkan nama Jerriko dengan huruf X, sedangkan Rosa, menyamarkan laki-laki yang ia taksir dengan huruf Y.

              Rosa menceritakan beda dekat nya dia dengan Y saat di chat, mereka bahkan pernah pergi ke mall bersama. Ghita pun tak mau kalah seru, ia menceritakan bagaimana dekatnya hubungan mereka lewat chat maupun secara langsung. Ya, sebenarnya Ghita berbohong karena tidak mau kalah dari Rosa. Ghita dan Rosa pun sepakat untuk memberitahu siapa laki-laki yang mereka taksir dalam beberapa hari.

              Hari itu pun tiba, Ghita dan Rosa saling memberitahu siapa laki-laki yang mereka sukai.
“Eh jadi tuh gue suka sama anak MIA I, cakep banget ihh,” Ucap Rosa dengan semangat. “Gue juga tau lo suka sama anak MIA I, kan doi kita sekelas Ros,” Ghita pun memutar bola mata nya dengan jengah, “Udah, langsung ke inti nya aja, gue suka sama yang nama nya Jerri,” Ghita tersenyum, berbanding balik dengan Rosa yang merasa terkejut. “Lo suka sama dia?” Tanya Rosa dengan penuh antusias, yang dijawab dengan anggukan kepala Ghita.

              “Ghit, masa orang yang kita taksir sama deh,” Rosa berbicara. “Hah? Lah jadi X dan Y itu Jerri?” Ghita merasa bingung, apakah dia memilih sahabat atau… cinta? Keduanya hening seketika sampai akhirnya Ghita memecah kesunyian.

              “Ros, inget ga? Kita waktu SMP pernah janji, janji kalo cowok ga boleh jadi hambatan kita buat tetep bersahabat,” Ucap Ghita sambil mengaduk-aduk minumannya. “Iya Ghit, gue masih inget kok,” Balas Rosa. “Perjanjian itu masih berlaku buat sekarang juga kan?” Tanya Ghita. Rosa tersenyum, “Masih lah, gue gak rela gara-gara Jerri yang padahal belum tentu suka sama salah satu dari kita, kita jadi pecah.” Ghita tersenyum lega dan mereka berdua berpelukan. Mereka tak peduli jika Jerri hanya bermain-main dengan mereka atau ramah kepada semua orang, mereka tidak peduli lagi dengan alasan-alasan apa pun. Mereka akan tetap bersahabat, sekarang sampai seribu tahun lagi.
             
Wadi Mufid
X MIA 3
Hijrah
Belakangan ini ada yang berbeda dengan Vika, dia lebih sopan dan ramah daripada biasanya. Beberapa temannya pun kebingungan dengan sikapnya belakangan ini. Aku sebagai sahabatnya pun heran dengan perubahannya yang cukup singkat ini.

Vika merupakan teman main ku sejak SMP. Dulu dia orang yang keras kepala, egois, dan tidak punya tata krama. Walaupun perempuan, tapi sifatnya seperti seorang laki-laki. Tetapi itu dulu, sekarang kami sudah SMA dan kebetulan dia satu sekolah lagi dengan ku.

Beberapa hari ini ku lihat dia selalu menggunakan pakaian yang sopan, ditambah lagi dengan jilbabnya yang panjang. Perilakunya pun berubah menjadi lebih tenang. Parasnya pun terlihat lebih ayu diselingi dengan tutur kata yang menyejukkan hati.

Selama beberapa hari, ku lihat perubahannya semakin baik, dan ku mulai memberanikan menanyakan hal itu kepadanya.
"Hai Vika, Sekarang lebih sopan yak, terlihat lebih ayu gimana gitu.", tanyaku sambil merayunya.
"Ahh, bisa aja nih sih Rehan. Ini mah emang gue sengaja han, sekarang udah saatnya berubah, lagian juga gue udah dewasa. Gue gak mau nanti diliatin ama laki-laki mata keranjang, termasuk lu han.", jawabnya sambil meledekku.
"Heheheee... tapi baguslah temen gua udah berubah jadi lebih baik, lanjutin terus tuh."
"Siap boss, lagian juga itu emang maunya gue."
Jujur pada saat itu aku mulai kagum dengan Vika, dia berhijrah dengan sangat cepat, bahkan tidak ku duga sebelumnya.

Hari demi hari ku memperhatikannya, dalam proses hijrahnya dia masih terbawa masa-masa kelamnya, teman-temannya masih sering mengejek Vika sok alim, cari perhatian dan masih banyak lagi. Tapi... ku kagum dengan tekatnya itu yang masih berpegang teguh pada pendiriannya. Keteguhannya itu juga lah yang membangkitkan semangatku untuk berhijrah.

Suatu ketika aku bertemu Vika lagi saat ingin pulang. Kebetulan rumah kami memang searah dari sekolah.
"Eh vik, kok lu bisa tetep pada pendirian lu sih, padahal kan temen-temen lu masih sering ngeledekin, dan lu juga responnya kayak santai gitu."
"Ohh itu han, jadi gini kalo kita udah niat sungguh-sungguh dari awal, cobaan apapun itu pasti kerasa enteng. Dan satu lagi nih han, kalo ada yang ngeledekin lu itu, jadiin motivasi aja. Anggep aja kambing yang ngembek-ngembek gk jelas."
Dan blablabla... selama perjalanan kami terus berbincang-bincang mengenai masalah itu. Dan sejak itu lah aku mendapatkan pelajaran terbaik dan aku akan terus bertekad untuk menjadi lebih baik setiap saatnya. Dan terlebih lagi aku sudah mulai tertarik dengan Vika. Tapi aku sudah tau sebagai muslim yang baik aku tidak boleh mendekati hal apapun yang mendekati zina. Aku lebih baik menyimpan perasaan ini, karena jika memang benar suka, buat apa mengajak berbuat dosa bersama.

Hari demi hari kami lewati bersama, kami sama-sama saling belajar untuk memperbaiki diri kami. Tak jarang Vika memberiku nasihat jika aku sudah melenceng dari tekatku. Walaupun begitu kami tetaplah teman biasa, tanpa ada status apapun dan kami memiliki prinsip bersama yakni "Fastabiqul Khairat".

Dan satu pesanku untuk para muslimah disana, berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini?

Yusuf Shadiq
X MIA 3

Sebuah Cerita

Pada suatu hari hiduplah seekor tupai bernama paipai yang pandai berbicara. Dia sangat pandai berbicara , sehingga semua tupai di hutan itu yg berdebat dengan dia selalu kalah.

Lalu paipai semakin tenar dan semakin banyak orang yg menyukai dia karena kehebatannya. Paipai pun mulai bertaruh dengan kacang kenari karena dia sudah merasa yakin dengan kemampuannya

Tak lama kemudian paipai menjadi tupai dengan kacang kenari terbanyak sehutan. Karena kekayaannya itu paipai menjadi sombong dan serakah. Semua kacang yg ia miliki dia jaga baik baik dan tidak mau berbagi. 

Setelah lama dia menikmati kekayaannya, dia pun menjadi gendut karena jumlah kacang yang dia makan sangat banyak. Sampai akhirnya ada seekor tupai penantang paipai, dia menantangnya dengan mengejek paipai sebagai tupai yang payah berdebat.
Dia juga menantang paipai untuk bertaruh dengan seluruh kekayaannya. 

Mereka pun berdebat , perdebatan itu sengit sekali sehingga penontonnya ada panik histeris. Sampai akhirnya paipai sudah lelah berbicara karena kegendutannya menghambat dia melantunkan kata kata yang banyak, dan paipai kalah dalam perdebatan ituu. Akhirnya paipai menyesal karena dia tidak suka berbagi, dan karena keserakahannya itulah yang menyebabkan dia jadi miskin.

Zabina Chaerunissa
X MIA 3

LIBURAN YANG MENYENANGKAN
Hari ini hari terakhir Andy mengerjakan Ujian Kenaikan Kelasnya. Andy berusaha untuk fokus terhadap soal yang Ia kerjakan, namun pikirannya sudah melayang ke Jepang. Sepulang sekolah nanti, Andy dengan keluarganya akan pergi ke Jepang untuk mengisi liburan panjang. Andy sudah memikirkan kemana saja yang akan ia kunjungi sesampai di Jepang. Terlalu banyak berpikir tentang liburan, Andy tidak menyadari bahwa waktu pengerjaan tinggal 15 menit lagi dan baru setengah soal yang Ia sudah selesaikan. Andy bergegas mengejar ketinggalannya dengan teliti.
Bel sudah berbunyi, Andy yang merasa sangat senang bergegas untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, keluarganya sedang bersiap-siap. Bibi sudah merapikan koper Andy, jadi Andy hanya butuh mandi dan berganti pakaian sebelum berangkat ke bandara.
Dalam perjalanan ke bandara, Andy tidak bisa berhenti tersenyum. Ia sedang membayangkan Jepang yang sangat indah dan tentunya dipenuhi oleh bunga sakura mengetahui bulan ini bunga sakura di Jepang sedang mekar. Hanya butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di bandara dan dua jam untuk menunggu pesawat mereka terbang.
Di pesawat, Andy merasa lelah. Karena otaknya sudah dikuras selama ujian tadi dan selama perjalanan ke bandara ia tidak tidur, akhirnya Ia memutuskan untuk tidur selama penerbangan. Setelah dibangunkan oleh Bibi, Andy menyadari bahwa Ia telah sampai di Jepang dengan selamat.
Hari sudah larut dan keluarga Andy memutuskan untuk langsung ke tempat penginapan. Tempat penginapannya sangat bagus, Andy dan yang lain sempat berfoto ria di lobby hotel sebelum mereka masuk ke kamar masing-masing. Andy langsung terlelap dan siap untuk menghadapi perjalanan esok hari.
Keesokan harinya, keluarga Andy pergi ke daerah dimana banyak bunga sakura yang mekar. Mereka berfoto-foto dengan latar belakang bunga sakura yang indah. Setelah itu, mereka pergi belanja ke suatu tempat yang memiliki banyak toko-toko menarik. Mereka membeli baju, peralatan make up untuk ibu dan kakak Andy, mainan mobil-mobilan, dan oleh-oleh untuk yang ada di Jakarta. Malamnya, mereka makan di sebuah restoran terkenal, dan makanannya sangat enak sampai Andy sudah merasa terlalu kenyang.
Hari kedua, mereka pergi ke Fuji-Q, sebuah amusement park yang terletak dekat dengan Gunung Fuji. Disana, mereka bermain banyak sekali wahana, dan melihat Gunung Fuji yang indah. Selain bermain, mereka juga mencoba berbagai makanan ringan seperti gulali, churros, dan sebagainya. Tak lupa juga mereka membeli cinderamata dari taman wahana tersebut. Malamnya mereka memilih untuk langsung pulang ke hotel karena terlalu lelah.
Perjalanan mereka hanya empat hari saja. Hari ketiganya mereka berkunjung ke Disneyland. Mereka melihat berbagai macam tokoh kartun seperti Mickey Mouse, Minnie Mouse, Donald Duck, dan yang lain. Mereka juga berkunjung ke tempat yang dibuat layaknya kita sedang berada di dunia Harry Potter. Mereka membeli banyak hal disana, seperti Butterbeer, minuman khas Harry Potter, tongkat sihir dan jubahnya, dan masih banyak lagi.
Hari terakhir, mereka mencoba berbagai kuliner yang ada di Jepang. Mereka makan banyak makanan lezat. Sering kali mereka membeli makanan ringan yang tidak kalah juga enaknya dengan makanan yang ada di restoran. Merasa sudah kenyang, mereka membeli berbagai souvenir lagi untuk dibawa pulang, dan langsung pergi ke bandara. Andy merasa senang sekaligus sedih. Ia sedih karena harus berpisah dengan Jepang, namun ia tetap senang karena sudah mengunjungi tempat-tempat yang bagus. Mereka sampai di bandara pukul tujuh malam dan terbang pada pukul sembilan malam. Selama terbang pulang, Andy kembali terlelap karena lelah sudah berjalan seharian. Andy tidak akan melupakan perjalanan yang sangat seru ini. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Jepang yang indah lagi.

Zidan Adidarma

X MIA 3

Siang di Pantai Normandia

Angin menyepoi mukaku yang baru terjaga dari tidur. Rasa asin yang terbawa dari laut bukanlah hal terbaik di pagi hari. Jam 5.00 pagi menandakan giliranku jaga pos, giliranku menjalankan kewajibanku
“gutten morgen Kreiger! Heh, kau bersemangat seperti biasa tampaknya,” Temanku,Hans, memberiku salam
“sebuah kehormatan dapat mengabdi pada Fuhrer, Hans. Apakah kau tak bersemangat?”
“ Hoho, kau sendiri tahu kan aku bukan penggemarnya seperti mu. Aku hanya ingin mati di medan perang saja seperti..,”
“ ya ya, ayahmu, kita sudah sering bahas ini sejak kita kadet,”
“Bukan bermaksud menghinanya, tapi apakah kau juga merasa Fuhrer terlalu paranoid sampai ia ingin pantai sekecil ini dijadikan benteng,”
“Jaga mulutmu, kau dapat diadili karena itu”

Hans yang selalu bersemangat pertama kali bertemu denganku saat kami masih menjadi kadet. Ia memotivasi dirinya untuk kehormatan ayahnya yang meninggal dalam Serangan Ludendorff, secara pribadi dia tak terlalu menyukai Fuhrer Karena ia pernah berhutang nyawa pada seorang dokter Yahudi.
Karena itulah aku hanya menganggapnya sebagai teman saja.

Berbeda dengannya, aku membenci Yahudi yang seenaknya mengganggu kesucian Jerman. Di tengah keputusasaan dan kekacauan, Partai Buruh dipimpin Fuhrer berhasil menebus dosa para yahudi di tanah air. Demi dirinya aku berani mengorbankan diri.

“Tampaknya kalian sedang bersenang senang Kreiger, Apakah kalian sudah tumpul?”bisik seseorang.
Aku dan Hans terkejut, “Siap! Kami pasukan pembela akan selalu menjaga tanah air, akan selalu menjaga Fuhrer, akan selalu..”
“Cukup, cukup. Arn, aku perlu bicara denganmu,” Ucap Komandan sambil melihatku, “Hans, dapatkah kau pergi”
“siap pak,”

Ada dua kemungkinan jika Komandan ingin berbicara pribadi dengan prajurit, entah ia ingin bersenda gurau atau prajurit itu akan diadili militer. Kemungkinan pertama hanya akan terjadi jika dan hanya jika ia sudah mati, jadi aku bersiap menyeret Hans jika perlu.

“Tidak, kau tak akan diadili militer atau apa pun, kau tahu? adikmu Adamand Alfonso telah menghilang dalam tugas,”
“Kita tidak tahu apakah ia gugur atau ditangkap, walau begitu aku ingin kau tahu ini”

Aku lupa satu kemungkinan lagi, komandan kadang memberikan berita kematian keluarga para prajuritnya. Tak perlu dikatakan lagi, aku menyayangi adikku. Tak ada hariku kulewati tanpa memandang foto kami berdua. Dahulu hanya dia yang kumiliki. Hanya dahulu..

Aku tak mengucapkan sepatah kata lagi di hari utu. Siang berjalan sangat lama, aku menghabiskan hariku memandang laut lepas. Pandanganku tertuju pada sepasang camar yang hinggap di atas menara penjaga. Aku melamun dan berpikir betapa menyenangkan menjadi camar. Makan yang diinginan, hidup bebas dan tak sendiri. Berita kematian adikku mengingatkanku bahwa ini medan perang, mengingatkanku bahwa aku adalah prajurit. Prajurit yang dapat mati kapan saja saat menjalankan tugas.

Aku memberitahu Hans tentang hal ini. Hans mencoba menceriakan ku,tapi ia tahu akan butuh lebih dari sekedar permainan kartu dan beer. Ia tahu masa lalu ku dan seberapa dalam cintaku terhadap adikku. Sore itu saat istirahat,ia makan di sebelahku.
“Jika aku benar kau hanya pernah menceritakan masa lalu mu padaku saja, jadi akan tak adil jika aku tidak memberitahu mu sesuatu” ucapnya

“owh, aku kira anak seorang pengkhianat tak punya masa lalu,” jawabku sinis

“ Ha ha ha, disitulah kau salah, aku hanya ingin berbagi kisah dari teman ayahku,sebut saja Nico”
“kau tahu, Nico adalah prajurit yang pernah bertempur di pertempura Reims, ia memilikki seorang sahabat yang pintar dan berani. Sahabat Nico itu menemukan kejanggalan ketika Britania dan Prancis dapat dengan mudah mengalahkan mereka. Menurutmu mengapa pasukan kecil mereka dapat mengalahkan Jerman?”

Keheningan sejenak, sampai aku menjawab, “Informasi”

“Ya, Sahabatnya mengajak Nico untuk bergabung dalam penyelidikannya. Mereka mencari informasi dari petinggi,pewira , sesama prajurit bahkan penjaga kuda hingga mereka tahu ada seorang pengkhianat di antara mereka”

“Sahabat Nico pun menghadap sang Komandan mereka dan keesokannya Sahabatnya itu dieksekusi di tempat atas tuduhan pengkhianatan”

“Demi Tuhan, Hans! Ayahmu di fitnah?” Jawab diriku yang kaget mendengar ceritanya

“Daan.. dibunuh, siapa sangka yang kuat menentukan mana yang benar, tidakkah kau setuju?”





Komentar