KUMPULAN CERPEN X MIPA
2
Petaka Iri Hati
Pada suatu hari,hiduplah
seekor bunglon di hutan.Ia adalah hewan yang baik dan juga tidak pendendam.Ia
sering membantu penghuni hutan dan sekitarnya.Ia bernama tatang.namun,dibalik
kebaikanya bukan berarti ia tidak mempunyai musuh.Johny,Sang kadal yang selalu
mencaci dan menghina tatang lantaran iri padanya.namun,karma selalu datang pada
waktunya.Keesokan harinya,seluruh penghuni hutan telah pergi meninggalkan habitatnya untuk mencari tempat berlindung.Isu yang tersebar bahwa kelompok pemburu akan datang pada siang hari.
Siang hari pun tiba,Tatang dan Johny telah membuka kelopak matanya Tanpa mereka mengetahui bahwa siang itu akan datang kelompok pemburu."zzztt" suara panah terdengar.Si Johny ketakutan.Tapi tidak terjadi pada Si Tatang.Ia hanya perlu melanjutkan tidurnya dan menyatu dengan lingkungan yaitu berubah warna.Lalu,Johny sedang ketar ketir dengan Sang Pemburu.Tanpa ia sadari,ia telah diujung batang.Johny pun terjatuh ke dalam lubang.hari pun berlalu.
"Tolong.....tolong" suara yang telah membangunkan Tatang ternyata suara Si Johny.Tanpa berpikir panjang ia langsung menolong Johny."Johny,pegang dengan eratlah tangkai ini!" seru Tatang."baiklah" jawab Johny.setelah kejadian itu berlalu,Johny meminta maaf kepada Tatang atas perbuatnya selama ini.Di akhir cerita,mereka berteman dan saling menolong.
SELESAI
Nama : Muhammad Ichsan Yusuf
Nama : Ardhani Priangga
Di suatu kampung ada sebuah pesantren. Pesantren itu dipimpin oleh seorang kiyai yang baik dan bijaksana. Santri-santri yang mengaji di sana sangat banyak, mereka tinggal di kobong-kobong yang telah disediakan. Cerita ini dimulai ketika ada seorang anak dari kampung lain yang disuruh oleh bapaknya agar mengaji di pesantren ini. Anak itu bernama Amirudin. Amirudin adalah anak terakhir dari 8 bersaudara. Dia baik, tapi ketika dia belajar di sekolah dia lama sekali untuk bisa menyerap dan mencerna materi yang diberikan gurunya. Oleh karena itulah nemo memasukannya ke pesantren. “siapa tahu anak saya pinter di bidang agama” kata nemo.
Satu hari kemudian, tepatnya pada waktu mengaji ashar. Amir dipanggil oleh kiyai yang sedang mengajar para santri. “santri baru silakan maju ke depan!”
Amirudin pun maju ke depan dengan wajah yang ketakutan. “ada apa kiyai?”
“kamu ini santri baru, coba perkenalkan diri di sini!”
“baik kiyai” jawab Amir dengan sedikit rasa takut.
“Nama, Amirudin…”
“ussh…” sahut kiyai. “jangan lihat muka saya, ke sana menghadap santri-santri!”
“ba.. baik kiyai”
“Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…”
“wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…” jawab para santri dengan serentak.
“per… perkenalkan namaku Amirudin,”
“wish… keren banget namanya” cetus salah satu santri.
“terimakasih” ucap Amirudin dengan tersenyum.
“baik… Aku lanjutkan. Aku dari kampung tamiang. Dan Aku biasa dipanggil cimplux”
“Bentar-bentar” ucap seorang santri.
“Nama kamu Amirudin, kok bisa sih dipanggil cimplux? Jauh banget. bener gak kawan?”
“Iya bener jauh banget” bisik para santri dengan pelan.
“Ehem…” raung kiyai.
“Enggak, sebenernya nama itu ada asal-usulnya” sanggah Amirudin
“Asal-usul? Kayak nama tempat aja” kata santri sambil tertawa.
“Ehem.. jadi gini, waktu Aku kecil, kira-kira 3 tahunan lah. Aku suka banget sama makanan yang namanya cimplung (sejenis pisang goreng). Singkat cerita, ketika Aku sedang asyik makan cimplung, tiba-tiba Ibuku memanggilku.
“Amirudin… sini nak”
Aku langsung berlari menuju Ibu. Tapi, sedikit lagi sampai, Aku terjatuh dan terdengar suara “PLUK”. Sponton Ibu tertawa dan menghampiriku. Lalu ibu memukul-mukul pantat kecilku dengan lembut dan berkata “cimpluk, cimpluk…”
“oh… saya tahu, pas kamu jatuh pasti gak pake celana ya?” tebak salah seorang santri
“yap… bener banget. Tapi, kok kamu tahu sih?” Amir menanya balik.
“Ya tahulah, soalnya saya pernah ngalamin pas kelas 4 SD” jawabnya sambil tersenyum lebar.
“wah… hebat kau” sahut santri lain padanya.
“wih… yaiyalah, Borgom gitu loh” ucap dia.
Tapi akibat perkembangan zaman, nama Cimpluk berubah menjadi Cipluk.
“Segitu saja dariku, wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…”
“wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…” jawab seluruh santri dengan serantak dan dihiasi dengan tepuk tangan.
“ya… terimakasih, siapa tadi panggilannya?” tanya kiyai
“panggil aja Ciplux kiyai” jawab Amirudin dengn tersenyum.
“oh… yah… silakan duduk kembali” perintah kiyai.
Setelah beres ngaji, Ciplux kembali ke kobong. Dia menempati kobong yang bernama “IBNU HAJAR” dimana dia ditemani 4 orang santri lainnya.
“Ciplux, sini bantuin kita berempat” ucap Gondez.
“iya bentar, mau ngapain?”
“Cuciin beras nih!” perintah Gondez.
“baiklah, buat apa ni beras,?” tanya Cipluk.
“ya buat makanlah” sahut Faiz.
“Berhubung kamu santri baru, kamu gak usah patunganlah.” Ucap Borgom.
“Serius nih?”
“ya seriuslah” jawab Izul.
Mereka pun masak dan makan bersma. Malam tiba, mereka ngaji lagi dan setelah selesai, mereka semua tidur.
Pura - pura Bahagia
Di bangku pojok
kelas ini, dududklah seorang anaka bernama Reni. Ia adalah anak yang periang,
disaat teman - temannya tertawa, ia yang paling keras tertawa. Tetapi aku
perhatikan, tawa nya bukan tawa bahagia melainkan tawa menutupi kesedihannya.
Tawany amenghasilkan ekspresi sedih di mukanya. Aku penasaran dengannya, aku
ingin mengetahui lebih dalam tentangnya.
Keesokan
harinya, aku datang ke sekolah lebih awal. Dan ternyata, sudah ada Reni disana,
di tempat duduknya. Ia sedang menunduk sambil memperhatikan sebuah foto. Tak
lama kemudian, aku mendengar suara isakan. Disini hanya ada aku dan Reni, belum
bertambah seorangpun temanku. Aku melihat ke arah Reni, ia sedang menangis. Aku
coba mendekat dan menanyakan kepadanya. Awalnya ia tidak ingin menceritakannya.
Tak masalah bagiku. Tetapiu saat aku ingin kembali ke tempatku, Reni menarik
tanganku. Dan ia segera menceritakan masalahnya.
Masalah yang
dialami Reni, belum seberapa dibanding masalahku. Tetapi Reni bisa tertawa.
Dari Reni aku tau, bahwa orang yang paling sering tertawa belum tentu jadi yang
paling bahagia, dan belum tentu jadi yang tidak punya masalah.
Nama : Shinta Dewi Cahyani
RUMAH BARU
Waktu itu hari Jumat. Entah mengapa ibu dan ayah memutuskan membeli rumah dan pindah di samping rumah yang menurutku seram dengan lingkungan yang gelap.
Aku terdiam melihat lingkungan rumahku. Saat aku pertama membersihkan kamar entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Aku melihat bingkaiku jatuh tanpa ada hal apapun.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 23.00 aku tertidur karena lelah
di kamar baruku itu. Tapi saat aku tertidur. Aku mendengar suara gemericik air
entah dari mana. Dan semakin menyeramkan saat aku terdiam dan melihat jam sudah
pukul 23.55. Terdengar suara lolongan anjing dan diteruskan dengan isak tangis.
Lalu aku
terbangun dan kulihat tidak ada siapapun di kamarku dan pada saat yg bersamaan
orangtuaku datang dan berbicara bahwa mereka mendengar hal yang sama, sehingga
pada ke esokan harinya kami meninggalkan rumah baru tersebut dan berpindah ke
rumah paman.
Nama : Bintang Prakasa
Absen : 4
Kelas : X MIA 2
SALAH
NURUNIN RESLETING
Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.
Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.
Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.
Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.
“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”
Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”
Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.
Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.
Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.
Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.
“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”
Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”
Pada hari Minggu
yang cerah, Mila sedang melakukan aktivitas pagi yang biasa ia lakukan yaitu
menyiram tanamannya. Mila sangat menyukai alam. Dia memelihara bunga mawar,
melati, dan anggrek. Setiap pagi Mila tidak pernah absen untuk menyiram
tanamannya. Mila duduk di bangku kelas 2 SMP. Ayahnya bekerja di sebuah
perusahaan iklan dan ibunya merupakan ibu rumah tangga. Ia mempunyai seorang
adik laki-laki yang bernama Rian. Rian duduk di bangku kelas 5 SD. Mila
terkadang tidak akur dengan adiknya, seperti kakak beradik pada umumnya.
Berbanding
terbalik dengan kakaknya, Rian merupakan anak yang tidak peduli dengan alam
sekitarnya. Selain suka dengan tanaman, Mila cinta binatang. Ia memelihara ikan
dan kucing. Kucingnya berwarna putih dan namanya Berry.
Saat Mila
sedang menyiram tanamannya, ia mendengar suara berisik dari luar rumahnya.
Ternyata itu Rian, sedang memaki seekor kucing. “Pergi sana! Jangan mencuri
yang bukan milikmu!” katanya sambil menendang badan kucing tersebut. “Rian!
Stop! Jangan ditendang begitu kasihan dia!” kata Mila menarik lengan Rian.
“Jangan ganggu deh kak!” kata Rian
kesal, “kucing jelek ini mengambil ikan di dapur, kakak lupa sih, kenapa pintu depan ga di tutup? Masuk deh dia.” Mila menjawab,
“Tapi jangan sampai ditendang begitu dong.
Kamu ga lihat badannya kurus begitu?”
“Aku tidak peduli,” kata Rian lalu dia bergegas masuk ke rumah. Mila masih
sangat kesal, sewaktu dia mau melihat kondisi kucing itu, kucingnya sudah
hilang. Lalu dia pergi masuk.
Keesokan harinya, yaitu hari Senin, pukul 6.15 Mila dan
Rian sudah siap untuk ke sekolah. Kebetulan sekolah mereka berdekatan dan tidak
jauh dari rumahnya. Mila mengingat kejadian kemarin dan langsung melihat Berry.
Dia takut Rian bisa saja melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Rian! Jangan
pernah kau menyentuh Berry dengan kasar ya! Ikanku juga. Awas sampai iya,” kata
Mila pada Rian. “Seperti tidak ada hal lain aja
yang bisa kulakukan,” jawab Rian.
Setelah seharian sekolah, Mila sampai di rumah. Mila
kaget melihat kucing kurus yang kemarin pagi. Ternyata, ia habis melahirkan dan
punya 3 anak. Dia sangat iba melihatnya. Lalu, ia bergegas ke dalam untuk
mengambil makanan. Untung, ia masih punya makanan anak kucing karena pernah
dititipkan beberapa bulan punya saudaranya. Dia lihat ada Rian di dalam lalu
berkata, “Rian, ikut aku keluar.” Mila kaget karena Rian langsung menyetujui.
Mereka berdua sampai di tempat kucing-kucing itu. Lalu Mila kaget karena
ternyata sudah ada makanan disitu tapi ia tidak lihat tadi. “Itu aku yang
kasih,” kata Rian. “Apa?!” Mila terkejut, “kesambet
apa Ri?” “Iya kak, aku sadar kok
perbuatanku sangat salah. Mereka juga makhluk Tuhan. Aku tidak akan
mengulanginya lagi,” kata Rian. “Wah!!! Bagus deh, akhirnya kamu sadar,” kata
Mila senang. Setelah itu, Rian punya tanaman sendiri, ia pun membeli hamster.
Tanaman, binatang, itu semua makhluk Tuhan. Kita harus menjaga dan menyayangi
mereka selalu.
Nama : Talitha Abel
HATI-HATI…
Karya
: Adelia Trinita
Bandung adalah kota yang
sejuk dan indah menurut saya. Kota yang dikelilingi banyak pohon ini membuat
hati saya merasa tenang. Orang-orang yang ramah dan cuaca yang sejuk sangat
sulit saya temukan di kota besar seperti Jakarta. Hal itu lah yang membuat saya
ingin terus kembali ke Bandung. Suatu hari, saya dan keluarga saya sedang
berwisata ke salah satu tempat di wilayah Lembang,Bandung. Tempat wisata ini
adalah tempat untuk berkuda, memancing, dan bermain, namanya adalah De Ranch. Tempat wisata ini sangatlah
menarik karena dihiasi bunga dan dedaunan. Di sana juga terdapat danau yang
masih sangat jernih. Saya berkuda mengelilingi perkebunan dan hal ini membuat
mata saya segar. Saya juga bermain trampoline
dan outbond disana. Setelah saya dan
keluarga saya menghabiskan waktu di tempat wisata, kami sekeluarga pun
memutuskan untuk kembali ke rumah kami setelah sholat maghrib.
Sebelum kami melakukan
perjalanan pulang, ayah saya bertanya kepada salah satu petugas di tempat
wisata itu. Ayah saya menanyakan jalan manakah yang lebih efektif untuk menuju
ke Jakarta. Setelah mengetahui jalan mana yang akan kami lalui, ayah saya ingin
memastikannya dengan menggunakan GPS ,
tetapi seketika GPS tersebut tidak
berfungsi. Karena tidak ada cara lain, akhirnya, kami mencoba memulai
perjalanan. Setelah berjalan, di pertigaan ayah saya bingung dan memutuskan
untuk bertanya ke tukang parkir yang berada di sebelah mobil kami.
“Punteun kang, mau nanya, kalo ke Jakarta lewat mana ya? ” tanya
ayah saya.
“Belok kiri aja, lewat situ
paling satu jam , hati-hati ya semoga selamat sampai tujuan,” ujar tukang
parkir.
Lalu, kami pun mengikuti
arahan yang diberikan tukang parkir tersebut. Kami melewati jalan yang
benar-benar sepi, kami tidak melihat seorang pun di jalan itu dan tidak ada
satu kendaraan pun yang melintas di jalan tersebut. Otak kita semua pun
dipenuhi banyak pertanyaan aneh, tapi kita tetap menelusuri jalan yang sepi
itu.
Setelah berjalan untuk cukup
lama, kami menemui sebuah masjid yang besar sekali, bahkan mungkin istana saja
kalah megah nya. Masjid tersebut dihiasi banyak lampu, kami pun terkesima
dengan nya. Kami pun akhirnya membicarakan masjid indah tersebut yang berada di
dekat sebuah danau yang sangat luas. “Duk!” tiba-tiba ada yang memukul keras
pintu samping mobil kami, namun, tidak ada apapun disana. Suara yang keras dari
pukulan tersebut membuat semua orang di dalam mobil panik. Aneh nya lagi, sejak
ada pukulan itu, kaki kami menjadi lebam yaitu biru-biru. Kami semua mulai
merasa ada yang tidak beres dari semua ini. Ayah saya pun akhirnya berhenti di
tempat yang ada lampu dan tidak terlalu sepi untuk memeriksa keadaan mobil
setelah ada pukulan keras. Tapi, tidak ada kerusakan apapun di mobil kami.
Kami pun meneruskan
perjalanan dan setelah dipikir-pikir mengapa daritadi kami melewati jalan yang
sama. Setelah kita nengok kea rah kana nada kuburan di sepanjang jalan. Aneh
nya lagi, setiap mobil yang lewat berwarna putih dan langsung menghilang. Kami
semua pun mulai pasrah dan berdoa.
Akhirnya, setelah jalan 4
jam kami bertemu kantor polisi dan disana ayah saya bertanya kembali.
“Maaf pak, mau nanya, ke
Jakarta benar lewat sini?” tanya ayah saya.
“Benar pak , hati-hati ya di
jalan,” jawab pak polisi.
Kami pun meneruskan
perjalanan dan akhirnya kami sudah berada di jalan tol, kami semua pun merasa lega sudah menemukan
jalan yang ramai.
Tepat jam 12 malam kita semua sampai di rumah. Hal yang baru
saja kita alami merupakan pengalaman baru dan pelajaran untuk jangan pergi
setelah waktu maghrib. Kami pun meneliti apa yang sebenarnya terjadi, kami
bertanya pada orang yang berpengalaman. Ternyata kita semua telah dibawa
ke alam gaib dan kita semua bisa saja meninggal dunia. Kami pun merasa
bersyukur masih bisa diberikan kehidupan dan kami menjadikan hal tersebut
sebagai pelajaran hidup.
Ruru si Buku Harian
Biru
Hai, kenalkan aku Ruru, sebuah buku harian berwarna
biru. Aku milik seorang anak perempuan cantik bernama Tania. Tania anak yang
baik dan sangat menyenangkan. Ia juga senang membantu orang lain. Ia pun peduli
pada lingkungan di sekitarnya. Aku ingin berbagi kisah tentang Tania kepada
kalian. Kisah ini ditulis Tania beberapa hari setelah ia dan aku mengalami
kejadian dalam kisah ini.
Tania anak perempuan cantik yang disukai banyak orang
karena ia ramah, peduli, dan senang menolong. Suatu ketika ia pernah bercerita
kepadaku,
“Hai Ruru, tadi aku melihat sesuatu yang membuatku
tertegun. Tadi kebetulan aku melewati sebuah jalan memutar sepulang sekolah,
sengaja ku pilih jalan ini karena aku ingin melihat suasana di jalan yang belum
pernah aku lewati ini. Di sana aku melihat ada sebuah rumah tangan sangaat
kecil, aku pun berfikir siapa ya yang kira-kira tinggal di sana? Sambil terus
berjalan dengan perlahan, aku memperhatikan pintu rumah itu. Setelah cukup jauh
dari rumah itu aku yang masih penasaran memutuskan menunggu, kebetulan di dekat
aku berdiri ada bangku dengan pohon yang menaungina menghindarkan yang duduk
disana dari panas matahari. Tak berapa lama, aku melihat seseorang yang
wajahnya seperti aku kenal berjalan menuju rumah itu dan masuk ke dalamnya.
Setelah kuperhatikan ternyata benar, wajah anak perempuan itu adalah Valita,
teman sekelasku. Ruru, aku tidak tahu kenapa Valita masuk ke rumah itu,
setahuku ia tidak tinggal di sana. Aku ingin menceritakan tentang Valita, Ruru.
Valita orang yang sangat menyenangkan dan juga ramah, dan ia pun selalu
berwajah ceria. Aku sangat senang berteman dengannya. Tetapi, aku memang belum
pernah menanyakan di mana rumahnya. Aku hanya mendengarnya dari teman-teman
yang lain. Kata mereka Valita tinggal di sebuah rumah dekat sekolah. Melihat
kejadian hari ini membuatku bingung, Ruru.”
Begitulah sedikit kisah yang ia bagi kepadaku, buku
hariannya.
Tania selalu mencurahkan perasaannya padaku setiap
hari, aku pun selalu dibanya kemana-mana. Suatu ketika, bebrapa hari setelah
kejadian itu, aku dibawa Tania ke sekolah. Ternyata Tania ingin menyelidiki
Valita dengan aku sebagai teman dan catatannya.
“Ruru, hari ini tanggal 5 Mei, aku ingin mengikuti
Valita sepulang sekolah, kamu temani aku ya…..” Tulis Tania sesampainya ia di
sekolah.
Teng… Teng… Teng… Teng… bel pulang sekolah pun
berbunyi.
“Ruru, ayo kita mulai penyelidikannya.” Tulis Tania
sambil matanya sesekali melihat Valita yang sedang membereskan buku. Tak lama
kemudian Valita pun beranjak keluar kelas, diikuti Tania yang berjalan perlahan
di belakangnya. Valita berjalan menuju jalan memutar yang waktu itu dilewati
Tania. Dibelakangnya, Tania berjalan mengendap endap mengikutinya. Akhirnya
sampailah Valita di depan rumah itu, ia pun mengetuk pintu dan mengucapkan
salam. Dari dalam rumah terdengan balasan, kemudian ia masuk.
“Ruru, kenapa Valita menutup pintunya ya? Apa benar
itu rumahnya?” tulis Tania heran sekaligus bingung.
Tania pun mendekati rumah tersebut dan ia tidak
sengaja mendengar percakapan yang terjadi di dalamnya.
“Neng Valita datang kemari lagi? Kayaknya ibu udah
ngerepotin neng Valita ya, sampai harus repot repot antar makanan ke sini. Lain
kali ibu aja yang ambil ke sekolah eneng.” Terdengar suara ibu-ibu.
“Gak apa-apa bu, Valita senang bisa nganter makanan ke
sini sekalian main sama Sita kan udah lama gak ketemu.”
“Ya udah neng main dulu sana Sita, biar ibu bawa
makanannya ke belakang. Kita makan sama-sama aja di sini!”
“Makasihhh banyak bu, tapi Lita uadah ada janji sama
Mama mau pulang cepat, mau bantuin masak katanya pesenak catering lagi ramai.”
“Oh ya udah neng, makasih juga buat makanannya, besok
ibu aja yang ambil makanannya ke sekolah eneng. Ibu titip salam buat Mama ya…”
“Ok bu, nanti Lita sampaikan. Lita pamit dulu ya..
Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Kreeekk… pintu pun terbuka, mengagetkan Tania yang
sedang asyik mendengar pembicaraan itu. Tania pun segera tersadar dan
menghampiri Valita dengan tergesa.
“Valita.!! Lita.! Lita.! Tungguin aku dong..” Tania
berteriak mamanggil Valita.
“Haah… Haahh… akhirnya kamu berhenti juga. Tadi, kamu
ngapain di rumah itu?” kata Tania to the point.
“Lho, bukannya kamu udah tau?” balas Valita sebal.
“Hehehe, maaf Lita aku udah nguping pembicaraan kamu.
Habisnya kamu sering banget ke rumah tu dan gak pulang bareng yang lain, jadi
aku memutuskan buat ngikutin kamu, ehh gak sengaja denger pembicaraan kamu di
rumah itu deh.” Jelas Tania panjang lebar.
“Iya, iya, tenang aja aku udah maafin kamu kok Tan.
Tadi itu, aku nganterin makanan pesenan Mamaku buat ibu itu. Ibu itu
tadinyapembantu yang bantuin Mamaku ngurus catering, tapi karena anaknya sakita
dia jadi berhenti sementara.” Valita menjelaskan.
“Ohh begitu, sekali lagi aku minta maaf ya Lita…”
“Udah… gak apa
apa, kita pulang bareng aja yuk udah sore” ajak Valita.
“Yukk!!” Tania menerima ajakan itu.
Aku menjadi saksi percakapan mereka sore itu. Cdan
semua kisah mereka hari ini tertulis di salah satu lembarku, Ruru buku harian
biru.
Nama: Azka Muthia Saffana
Absen: 03
Kelas: X MIA 2
Nama : Chiquita Jasmine Tolluka
Semuanya dimulai ketika Farah berjalan pulang dari
warung. Tidak ada yang salah sama sekali dengan situasi tersebut. Angin meniup
pepohonan hingga menari, menemani perjalanan Farah yang sepi. Sandalnya yang
sederhana membuat bunyik ‘takk’ kecil ketika menyentuh aspal. Di tangan Farah,
sebuah kantong plastik hitam bersemayam.
Ketidakpastian. Itulah yang dirasakan Farah setiap hari.
Ketika ia berjalan, berlari, berbicara, bernapas- semua itu Farah pikirkan.
Mungkin pikirannya terlalu padat dan dalam. Farah menggeleng kepalanya. Ia
hanya terlalu paranoid dengan setiap hal.
Saat itu juga, sebuah truk melintas dan hampir menabrak
Farah. Darah seakan-akan tertarik dari
wajahnya, karena pucat pasi adalah yang tampak seketika. Matanya mebelalak
dengan kaget. Kaki Farah gemetar dengan rasa ngeri dan syukur Alhamdulilah.
Namun ada yang salah.
Tangan Farah yang bergetar seiring dengan detak
jantungnya yang sangat cepat, terasa kosong. Tekstur halus yang tadinya menekan
kulitnya dengan tajam hilang dalam sekejap.
‘ tidak mungkin, ‘ pikir Farah seraya berdoa dalam hati.
Matanya melirik ke kanan secara perlahan. Setiap detik terasa seperti satu
menit bagi Farah. Pikirannya dipenuhi dengan berkas-berkas harapan yang mulai
menyempit dan menggelapi terowongan harapannya. Betul saja. Apa yang dipikirkan
Farah benar.
Farah tahu jika seseorang menyelamatkannya. Tidak, bukan
seseorang, ‘Sesuatu’ lebih tepatnya. Dilihatnya warna sawo matang yang sangat
familiar. Mulus seperti porselen, ditutupi hitam pekat yang merefleksikan
cahaya matahari terik. Keringat dingin bercucuran seperti sungai, namun Farah
tidak mempedulikan itu. Ia merasa mual dengan pemandangan di depannya. Pada
saat itu, hanya satu kalimat yang terlintas di pikiran Farah,
“ Telorku sekilo pecah- “
Lingkungan
Baru Doni
Doni
adalah seorang pelajar SMA yang baru saja pindah dari Jakarta ke rumah barunya
di daerah Bandung. Pergaulan di sana sangat berbeda dari yang ia rasakan di
kota asalnya. Mulai dari permainan hingga bahasa yang dipakai. Doni pun merasa
sangat asing karena ia tak mengerti apapun.
Hampir
dua bulan berlalu Doni merasa seperti itu. Di sekolahnya, ia termasuk anak yang
pendiam sehingga jarang yang mengajaknya bermain bersama. Padahal, saat di
Jakarta, ia memiliki banyak teman bermain. Bahkan, tak jarang temannya
berkunjung ke rumahnya untuk bermain. Saat ini, ia hanya memiliki satu teman
yang duduk sebangku dengannya di
sekolah. Temannya bernama Irfan. Doni selalu bertanya kepadanya saat ia
kesulitan belajar, atau hanya ingin sekadar mengobrol.
Sampai
suatu ketika, Irfan mengajak Doni untuk bermain sepak bola bersama
teman-temannya. Pada awalnya, Doni menolak karena ia takut diejek teman-teman
Irfan. Akan tetapi, setelah Irfan meyakinkan Doni, akhirnya Doni pun menerim
ajakannya. Saat awal bermain, Doni masih merasa canggung bermain dengan
teman-teman barunya. Ia mengatakan kepada Irfan bahwa ia masih agak canggung
sehingga permainannya tidak begitu bagus. Irfan pun mengatakan kepadanya untuk
tidak merasa canggung lagi saat bermain karena teman-temannya itu seumuran
dengannya dan bersekolah di sekolah yang sama.
Sampai
pada akhirnya, setelah mereka bermain bersama, Doni tidak menjadi pendiam lagi
dan mulai bersosialisasi di sekolahnya. Karena saat di Jakarta ia mengikuti
ekskul futsal, ia pun melanjutkannya di sekolah barunya. Mulai saat itu, Doni
tidak lagi dikenal sebagai orang yang pendiam dan tidak memiliki teman.
Nama : Darryl Raditya Aribowo
Kelas : X MIA II
No. Absen : 8
Akibat
Meninggalkan Salat
“Gifari, bangun ayo salat subuh” teriak
Ibu dari dapur. “Ah males, kemaren aku abis begadang belajar mtk ngantuk mau
tidur bentaran sebelum ke sekolah”, ibu yang mendengar teriakan gifari dari
dalam kamar pun langsung menghampiri Gifari ke kamarnya “anak ini, cepetan
salat! Abis itu mandi siap siap ke sekolah”, “ah iya iya bentar dulu”. Setelah
ibu keluar dari kamar, Gifari malah tidur kembali. Setelah tidur lagi sebentar,
Gifari langsung bersiap-siap dan turun ke bawah untuk sarapan. “Gif, sudah
salat?” “Sudah bu” kata Gifari berbohong. Gifari pun akhirnya berangkat ke
sekolah setelah berpamitan kepada ibunya.
“Gip, lu udah belajar buat mtk?”,
“udahlah gue ampe begadang kemaren” “ah iyadah ranking seangkatan mah beda
belajar aja ampe begadang gue mah males”, “iyalah belajar dong, gue kan mau
jadi dokter.” Akhirnya percakapan di pagi itu pun terhenti karena bel masuk
sudah berbunyi.
Kertas ulangan sudah di meja, nampak
terlihat wajah wajah panik murid kelas 10 menatap lembaran yang akan menentukan
nilai mereka kecuali satu orang, Gifari, tentu saja dia tidak panik karena dia
yakin dia bisa mengerjakan soal tersebut. “Ya, sekarang kalian boleh membalik
kertas ujiannya”. Gifari dengan santai membalik lembar jawabannya. “Lah kok,
yang keluar bukan perpangkatan?” Gumam Gifari dalam hati, Gifari yang bingung
pun bertanya ke teman sebelahnya “eh, kok yang keluar bukan perpangkatan sih?
Bukannya kita ulangan perpangkatan?”, “lah, lu ngelantur ya? Orang minggu lalu
bu Susi bilang kita ulangan bangun ruang”, “wah parah nih, gue salah belajar”.
Gifari yang panik akhirnya menjawab soal seadanya.
Seminggu kemudian, ulangan matematika
pun dibagikan. “Gifari, 30”, murid kelas 10 terkejut mendengar hasil nilai
murid peraih nilai tertinggi seangkatan tersebut. “Wah demi apa? Gifari? 30?” “Udah bosen
belajar kali dia” “wah parah gue gak percaya”, Gifari berjalan dengan langkah
gontai ke depan kelas untuk mengambil kertas ulangan tersebut. “Gifari, kenapa
nilai ulangan kamu kali ini jelek? Apa kamu tidak belajar?”, “saya salah
belajar materi bu”seisi kelas tertawa mendengar itu. “Sudah sudah jangan
ditertawakan, Gifari ini pelajaran lain kali kalau ibu memberi tahu tentang
ulangan kamu dengarkan ya, jangan karena kamu pintar kamu tidak mau
mendengarkan” “iya bu”.
Gifari sampai di rumah dengan wajah yang
lesu, ia sedih karena nilainya jelek. “Assalamualaikum”, “Waalaikumsalam kamu
kenapa nak? Kok lesu?” Tanya ibu khawatir. “Nilai ulanganku jelek ma aku dapet
30” “oh yaudah gak apa apa nak mungkin Allah punya rencana yang lebih baik”
kata ibu menasehati “oh iya ma bener aku selama ini gak salat” “tuhkan yang
selama ini ngasih kamu kepintaran tuh Allah loh masa disuruh salat aja susah”
“iya ma maafin aku ya aku ninggalin salat terus aku juga bohong mama aku
bilangnya aku salat” kata gifari menyesal. “Iya nak ibu maafkan tapi jangan
minta maaf sama ibu aja minta maaf sama allah juga ya jangan pernah ninggalin
salat lagi” “siap ma”.
Akhirnya semenjak saat itu Gifari tidak
pernah meninggalkan salat lagi.
Nama : Farah.S
Balas
Budi
Di suatu taman kota,
terlihat seorang gadis berusia sekitar 17 tahun sedang duduk termenung di
sebuah kursi taman. Gadis itu mengedarkan pandangan ke arah anak-anak balita
yang sedang bermain pasir dengan penuh canda tawa. Lalu, dia mengalihkan
pandangannya pada orangtua dari anak-anak tersebut yang sedang mengobrol ria
sambil memperhatikan anak-anak mereka. Gadis itu berpikir, apakah dirinya
pernah merasakan hal yang sama seperti halnya mereka? Bermain dengan penuh
riangnya dan ditemani oleh orangtua. Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat,
lalu menepuk kedua pipinya pelan untuk menyadarkan dirinya.
Gadis bernama Chizu itu
turun dari kursi, lalu berjalan kaki
menjauhi taman kota menuju ke rumahnya. Saat gadis itu memsuki rumahnya,
keheningan melanda, lampu-lampu tidak menyala, hanya cahaya senja dari luar
saja yang menerangi ruang tamu rumahnya. Gadis itu berjalan, lalu duduk di atas
sofa panjang yang menhadap ke arah televisi. Dia melihat sebuah kertas kecil di
atas meja di depannya yang ditindih sebuah remot. Gadis itu membacanya. Kertas
berisi catatan kecil itu berisi tentang pemberitahuan jika sang ibu harus ke
rumah sakit untuk melakukan operasi mendadak dan tentang makan malamnya yang
sudah tersedia di meja. Gadis itu sudah terbiasa dengan tidak adanya serseorang
di rumah. Orangtuanya telah bercerai. Karena itu, gadis itu hanya tinggal
bersama sang ibunda. Chizu memaklumi pekerjaan keduanya yang banyak memakan
waktu, sehingga membuat mereka terpisah pula.
Dulu, saat Chizu berusia
sekitar 7 tahun. Gadis itu selalu mendengar teriakan kedua orangtuanya dari
arah ruang tamu, sehingga membuat dirinya mendekam di dalam kamar selam
seharian penuh. Namun, lama kelamaan gadis itu mulai muak dengan keluarganya
sendiri sehingga ia memutuskan untuk kabur dari rumah saat malam hari melalui
jendela kamarnya. Gadis itu, menjadikan rumah sahabat laki-lakinya yang bernama
Kai sebagai tempat kaburnya. Gadis itu, berkompromi dengan keluarga Kai pula
untuk menyembunyikan dirinya. Keesokan harinya, Chizu tak menyangka jika kedua
orangtuanya datang ke rumah Kai untuk mencari dirinya. Namun, dengan mulut
lihai orangtua Kai, kedua orangtua Chizu pulang kembali. Chizu dan Kai yang
bersembunyi di dalam kamar pun mulai berdiskusi. Dan, Kai menyarankan jika
gadis itu segera pulang karena raut wajah orangtua gadis itu terlihat sangat
khawatir, urusan di rumah adalah urusan nanti, katanya. Dengan segala
pertimbangan, akhirnya, Chizu pulang dengan diantar oleh Kai.
Saat di rumah, Chizu
memencet bel rumahnya sendiri, seperti halnya para tamu yang datang ke
rumahnya. Settelah beberapa saat, ibunda chizu membuka pintu, lalu terkejut
atas kedatangan Chizu. Sang ibunda langsung memeluk erat Chizu, bahkan air mata
sang ibu, membasahi kaus yang dipakainya. Gadis itu bingung harus berbuat apa.
Dia merasa sangat bersalah karena membuat ibundanya menangis. Lalu, gadis itu
melihat ke depannya, ada ayahnya yang melihatnya sambil tersenyum. Setelah sang
ibu, melepas pelukan eratnya, ia menyuruh Chizu dan Kai untuk memasuki rumah.
Kedua anak kecil berbeda gender tersebut, duduk di sofa panjang yang menghadap
ke arah orangtua Chizu yang duduk di sofa panjang pula. Kai memegang erat
tangan Chizu. Dan disaat itu pula, orangtua Chizu memutuskan untuk bercerai.
Selama persidangan berlangsung Chizu tinggal di rumah Kai, sampai akhirnya ia
tinggal bersama sang ibunda dan harus berpisah dengan Kai, sahabatnya itu.
Sudah 10 tahun sejak saat
paling suram bagi Chizu, gadis itu tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik,
mandiri, cerdas, dan ceria. Karena sejak saat itu, Chizu bertekad untuk
mendapatkan perhatian kedua orangtuanya melalui jalan prestasi yang
dimilikinya. Karena, jika ia mengikuti lomba atau memenangkan sesuatu, salah
satu dari orangtuanya akan datang untuk melihatnya. Dia tidak ingin mendapatkan
perhatian orangtuanya dengan cara yang buruk, ia terlalu takut untuk membuat
orangtuanya menangis dan seakan menyesal memiliki anak seperti dirinya. Karena
itu, dia berjanji akan membuat orangtuanya bahagia baik dunia maupun akhirat,
untuk membalas semua kebaikan kedua orangtuanya yang telah merawatnya sejask
dalam kandungan sampai sekarang, ini semua adalah balas budi Chizu untuk kedua
orangtuanya.
Perjalanan Yang Berharga
Hai, namaku adalah Hope. Aku tinggal di sebuah hutan yang
dekat dengan desa kecil . Aku tinggal bersama dengan ke 6 teman- temanku.
Mereka adalah Ramo, Soji, Nyno,Raki, Taki dan Jeon. Kami merupakan anak anak yang selalu memalak dan
memaki maki orang yang tinggal di desa. Kami selalu membuat kerusuhan yang ada
di desa. Suatu hari, Kehidupan kami yang menyenangkan berubah menjadi kacau saat desa kecil itu
diserang. Aku dan teman teman ku berlarian meninggalkan hutan itu. Kami
menemukan sebuah gua. Dari luar gua itu nampak sangat menyeramkan. Kami tidak
punya pilihan penyerang desa kecil itu menghancurkan hutan dan desa. Aku dan
teman-temanku pun merasa lega,tanpa
disadari semua orang telah terlelap termasuk diriku.
Aku terbangun dari tidur lelapku. Aku merasakan bahwa aku dan teman-temanku telah
berpindah tempat. Aku dan teman-temanku tidak lagi sedang tidur di dalam gua.
Aku membangunkan teman temanku. Kami sedang berada didalam istana. Istana itu
sangat besar. Tiba-tiba kami merasakan hentakan kaki yang mengguncang lantai.
Saat kami mencari sumber hentakan itu,kami semua terkejut. Ternyata,kami sedang
berada di istana para raksasa. Kami semua ketakutan dan mencoba untuk melarikan
diri. Tetapi, raksasa tadi menagkap kami semua. Kami di jadikan tahanan sekaligus
pembantu. Jika kami melakukan sebuah kesalah raksasa itu tidak segan-segan
melempar kami. Tapi, suatu ketika datanglah raksasa yang baik hati. “hai
kalian,tidakkah kalian menyadari apa pentingnya kehidupan?” tanya raksasa itu.
“Ah,aku tidak
mengerti apa yang kau bicarakan wahai raksasa!”teriak Nyno. Raksasa itu
terseyum.
” Bersyukurlah kalian atas setiap nikmat yang diberikan
tuhan, hormatilah semua orang.”raksasa itu berbicara sambil berjalan pergi.
“Teman-teman, yang dimaksud raksasa tadi adalah kita
harus merubah sikap kita. Dulu, kita hanya meminta uang dan memaki-maki orang
didesa. Seharusnya, kita menghormati dan menolong mereka semua.” Jelas Ramo
panjang lebar.
Kami semua pun tersadar. Kami menyesali semua yang telah
kami perbuat.
“Aku merindukan warga desa.”gumam Raki.
“Ya, aku juga.”jawab Taki.
“Aku merindukan warga desa.”gumam Raki.
“Ya, aku juga.”jawab Taki.
“Aku merindukan makanan makanan dari desa.”Jeon
menambahkan.
“Ya, kita semua merindukan itu.”kata Soji.
“Ya, kita semua merindukan itu.”kata Soji.
“Baiklah teman-teman sebaiknya kita tidur
sekarang.”kataku yang sudah mulai mengantuk.
Ketika kami terbangun dari tidur kami. Kami semua sudah
kembali di dalam gua tadi. Kami semua menatap satu sama lain. Saat, kami keluar
dari gua itu. Semua telah kembali seperti dulu. Tidak ada kebakaran hutan, desa
tetap berjalan seperti biasanya.
“Apa yang kita alami sebelumnya?apakah itu hanya sebuah
mimpi?” tanya Ramo kepada kami.
“aku tidak tau yang jelas aku bahagia kita semua
kembali.”jawabku senang.
Kami semua berlarian menuju desa. Kami meminta maaf kepada semua warga desa. Setelah semua yang kami alami. Kami menjadi lebih bahagia dan bersyukur atas nikmat yang diberikan tuhan.
Kami semua berlarian menuju desa. Kami meminta maaf kepada semua warga desa. Setelah semua yang kami alami. Kami menjadi lebih bahagia dan bersyukur atas nikmat yang diberikan tuhan.
Nama : Laura Prima Azairin
Absen : 21
Absen : 21
Kelas : X MIA 2
Usaha
Disebuah desa terpencila tinggalah seorang remaja bernama Yoga. Remaja
berusia 17 tahun itu berbeda dengan remaja pada umumnya dimana dia tidak bisa
menikmati kehidupan remajanya layaknya anak seusianya lantaran himpitan
ekonomi. Dalam sehari-hari Yoga tidak pernah bermain, tidak pernah membeli
jajan, dan hanya menghabiskan waktunya untuk membaca buku serta membantu
ibunya.
Meskipun kehidupan Yoga sangat sulit untuk dilalui, namun remaja ini tetap berusaha tegar dan menjalani kehidupannya dengan apa adanya. Ketika dia menyadari kehidupan teman-temannya yang dirasakannya serba kecukupan, Yoga tidak pernah merasa iri, tetapi dia jutru dia menjadikan hal itu sebagai motivasi baginya untuk terus menatap masa depan.
21 Desember 2012 genaplah usia Yoga 18 tahun. Diusianya yang sudah 18 tahun, Yoga masih belum memperlihatkan perubahan berarti dalam hidupnya. Aktivitas sehari-harinya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, Yoga tetap berpikiran positif dan dia tetap ingin merealisasikan cita-citanya untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Siang-malam Yoga selalu berpikir, dan ia bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkannya hingga pada suatu hari detik-detik perubahan dalam kehidupannya mulai tampak.
Pada pagi hari itu Yoga membuat sebuah karya kerajinan. Karya tersebut akhirnya berhasil diselesaikannya pada petang harinya. Yoga berencana untuk menjual karya kerajinannya itu disebuah pameran yang akan didakan dikota 30 km dari tempat tinggalnya. Info pameran tersebut didapat Yoga dari seorang teman dekatnya kala masih duduk dibangku SMP.
Waktu pameran kerajinan akhirnya tiba, Yoga datang bersama temannya untuk memperkenalkan barang hasil karya ciptanya. Tanpa diduga-duga, ternyata hasil karya kerajinan buatan Yoga berhasil menucri perhatian dewan jui. Dia pun memenangkan kontes tersebut. Yoga mendapat hadiah 5 juta dan uang tersebut dibagikan kepada temannya serta orangtuanya. Sementara sisasnya, 3 juta ia simpan untuk kebutuhan dia sendiri.
Sejak hari itu, Yoga berubah drastis. Ia berhasil menjadi seorang pengrajin yang cukup dikenal. Dan penghasilan dia pun cukup tinggi dari bidang yang digelutinya itu.
Meskipun kehidupan Yoga sangat sulit untuk dilalui, namun remaja ini tetap berusaha tegar dan menjalani kehidupannya dengan apa adanya. Ketika dia menyadari kehidupan teman-temannya yang dirasakannya serba kecukupan, Yoga tidak pernah merasa iri, tetapi dia jutru dia menjadikan hal itu sebagai motivasi baginya untuk terus menatap masa depan.
21 Desember 2012 genaplah usia Yoga 18 tahun. Diusianya yang sudah 18 tahun, Yoga masih belum memperlihatkan perubahan berarti dalam hidupnya. Aktivitas sehari-harinya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, Yoga tetap berpikiran positif dan dia tetap ingin merealisasikan cita-citanya untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Siang-malam Yoga selalu berpikir, dan ia bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkannya hingga pada suatu hari detik-detik perubahan dalam kehidupannya mulai tampak.
Pada pagi hari itu Yoga membuat sebuah karya kerajinan. Karya tersebut akhirnya berhasil diselesaikannya pada petang harinya. Yoga berencana untuk menjual karya kerajinannya itu disebuah pameran yang akan didakan dikota 30 km dari tempat tinggalnya. Info pameran tersebut didapat Yoga dari seorang teman dekatnya kala masih duduk dibangku SMP.
Waktu pameran kerajinan akhirnya tiba, Yoga datang bersama temannya untuk memperkenalkan barang hasil karya ciptanya. Tanpa diduga-duga, ternyata hasil karya kerajinan buatan Yoga berhasil menucri perhatian dewan jui. Dia pun memenangkan kontes tersebut. Yoga mendapat hadiah 5 juta dan uang tersebut dibagikan kepada temannya serta orangtuanya. Sementara sisasnya, 3 juta ia simpan untuk kebutuhan dia sendiri.
Sejak hari itu, Yoga berubah drastis. Ia berhasil menjadi seorang pengrajin yang cukup dikenal. Dan penghasilan dia pun cukup tinggi dari bidang yang digelutinya itu.
Nama:M.Ryan Fachri Addar
Nama : Naila Ramadhanty
Arifahputri
“Ditemukan lagi seorang korban mutilasi di daerah Tanah
Abang. Korban diduga kehilangan satu matanya. Bagi saksi untuk segera melap-“
Kumatikan TVku. Gagal sudah
tugasku menjadi seorang polisi. Menjaga keamanan warga, bukankah itu hal yang
mudah? Ya, akan tetapi, penjahat sekarang sudah berkeliaran dimana-mana.
Bagaimana bisa kita membasmi mereka semua dalam sekali tangkap? Mereka bukanlah
serangga yang langsung mati jika disemprot dengan racun. Bahkan, serangga pun
sekarang sudah banyak yang tahan akan racun itu. Gimana manusia? Mereka
sangatlah bod-
*dering
telpon*
Sunyinya rumahku dihilangkan oleh dering telponku.
“Sean”
Ada perlu apa Sean menelponku semalam ini?
“Hey Sam maaf mengganggu tapi bisakah engkau ke markas?
Sekarang.”
Kulangsung bergegas ke markas. Kenapa suara Sean
terdengar ketakutan? Apa yang sebenarnya terjadi?
Sesampainya di markas kulangsung bergegas menemui Sean.
Ia lalu menyuruhku untuk masuk ke tempat penyelidikan mayat mutilasi.
Kopi dan Kolam
Suatu ketika,
hiduplah Kakek dan seorang cucunya yang bernama Adi. Pada suatu hari, Audi
pulang dengan langkah gontai. Raut wajahnya menunjukan dia sedang dirundung banyak
masalah.
Tanpa membuang
waktu, Adi menceritakan semua masalah yang menimpanya. Kakek yang bijak hanya
mendengarkannya dengan saksama. Ia lalu mengambil sesendok kopi, dan teko untuk
mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya
perlahan.
“Coba, minum ini,
dan katakan bagaimana rasanya!” ujar Kakek.
“Pahit. Pahit
sekali, Kek.” jawab Adi, sambil meludah kesamping.
Kakek tersenyum. Ia
mengajak Adi, untuk berjalan ke tepi kolam dekat tempat tinggal mereka. Mereka
berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi kolam berlariran
tenang itu.
Kakek lalu kembali
menaburkan sesendok kopi, ke dalam kolam itu. Dengan sepotong kayu
diaduk-aduklah aliran air itu sehingga terciptalah riak air, mengusik
ketenangan kolam itu.
“Coba, ambil air
dari kolam ini, dan minumlah!” seru Kakek sembari memberikan gelas
Saat Audi selesai meneguk air itu, Kakek
bertanya kembali, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar,
Kek” sahut Adi.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya Kakek lagi.
“Tidak,” jawab sang cucu.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya Kakek lagi.
“Tidak,” jawab sang cucu.
Dengan bijak, Kakek
itu menepuk-nepuk punggung Adi. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh
di samping kolam itu.
“Anak muda,
dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya sesendok kopi, tak lebih dan tak
kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang selalu sama.
“Tapi, kepahitan
yang kita rasakan, tergantung dari wadah yang menaunginya. Kepahitan itu, itu
semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah
dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan
itu.”
Pak Tua itu lalu
kembali memberikan nasehat.
“Hatimu, adalah
wadah itu.”
Keduanya lalu
beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Adi merasa terkesan akan
nasihat Kakeknya, mulai saat itu ia mencoba melapangkan hatinya saat menghadapi
masalah.
SI BERUANG PENYENDIRI
Pada
suatu hari hiduplah seekor beruang. Beruang ini suka menyendiri sebab
berdasarkan pemikirannya ia tak perlu bersosialisasi karena itu hanya akan
merepotkan dan membuang buang waktunya. Meskipun selalu menyendiri ia tak
pernah merasa kesepian sebab jika dia merasa bosan dia bisa berhibernasi untuk
menghabiskan waktu. Sewaktu waktu ada beruang lain yang menghampirinya untuk
mengajak bermain,namun ia menolak ajakan tersebut,tapi beruang yang lain
memaksanya untuk bermain lalu Si Beruang Membentak beruang yang lainnya dan
bertingkah menyeramkan.Ia melakukan itu agar ia dijauhi oleh yang lain sehingga
ia bisa melanjutkan hidupnya yag selalu menyendiri.Pada akhirnya rencana nya
berhasil beruang yang lain pun menjahuinya selain menjauhinya beruang yag lain
merasa takut kepadanya,tapi pada saat yang bersamaan Si Beruang tidak merasa
bersalah karena menurutnya apa yang dilakukannya selama ini dianggapnya benar.
Suatu saat Si Beruang tertimpa masalah dan masalah
tersebut adalah suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan seorang
diri bagaimanapun caranya. Ia pun sadar kalau ia tak bisa menyelesaikan masalah
tersebut dan ia juga sadar bahwa dirinya
membutuhkan pertolongan dari pertolongan dari beruang yang lain.Akhirnya
ia pergi ke tempat di mana beruang yang lainnya berada sesampainya ia
disana,dirinya tidak tahu bagaimana cara meminta pertolongan kepada yang lain
dengan benar karena selama hidupnya ia tak biasa meminta pertolongan pada yang
lain apalagi berbicara pada yang lain .
Si Beruang bingung harus minta tolong kepada siapa dan
sesaat ada beruang lain yang pernah ke rumahnya yang mengajaknya bermain pada
saat itu ia pun menghampirinya dan langsung meminta tolong kepadanya,namun
permintaan tolongnya ditolak karena beruang itu masih merasa takut kepadanya
pada akhirnya beruang itu kabur darinya tanpa berkata apapun.Si Beruang pun
sadar kalau yang ia lakukan terhadap yang lainnya itu salah.Lalu ia bertanya
kepada dirinya sendiri “Kenapa semuanya berakhir seperti ini?”Si Beruang
pun menyesal sambil berkata “Mengapa aku melakukan semua ini?”.Lalu ia
kembali kerumahnya, sesampai nya dirumah ia langsung masuk ke kamar di kamarnya
ia merenungkan apa yang selama ini ia lakukan sambil meneteskan air matanya ia
pun bergumam “Memang benar aku ingin hidup sendiri tapi bukan seperti ini
yang aku inginkan dan aku juga yakin kalau yang aku inginkan itu bukanlah
seperti memahami dan akrab satu sama lain.Aku tidak ingin dimengerti hanya saja
aku ingin mengerti semuanya karena aku takut terhadap apa yang tidak dimengerti
olehku dan aku ingin memahami kenapa aku melakukan ini semua?Aku tahu aku ini
egois tapi aku hanya menginginkan kehidupan yang damai dan tentram.”Tapi Si
Beruang sadar bahwa semua ini adalah salahnya jadi ia harus menanggung apa yang
ia perbuat,kemudian ia menghapus air matanya lalu berkata dengan tegas “Aku
pasti bisa mendapatkan kehidupan yang damai dan tentram seperti yang kuinginkan
dan aku tak akan menyerah sebelum berhasil mewujudkannya.”
SYAUQI ZAIDAN TUHFAH
Rahasia
Jendela-jendela besar. Sofa kulit empuk berwarna hitam.
Kertas dinding kamar dengan motif gelap. Ranjang besar empuk tempat bersembunyi
dibawah selimut. Aku menyukai kamarku, apalagi jendela-jendela besar yang dapat
membuatku melihat suasana luar.
Sekarang ini, senja dikalahkan oleh pasukan awan gelap
yang tampak menutupi langit cerah. Awan gelap itu menambah kesan suram
dikamarku, dan entah kenapa aku menyukainya. Hujan rintik-rintik juga tidak
kalah menyemarakkan suasana, membuatku terduduk nyaman di karpet bulu yang
melapisi lantai kayu kamarku.
Aku terduduk didepan jendela, menekuk lututku dan
memeluknya. Orang-orang ramai berlalu lalang, banyak anak kecil yang tertawa
bahagia dibawah siraman air hujan, tak memperdulikan sinar kilat yang turut
menghiasi hujan tersebut. Aku tersenyum kecil, melihat anak-anak tersebut dapat
tersenyum senang tanpa rasa khawatir atau cemas akan sesuatu yang menyelimuti
mereka. Dapat tersenyum tanpa maksud tertentu. Ah, ya. Aku tak mau memikirkan
itu lagi.
Andai saja aku bisa menjadi seperti mereka. Tertawa
bahagia dengan teman-teman, tidak merasa sedikitpun takut dengan kata-kata
marahan yang akan menyambut mereka dari orangtua mereka yang menunggu dirumah.
“Nona, Tuan dan Nyonya sudah menunggu dibawah untuk makan
malam.”
Suara lembut milik salah satu pembantu rumahku membuatku
bangkit, sebelum akhirnya melangkahkan kakiku keluar dari satu-satunya ruangan
favoritku di rumah ini.
Rumahku tampak seperti istana, kata orang-orang. Berdiri
megah diantara rumah-rumah menengah yang berada di lingkup kota Jakarta, di
jaga dengan pengamanan ketat dari bodyguard-bodyguard terlatih yang entah didapatkan
Ayah-ku darimana. Aku juga tak mengerti. Meskipun rumah ini tampak hangat dari
luar, mereka tidak tahu bagaimana rasanya didalam, bukan? Rumah ini
kosong—tentu tidak dalam arti yang sebenarnya. Rumah ini penuh kerinduan, penuh
kesepian.
Ayahku adalah tipe seseorang yang maniak kerja, rela
mengorbankan apapun demi harta dan tahta. Ayahku bahkan tak terlalu peduli
denganku dan keluarganya yang lain. Ayahku keras, tegas, dan dingin. Apapun
yang Ayah-ku lakukan, aku tidak suka dengan sikap Ayahku. Ia mengenaskan, telah
dibutakan oleh candu maut yang disebabkan oleh uang, uang, dan uang. Apalagi
yang ia cari? Apakah statusnya sebagai kepala sebuah keluarga kaya raya belum
cukup mempuaskannya? Psh.
Ibuku. Beda lagi. Ia seorang perfeksionis, meskipun
karakternya bertolak belakang dengan Ayahku. Ia lembut, baik hati, dan tetap
tegas. Ia dilahirkan di sebuah keluarga yang berada, meskipun tak sekaya
keluarga Ayahku. Ia sudah merasakan turun dan naiknya kehidupan, bahkan
putarannya. Tidak seperti Ayahku, menurutku Ibu lebih berpengalaman dengan
hidupnya Ia tahu apa tujuannya untuk hidup, ia tahu apa yang ia cari, dan ia
akan tahu apabila ia sudah mendapatkannya. Ibuku tidak gila dengan uang, dan
setidaknya ia satu-satunya orang yang kutahu sangat menyayangiku.
Selain aku, Ibuku, dan Ayahku, masih ada
saudara-saudaraku. Seorang Kakak yang tidak akan pernah menjalankan tugasnya
sebagai Kakak yang baik, dan seorang adik yang masih terlalu kecil untuk bisa
menjadi penopang hidupku. Keduanya berjenis kelamin lelaki, dan pasti Ayah akan
menuntut salah satu dari mereka untuk menjadi penerus tunggal perusahaannya.
Aku tak perduli. Aku memiliki impianku sendiri untuk membuat kebahagiaan pada
orang lain—cukup aku yang terus merasakan gelapnya hidup, biarkan orang lain
tinggal dalam gelimang cahaya yang menyenangkan. Aku tak mau orang lain
menderita sepertiku, dilahirkan di keluarga kerajaan namun terkurung dalam kesedihan.
Rasanya, sama seperti kebahagiaanmu diserap perlahan oleh Dementor-Dementor
yang terdapat di Azkaban.
-
Aku tidak tahu ada apa dengan keluargaku hari ini. Yang
jelas, di mataku mereka tampak janggal. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang
jelas sesuatu yang buruk sedang berlangsung.
Setelah pulang sekolah, seperti biasa—aku langsung melaju
pulang kearah rumahku. Tidak seperti kebanyakan teman-temanku yang berkumpul
dan membicarakan sesuatu di kantin, pinggir sisi lapangan, atau kafe sekolah,
supirku akan langsung menjemputku dan membawaku pulang.
Dan begitu aku sampai dirumah, pandangan tak biasa
menyambutku. Ibu terduduk di sofa ruang tengah dengan televisi dihadapannya.
Terlihat matanya yang sembab menatap lurus kearah televisi yang menyajikan
acara yang sama sekali tidak edukatif—bukan tipe acara tivi keluargaku. Hanya
sekali lihat kearahnya, aku tahu pandangan Ibu tampak kosong.
Mengasumsikan Ibu butuh waktunya sendiri, aku mengarahkan
kakiku menuju tangga dan menaiki tangga keatas, menuju kamarku.
Cklek.
Begitu kubuka pintu kamarku, sepasang mata tajam langsung
terarah padaku. Kakakku. Ryan. Sedang apa ia disini? Ia tidak pernah datang ke
kamarku sebelumnya. Jangankan berkunjung ke kamarku, mengobrol saja kami
jarang.
“Tiara, lo udah tahu apa yang menimpa kita sekarang?”
“Apa maksud lo? Gue nggak ngerti sekalipun apa yang lo
omongin.”
“Ayah… Ayah terlibat kasus korupsi, Ti. Mau ditaruh
dimana muka kita sekarang?”
Terperanjat.
Satu kata yang cocok untukku sekarang.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Ayahku dapat
melakukan perbuatan sekeji itu. Seharam itu. Tanpa memperdulikan ucapan Ryan,
aku berlari keluar kamar dan menuruni tangga, lalu langsung berlari ke sofa
ruang tengah.
“I-ibu… Apa yang terjadi pada Ayah sekarang?”
“Oh, sayangku.” Ibu langsung memelukku, lalu kubalas
pelukan hangatnya.
“Apakah benar Ayah yang melakukannya?”
“Kita belum tahu, Sayang. Sekarang Ayah sedang diperiksa.
Ibu-pun tak tahu bagaimana Ayah-mu dapat melakukan perbuatan hitam seperti
itu.”
Selanjutnya, kepalaku terasa kupening. Kakiku terasa mati
rasa, seakan-akan kakiku terbuat dari agar-agar favorit Dio, adikku.
Kegelapan.
Itulah yang selanjutnya kurasakan.
-
3 bulan berlalu setelah Ayah yang dinyatakan korupsi.
Banyak kejadian yang terjadi. Lebih banyak dari yang kupikirkan dapat
kutanggung.
Sampai sebuah malam, peristiwa tak terduga terjadi.
Malam itu, malam yang cukup mengejutkan untukku.
Sekolahku sedang mengadakan pekan ujian, dan mau tak mau
aku harus belajar keras. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini pagi, namun lampu
di kamarku masih menyala, terang benderang. Rasa haus yang melanda
kerongkonganku benar-benar tak dapat ditoleransi lagi.
Begitu kulangkahkan kakiku kebawah, betapa terkejutnya aku melihat Ibu-ku
tersenyum sinis dengan handphone yang
masih berada dalam genggamannya.
“Beres, Say. Suamiku memang bodoh. Sangat bodoh.
Mau-maunya dia menutupi kasus korupsi yang sebenarnya dilakukan olehku.
Sekarang aku bisa tenang, deh. Perlahaan bakal kusingkirkan dia dari hidupku,
juga anak-anakku.”
Mulutku terbuka. Mataku melotot, tak percaya dengan apa
yang baru saja kudengar. Jadi, selama ini, kasus itu ternyata Ibu yang
melakukannya?
Gelas yang tadi kupegang terjatuh ke lantai, menimbulkan
suara pecahan yang menggema kemana-mana. Ibuku menatapku dengan pandangan takut,
ia membuka mulutnya untuk berbicara.
“Aku tak perlu penjelasan.”
-
Ayah dibebaskan, Ibu dipenjara. Keadilan ditegakkan
begitu tingginya. Semuanya terdengar begitu bahagia sekarang. Orang-orang
menganggap akulah pahlawannya—agak konyol, sebenarnya. Dan, kehidupanku jauh
lebih ceria sekarang. Perhatian melimpah, dan tak ada lagi kesedihan. Semuanya
terasa begitu…
Berwarna.
Nama : Maharani Azzahra
Karya
Faiz
Di sebuah laut yang luas ada seekor
raja laut. Raja laut itu adalah hiu. Walaupun ia raja laut, dia sangat rakus
dan tidak mempedulikan rakyatnya sendiri. Banyak sudah ikan yang jadi korban
hiu. Saking bencinya, rakyatnya ingin membunuh hiu tapi caranya selalu gagal
karena tubuh dan giginya yang terlalu kuat.
Sang hiu kemudian membuat peraturan,
bahwa rakyatnya harus memberi makanan kepada hiu setiap hari. Apabila tidak
mematuhi aturannya dia akan membunuh rakyatnya secara sadis di depan seluruh
ikan.
Untunglah ada seekor ikan yang
beracun ingin menyelamatkan ikan-ikan. Dengan sengaja ia tidak memberi makan
kepada hiu. Hiu pun marah dan langsung memakan ikan beracun tersebut. Hiu tak
tahu bahwa ikan itu beracun.
Beberapa jam kemudian hiu langsung lemas dan pucat.
“Tolong… tolong … tolong aku!!” Teriak hiu yang kesakitan.
Akhirnya, ikan-ikan bergembira
melihat hiu mati tapi mereka juga sedih melihat pahlawannya mereka mati.
Aku
Musim semi tahun 2002, ibuku termenung menatap keluar
jendela melihat bunga sakura berguguran. Tangan selembut sutera mengelus
perutnya dengan sayang seraya menunggu ayah pulang mengadu nasib. Ibu beranjak
dari kursi goyang disudut kamarnya, ia keluar dan duduk di ayunan yang sudah
berkarat di halaman yang sudah ada sejak ia masih kecil, tak lama kemudian ayah
pulang dengan wajah lelah sebenarnya, namun terlihat sumringah. Tangan kasar
sehabis memukul palu itu sekarang memegang tas berwarna biru langit berisi
pakaian mungilku dulu, mulut ibu membuat lengkungan keatas menandakan dia
bahagia.
Musim semi tahun 2007, ayah menggendongku di pundaknya.
Merasa bahwa ia adalah pesawat yang siap menerbanganku hingga angkasa luar. Tak
lama berselang ibu memanggil kami dengan aroma pai ayam yang menyambut indera
penciuman kami. Ayah menerbangkanku hingga ke dapur ia mendudukkan aku berusia
lima tahun di bangku tinggi bertokoh kartun. Setelah itu kami makan bersama
dalam suka cita.
Musim gugur tahun 2015, aku berusia tiga belas sudah
menduduki sekolah menengah pertama. Daun-daun berguguran terlihat saat ayah
melajukan mobil sedannya agak melambat. Aku melihat teman-temanku yang berjalan
untuk kesekolah bersama. Sebenarnya aku ingin tapi ayah dan ibu melarangku.
“Ayah boleh aku berangkat dan pulang sekolah bersama
teman?” Ucapku.
“Boleh, tapi ketika kau sudah berusia dua puluh, sebelum
itu ayah bersedia menjadi supir pribadi putri kecil ayah.”
Aku hanya mengangguk patuh untuk mengiyakan. Walaupun
sebenarnya malu terus dicemooh sebagai “anak mami”
Musim gugur tahun 2017, setelah pulang sekolah biasanya
aku dan keluargaku berberkumpul diruang tengah, untuk membicarakan kejadian
yang kami alami. Saat giiranku akumalah mengeluh tentang semua kejadian yang
ada di sekolah. Aku yang sudah mulai beranjak dewasa merasa sedikit angkuh dan
berbicara seenakku saja. Tteapi, ayah dan ibu hanya terlihat memaklumi. Aku
mengeluh tentang aku yang terus terusan dicemooh “anak mami”, aku mengeluh
tentang ayah dan ibu yang selalu membuatku malu saat datang pada pertandingan
basketku dengan menyemangatiku dengan berteriak keras, dan aku meminta untuk
dibebaskan. Ayahku mengganguk dan ibuku juga namun ada raut khawatr di wajah
keduanya yang sudah mulai menua.
Musim panas tahun 2019, semenjak ayah dan ibu memberiku
kebebasan aku hidup dengan “liar” membolos saat les, kekantin saat jam
pelajaran, keluar rumah tanpa izin bahkan pulang dai tempat berkumpulku dengan
teman-teman hingga malam. Reputasiku yang baik tercoreng dengan puluhan catatan
merah. Ayah sempat memarahiku namun aku bersikap acuh, aku bahkan sudah tak
menganggap mereka lagi. Aku yang tadinya berada dalam sisi terang sekarang ada
pada sisi gelap, hanya ada dan kebebasan.
Musim semi tahun 2020, aku menangis. Aku kacau dan aku
hancur. Aku seakan ingin mengakhiri hidupku. Aku sudah terjerumus kedalam dunia
narkotika dan seks bebas. Aku ingin menumpahkan segala keluh kesahku pada
orangtuaku namun aku bahkan sudah tak punya lagi harga diri dihadapan mereka.
Entah mengapa penyesalan datang di akhir, jika sejak awal aku mengetahui ini
mungkin aku akan mematuhi mereka,walaupun merasa terkekang namun ini ternyata
demi kebaikanku. Kebebasan yang kugunakan malah membuatku tersesat karena tak
punya lagi petunjuk untuk berjalan.
Musim semi tahun 2021, aku berada jauh dari orangtuaku.
Sangat jauh, hingga bahkan mereka hanya dapat mendoakanku. Bersyukur sekali
kala mereka masih mendoakanku: anak mereka yang tak tahu diuntung.
Nama
: Kyra Diva Anjani (20)
Hadiah terakhir untuk sahabat
Karya Yunia Harmulyati
Seminggu sebelum
sahabatku pindah jauh di sana. Selepas pulang sekolah, aku lansung kembali
pulang dan bergegas ke taman untuk bermain dengan sahabatku.
“Hei, kemana saja kamu?
Dari tadi aku nungguin” Tanya sahabatku yang bernama Arik. “Hehe, tadi
aku makan siang dulu di rumah.” jawabku. “Oh ya sudah, kita main yuk!’ ajaknya.
Setelah selesai bermain dengannya, tiba-tiba raut wajah Arik berubah. Aku pun
bertanya “Kenapa kamu tiba-tiba sedih?” Arik pun menjawab “Sebenarnya sudah
lama ada yang ingin aku sampaikan kepada kamu.” Mendengar kata-kata itu,
seketika hatiku gelisah. Aku pun bertanya kembali “Apa yang ingin kamu
sampaikan, Rik?” Arik pun menjawab “Seminggu lagi aku akan pindah ke Jepang”
dengan rasa ingin tau, aku pun bertanya kembali “Kenapa kamu akan pindah ke
Jepang? Apa kamu tidak suka berteman denganku?” Arik pun membalas “Bukan
begitu, aku senang berteman denganmu. Kamu itu baik dan lucu. Tapi ayah harus
pindah ke Jepang karena alasan pekerjaan. Bunda pun memutuskan kami sekeluarga pindah
ke Jepang.” Aku pun tidak bisa berkata-kata lagi, hanya raut wajah sedih yang
dapat kutampangkan di depan Arik. Arik pun memegang bahuku dan berkata “Aku
juga sedih, karena aku akan meninggalkan kamu. Tapi kita ngak boleh sedih,
walau sedih kamu harus tetap tersenyum. Aku janji kalau nanti aku sudah di
Jepang, aku akan tetap menjadi teman aku. Aku akan memberi kamu kabar lewat
email. Tetapi kamu jangan sedih ya?” Aku pun berusaha untuk tersenyum di
depannya dan aku pun mengangguk untuk menyetujuinya. “Janji ya?” kataku sambil
memberikan jari kelingking kecilku. “Iya Lynia, aku janji” kata Arik sambil
membalas jari kelingking ku. Setelah itu, kami pun pulang ke rumah
masing-masing.
Sampai di rumah, aku pun
berniat memberikan sebuah hadiah untuk Arik. Aku pun membuka celengan
tabunganku. Aku berniat membelikan Arik sebuah jam tangan kesukaannya yang
sampai sekarang belum sempat ia beli. Keesokan harinya, setelah pulang sekolah
aku pergi ke toko jam. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Kata pemilik toko
jam itu. “Saya ingin membeli jam yang seperti ini.” Jawabku sambil memberi
sebuah foto jam tangan kepadanya. “Oh ada, sebentar saya ambilkan.” Jawabnya.
Tak lama kemudian sang pemilik toko pun kembali dan membawa sebuah jam tangan
dan berkata “Ini jam tangan yang kamu inginkan. Tapi bukannya ini untuk anak
laki-laki ya?” aku pun menjawab “Benar pak. Ini untuk sahabat saya.” “Oh
begitu, karena ini untuk sahabat kamu, maka saya juga akan memberi harga yang
lebih bersahabat.” Aku pun menjawab “Benarkah pak? Terima kasih ya pak!”
jawabku senang. Aku pun membayar harga jam tangan itu dan bergegas pulang.
Dua hari kemudian saat
aku sedang mengerjakan PR di kamar, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku.
Kubuka pintu kamarku, ternyata itu adalah Arik! Aku pun bergegas menyebunyikan
hadiah untuknya yang berada di atas meja belajarku. Ia pun terlihat kebingungan
dan bertanya “Kamu kenapa? Kok tiba-tiba duduk di kursi meja belajarmu?” aku
pun menjawab “Ti..tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengambil ponselku untuk
menanyakan nomor ponselmu.” Dia pun membalas “Bukannya kamu telah memilikinya?
Bahkan kita sering saling menelpon bukan?” Aku pun menjawab “Hehehe, siapa tau
kamu ganti nomor ponsel. Kan bisa jadi.” Dia pun menjawab dengan tertawa
“Hahaha, kamu itu lucu ya. Ya.. kalau aku ganti nomor ponselku, kamu tidak
bertanya pun, pasti akan lansung aku beri tahu. Kamu kan satu-satunya
sahabatku. Ada-ada saja alasanmu ini” Aku pun kembali menjawab “Hehehe, iya
juga ya.”. Setelah itu, kami pun membicarakan hal-hal ringan seputar sekolah.
Hari-hari pun berjalan
seperti biasa. Dan hari dimana Arik harus pergi pun datang. Aku pun ikut
mengantarkannya sampai bandara. Di bandara, aku pun berkata kepada Arik “Arik,
ini ada sebuah kenang-kenangan dariku.” Kataku sambil memberikan sebuah kotak
ke tangannya. “Apa ini?” tanyanya “Buka saja.” jawabku. Arik pun membukanya dan
terkejut akan isi dari kotak itu. Dan mengucapkan terima kasih padaku. Saat
ingin berpamitan, tiba-tiba ada pengumuman tentang pesawa yang akan dinaiki
Arik akan segera berangkat. Arik dan keluarganya pun bergegas pergi. Dan tak
lupa Arik berkata sambil melambaikan tangan “Terima kasih untuk hadiahnya,
Lynia! Aku sangat menyukainya! Aku tidak akan melupakanmu. Sampai bertemu
lagi!” Aku pun hanya bisa melambaikan tangan, menahan air mata yang keluar.
Di perjalanan pulang,
ibuku mendapat kabar bahwa ada kecelakaan yang menimpa pesawat yang ditumpangi
oleh Arik. Yang menyebabkan Arik dan keluarganya tidak selamat. Aku pun tak
kuasa menahan air mataku. Aku pun menangis mendengar berita itu. Di saat itulah
aku berpisah untuk selama-lamanya dengan Arik dan di saat itulah terdapat
hadiah terakhir untuk sahabatku, Arik.
Ulangan Dadakan
Pagi itu, di kelas 6B,murid-murid sudah menunggu kedatangan guru
yang akan mengajar di kelas tersebut. Ada yang asik mengobrol,bermain,dan ada
yang sibuk membaca. Ibu Ani, guru IPA akhirnya masuk ke kelas. “Selamat pagi,
Bu” anak-anak serempak memberi salam. “Pagi anak-anak” jawab Ibu Ani. Setelah
diabsen, Ibu Ani member tahu pengumuman yang membuat anak-anak di kelas
tersebut panik. “Hari ini,kalian akan ada ulangan dadakan” kata Ibu Ani. Tentu
saja murid-murid tidak belajar malam sebelumnya karena mereka tidak tahu akan
diadakan ulangan. Ulangan pun dibagikan dan mereka mulai mengerjakan. Ada yang
bingung,ada yang berusaha menyontek, dan ada yang hanya pasrah. Tetapi, ada
pula satu anak yang bisa mengerjakan ulangan dengan tenang dan baik. Murid itu
adalah Sania, anak Ibu Ani. Kebetulan, semalam dia baru saja membeli buku
pengetahuan tentang alam yang ia beli dengan tabungannya sendiri. Sania pun
dengan semangat membaca buku yang memang sudah dari lama ia inginkan tersebut.
Maka itu dia bisa mengerjakan soal dengan baik.
Beberapa hari kemudian, ulangan IPA tersebut dibagikan. Seisi
kelas heboh dengan nilai mereka yang dibawah kkm. “ah aku cuma dapat 47 nih.
Orangtuaku pasti akan marah” kata Bob. “nilaimu masih lebih baik daripada aku.
Nilaiku 35. Aduh gimana ini” kata Ninda. “kalau kamu dapat berapa, Sania?”
tanya Aryn. “um,nilaiku juga tidak terlalu bagus kok” Sania berkata sambil agak
malu. Tentu saja sebenarnya Sania mendapat nilai tertinggi di kelasnya, tetapi
ia tidak mau mengakuinya karena ia tidak enak karena teman-temannya mendapat
nilai kurang bagus. “ah masa? Kemarin kok kamu bisa mengerjakan dengan tenang.
Sepertinya kamu tidak kesusahan” kata Bob yang tidak percaya dengan kata-kata
Sania. “ah enggak kok,kemarin aku juga agak bingung mengerjakannya” jawab
Sania. “ah bohong. Mana sini aku mau lihat kertasmu” kata Ninda yang
selanjutnya merebut kertas ulangan Sania.
“Apa?! Nilaimu 94!” teriak Ninda. Seisi kelas pun langsung kaget.
“tidak mungkin! Inikan ulangannya dadakan” “kok bisa?” “nilainya tinggi
sekali!” kata teman teman seisi kelasnya heboh. “Ah! jelas saja dia mendapat
nilai bagus,dia kan anak Ibu Ani,pasti dia kemarin sudah diberi tahu kalau akan
diadakan ulangan dadakan” Lisa,salah satu temannya berkata. “mungkin saja tuh!”
kata Bob. “bahkan mungkin dia sudah diberi tahu soal soalnya, curang sekali!”
Aryn berkata. “Tidak kok! Kebetulan saja semalam aku-“ “ah tidak usah banyak
alasan!” kata Lisa. Seisi kelas kembali heboh dengan hujatan untuk Sania. Sania
yang sudah tidak tahan lari keluar dari kelasnya sambil menangis.
Dia tidak curang sama sekali. Walaupun ibunya seorang guru
disekolahnya, ibunya tidak pernah memberi tahu jika ada ulangan dadakan,
apalagi memberi tahu soal-soal ulangan. Ibu Ani sangat adil dan selalu
memperlakukan Sania layaknya murid yang lain. Semua yang terjadi hanyalah
kebetulan.
Hari-hari berlalu, teman teman Sania sering mengabaikan Sania.
Terkadang mereka juga membicarakan Sania tentang hal-hal yang tidak benar. Hari
ini, Ibu Ani mengadakan ulangan dadakan lagi. “aduh! Aku belum belajar sama
sekali. Aku semalam asik menonton televisi. Bagaimana ini!” pikir Sania.
Tetapi, berbeda dengan sebelumnya, murid yang lain sudah mempersiapkan diri dan
sudah belajar dihari sebelumnya. Saat ulangan, mereka semua dapat mengerjakan
soal dengan baik.
Saat dibagikan, teman-temannya mendapat hasil yang memuaskan.
Rata-rata anak murid dikelas itu mendapat nilai diatas 80. Tetapi, saat ulangan
Sania dibagikan, dia satu-satunya murid yang mendapatkan nilai 38. Mengetahui
hal itu, teman teman Sania kaget. Mereka pun akhirnya tahu bahwa Ibu Ani
merupakan guru yang adil dan tidak pernah memberi tahu Sania jika akan diadakan
ulangan dadakan, walaupun Sania adalah anaknya. “Maafkan aku ya Sania,aku sudah
menuduhmu” Aryn mengungkapkan. “aku juga. Seharusnya aku memberikan kamu
kesempatan untuk menjelaskan” kata Lisa “Iya, maafkan aku juga ya, aku harusnya
percaya denganmu” kata Bob. Teman-temannya yang lainpun ikut meminta
maaf. “Iya tidak apa apa, sebenarnya waktu itu kebetulan saja aku membaca buku
pengetahuan IPA, aku juga sempat kaget waktu tahu ada ulangan dadakan” kata
Sania.
Sejak saat itu Sania berteman lagi dengan teman-temannya. Mereka
pun kadang belajar bersama dirumah Sania. Mereka juga berjanji tidak akan
berprasangka buruk lagi terhadap orang lain. Teman temannya sekarang sudah tahu
bahwa Ibu Ani adalah guru yang adil dan tidak pernah membedakan antara anaknya
dengan murid-murid yang lain.
Nama
: Raysa Allana S.
Kelas
: X MIA 2
BOLOS
Adzan Maghrib pun berkumandang. Fikri segera melaksanakan sholat
maghrib berjamaah bersama Ibunya. Setelah melaksanaka sholat maghrib ia meminta
doa kepada Allah agar dia kelak saat dewasa nanti menjadi orang shaleh dan
menjadi orang yang sukses. Dia juga tidak lupa untuk mendoakan ayahnya yang
telah meinggal saat Fikri masih kecil. Karena sejak saat itu Ibunya Fikri
menjadi tulang punggung dengan bekerja sebagai Karyawan swasta di sebuah
perusahaan ternama.
Keesokan harinya, Fikri dan teman – temannya berjanji untuk
bermain sepak bola di lapangan depan perumahan mereka. “Ibu, Fikri izin bermain
sepak bola dulu ya bu?.” Izin Fikri kepada ibunya. “Iya, kamu boleh bermain
sepak bola asalkan, sebelum maghrib sudah sampai di rumah.” Jawab ibu kepada
Fikri. “Iya, Fikri janji bu.” sahut Fikri kepada ibunya. Fikri pun langsung
pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai sepedanya menyusuri jalan perumahan
yang basah karena hujan baru saja mengguyur tempat itu.
Saat tiba di lapangan ternyata teman-teman Fikri sudah menunggunya
sejak tadi. ‘’Itu dia si Fikri.” Kata Badu sambil menunjuk ke arah Fikri. “Oh,
iya itu dia baru datang.” Kata Doni sambil melihat ke arah Fikri. Fikri melihat
teman-temannya dari kejauhan, Fikri berpikir pasti teman-temannya tak sabar
untuk bermain bola bersama dia. “Maaf, aku telat sudah membuat kalian menunggu
lama..” Kata Fikri minta maaf kepada temannya. “Iya Fik, tidak apa-apa lagipula
kita tidak buru-buru mau bermain sepak bola.” Sahut Badu kepada Fikri. “Iya,
benar kata Badu.” Sahut Doni. “ Jadi kan kita bermain sepak bola?” tanya Fikri
kepada teman-temannya. “Jadi, ayo kita bermain sepak bola!” seru Doni kepada
teman-temannya. Permainan pun berlansung dengan seru. Tiba-tiba Doni tidak
sengaja menyenggol kaki kanan Fikri sehingga dia terjatuh. “Kamu tidak apa –
apa kan Fikri?” tanya doni sambil membantu Fikri untuk berdiri. “Ng..Nggak
apa-apa.” Jawab Fikri sambil menahan rasa sakit di kaki kanannya. “Sudah lebih
baik kita berhenti saja bermain bolanya.” Kata Badu kepada teman-temannya. “Fik,
bagaimana kalau aku mengantar kamu pulang?.” tanya Doni kepada Fikri. “Iya,
boleh” jawab Fikri kepada Doni. Akhirnya permainan mereka pun selesai. Fikri
diantar pulang oleh Doni karena kaki kanan Fikri yang tidak bisa mengendarai
sepeda sedangkan Badu pulang sendiri ke rumahnya.
Sesampai tiba di depan rumah Fikri, dia langsung berterima kasih
kepada Doni karena Doni telah mengantarkan Fikri ke rumahnya. “Don, maaf sudah
membuat kamu repot mengantarkan aku ke rumah.” Permintaan maaf Fikri kepada
Doni. “tidak apa – apa Fik lagipula kan aku sudah membuat kaki kanan kamu
terluka tadi saat bermain sepak bola seharusnya aku yang minta maaf bukan
kamu.” Jawab Doni kepada Fikri. “Iya aku sudah maafin kamu kok, terima kasih
Fik sudah antar aku ke rumah.” Sahut Fikri. “Iya, sudah ya Fik aku mau pulang
ke rumah dulu nanti dimarahi oleh Ibu kalau pulang setelah maghrib.” Pamitnya
kepada Fikri. “Iya, hati-hati di jalan. “ Sahutnya
Fikri pun masuk rumah sambil menahan rasa sakit pada kaki
kanannya. “Assalamualaikum bu, Fikri pulang.” Salamnya sambil membuka pintu
rumah. “Wallaikumsalam, akhirnya kamu pulang juga ibu sudah siapkan makanan
buat makan malam.” Jawab Ibu kepada Fikri. “I..iya bu.” Kata fikri sambil
menahan rasa sakit pada kakinya. “Kaki kamu kenapa Fik?” tanya Ibu kepada
Fikri. “Iya bu ini tadi Doni tidak sengaja menyenggol kaki Fikri sampai aku
terjatuh.” Jawab Fikri kepada Ibunya. “Oh, ya sudah sana mandi setelah itu
obati luka yang ada pada kakimu.” Jawab Ibu kepada Fikri. “Baik bu.” Sahut
Fikri kepada ibunya.
Setelah Fikri melaksanakan Sholat maghrib ia pun langsung bergegas
menuju ke ruang makan dan menyantap makan malam itu. “ Fik, bagaimana masakan
ibu enak tidak?.” Tanya ibu kepada Fikri. “Alhamdulillah, enak bu.” jawabnya.
“Oh iya Fik ibu punya hadiah buat kamu.” Kata ibu. “Hadiah apa bu?” tanya Fikri
kepada ibunya. Ibunya segera mengeluarkan sebungkus kotak yang masih terbungkus
dengan rapih. “Ini ibu membelikan kamu sebuah ponsel kebetulan ibu dapet rejeki
hari ini.” kata Ibu sambil memberikan ponsel kepada Fikri. “Terima kasih bu,
Fikri berjanji setelah dibelikan ponsel Fikri akan lebih giat lagi dalam
belajar.” Sahutnya. “Bagus Fikri Ibu suka kalau kamu akan lebih giat lagi
setelah kamu diberikan ponsel baru.
Keesokan harinya saat Fikri tiba di sekolah, Kelas sudah mulai
rame tidak seperti biasanya. Suasana kelas bercampur aduk ada yang sedang
mengobrol dan ada pula yang sedang bermain ponsel dengan asiknya. “Hai Fikri.”
Panggil Rio kepada Fikri teman sebangkunya. Fikri pun lansung duduk disebelah
Rio. Bel masuk pun telah berbunyi dan pelajaran pun akan dimulai. Pelajaran
pertama yaitu kimia oleh Bapak Widi. Beliau pun masuk lalu menyuruh ketua kelas
untuk memimpin doa. Saat pelajaran dimulai Rio hanya fokus kepada ponselnya
saja. “Rio,sstt Rio udah berhenti main ponselnya.” tegur Fikri kepada Rio
dengan nada pelan. “Kenapa?, tanggung ini lagi seru mainnya.” Jawab Rio. “Nanti
kamu kena marah sama pak guru.” Tegur Fikri kepada Rio. Ternyata diam-diam Pak
Widi memperhatikan mereka yang sedang berbisik-bisik itu. “Fikri dan Rio apa
yang sedang kalian bicarakan? Dari tadi kalian hanya berbicara saja.” tegur Pak
Widi kepada mereka berdua. “Nggh ini pak si Rio.. si Rio..” jawab Fikri dengan
rag-ragu. “Ada apa dengan Rio, Fikri?” potongnya. “Si Fikri dari tadi tidak
memperhatikan selama Bapak menjelaskan tadi.” jawab Fikri. “Apa benar Rio kamu
tidak memperhatikan pada saat Bapak menjelaskan di papan tulis tadi?” tanya Pak
Widi kepada Rio. “I..iya pak.” jawab Rio dengan terbata-terbata. Tanpa pikir
panjang Pak Widi segera bergegas menuju tempat duduk mereka berdua. “Coba
keluarkan ponselmu.” Tegur Pak Widi kepada Rio dengan nada marah. “B.. Baik ini
pak.” sahutnya Rio sambil megeluarkan ponsel dan memberinya kepada Pak Widi.
“Pasti ponsel ini yang membuat kamu tidak memperhatikan Bapak tadi, benar
bukan?” tanya Pak Widi, “Iya pak.” jawabnya dengan lesu dan menahan malu.
“Mulai hari ini Bapak akan memegang sementara ponsel ini kalau kamu ingin
ponsel ini kembali, temui Bapak bersama orang tua kamu besok di ruang guru.”
kata Pak Widi dengan tegas. Pak Widi pun langsung melanjutkan pelajaran hingga
bel istirahat berbunyi
Bel istirahat pun berbunyi, Pelajaran Pak Widi pun selesai. Semua
siswa keluar kelas untuk menuju ke kantin. Tapi tidak dengan Rio dia hanya
tertunduk lesu dan lemas mungkin karena ponsel dia disita oleh Pak Widi. “Kamu
kenapa Rio dari tadi kok lemas?” tanya Fikri. “Iya, aku malu kalau sampai besok
orang tua aku harus menghadap Pak Widi apalagi masalahnya tentang ponsel tadi.”
jawab Rio dengan nada agak kesal. “Oh, soal tadi lagian kamu kenapa tidak mau
dengar nasihat aku tadi jadi ponsel kamu disita.” jawab Fikri kepada Rio. “Tadi
itu aku sedang keasikan kirim pesan sama teman lama aku.” jawab Rio. “Ya sudah
kamu bilang aja ke orang tua kamu tentang masalah ini secara baik-baik siapa
tahu orang tua kamu bisa mengerti maksud kamu tanpa harus marah-marah.” sahut
Fikri. “Tidak tahu lah , aku pusing mikirin soal masalah ini.” jawab Rio sambil
meninggalkan Fikri. Bel masuk pun berbunyi, selama pelajaran berlangsung tampak
dari muka Rio yang murung karena memikirkan masalah yang tadi bagaimana dia
harus memberitahu masalah itu kepada orang tuanya karena kedua orang tua Rio
bekerja di luar negeri bahkan saat pengambilan hasil nilai semester lalu pun di
wakilkan oleh bibinya. Bel pulang pun berbunyi Fikri lansung bergegas pulang ke
rumahnya.
Keesokan harinya, bel masuk pun sudah berbunyi tetapi Rio belum
datang ke sekolah. tidak ada yang tahu kabar Rio apakah dia sakit atau izin
yang jelas Rio tidak datang ke sekolah hari ini. Saat bel istirahat pun Pak
Widi juga menanyakan kepada teman – teman di kelas mengapa Rio tidak datang
sekolah padahal hari ini dia mempunyai janji untuk membawa orang tua Rio ke
sekolah. Akhirnya Fikri memutuskan untuk ke rumah Rio seusai pulang sekolah
bersama Badu dan Doni.
Bel pulang pun telah berbunyi. Fikri,Badu dan Doni berniat untuk
mengunjungi rumah Rio. Saat tiba di rumah Rio, Fikri pun langsung menekan bel
yang ada di depan pagar ruamah Rio. “Assalamualaikum, Rio!” panggil Fikri dengan
nada keras. “Wallaikumsalam, eh ada Fikri,Badu dan Doni. Ayo, silakan masuk!”
ajaknya Bibi kepada mereka. “Terima kasih bi, tidak usah masuk takut ngerepotin
bibi.” jawab Badu kepada Bibi. “Sebenarnya ke datangan kami kesini untuk
menanyakan mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini, memang mengapa Rio
tidak masuk ke sekolah hari ini?” tanya Doni kepada Bibi. “Lho, bukannya hari
ini Rio datang ke sekolah?” jawab Bibi dengan kaget. “Tidak bi, seharian ini
Rio tidak datang ke sekolah padahal Pak Widi menayakan kabar Rio.” jawab Fikri.
“Tadi pagi Rio sudah izin kepada bibi sambil mengenakan seragam sekolah.” jawab
Bibi. “Tapi kami tidak melihat Rio, bi padahal Rio sudah punya janji untuk
menghadap Pak Widi bersama orang tua.” jawab Fikri. “Rio, juga tidak cerita
kepada bibi kalau hari ini dia dipanggil untuk menghadapa Pak Widi bersama
orang tua, memang ada apa dengan Rio?” tanya Bibi kepada mereka. “Begini bi,
pada saat pelajaran Pak Widi, Rio tidak memperhatikan dia hanya asik dengan
ponselnya sehinnga Rio ditegur dan dimarahi oleh Pak Widi serta beliau menyita
ponsel milik Rio karena itu ponsel milik akan di kembalikan apabila orng tuanya
telah menghadap Pak Widi.” Kata Fikri menjelaskan masalah yang terjadi. “Oh
jadi begitu, itu si Rio baru pulang.” jawab Bibi sambil menujuk ke arah Rio.
“Maaf bi, Rio tidak meberitahukan masalah ini kepada bibi.” kata Rio sambil
tertunduk lesu. “Iya tidak apa – apa lain kali kalau ada masalah seperti ini
langsung bilang ke bibi.” Nasihat Bibi kepada Rio. “Iya, benar kata Bibi, Rio.”
sahut Badu. “Jadi besok kamu masuk ke sekolah kan?” tanya Fikri. “Iya besok aku
akan pergi ke sekolah” jawab Rio. “Bi, kami izin pamit pulang dulu.
Assalamualaikum.” pamitnya Doni kepada Bibi “Iya, wallaikumsalam hati-hati di
jalan. Mereka pun bertiga bergegas ke rumah masing – masing sedangkan Bibi
tetap melaporkan masalah ini kepada kedua orang tua Rio.
Esok paginya. Bibi Rio yang menghadap Pak Widi karena kedua orang
tua Rio tidak bisa datang ke sekolah karena mereka masih ada urusan pekerjaan
di luar negeri. Pak
Widi pun mengembalikan ponsel milik Rio dengan syarat dia harus
berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dan Rio pun menerima janji
itu.
Nama ; Farsya Putri K.F
Komentar
Posting Komentar