KUMPULAN CERPEN X MIPA 2



KUMPULAN CERPEN X MIPA 2
                   
Petaka Iri Hati
Pada suatu hari,hiduplah seekor bunglon di hutan.Ia adalah hewan yang baik dan juga tidak pendendam.Ia sering membantu penghuni hutan dan sekitarnya.Ia bernama tatang.namun,dibalik kebaikanya bukan berarti ia tidak mempunyai musuh.Johny,Sang kadal yang selalu mencaci dan menghina tatang lantaran iri padanya.namun,karma selalu datang pada waktunya.
Keesokan harinya,seluruh penghuni hutan telah pergi meninggalkan habitatnya untuk mencari tempat berlindung.Isu yang tersebar bahwa kelompok pemburu akan datang pada siang hari.
Siang hari pun tiba,Tatang dan Johny telah membuka kelopak matanya Tanpa mereka mengetahui bahwa siang itu akan datang kelompok pemburu."zzztt" suara panah terdengar.Si Johny ketakutan.Tapi tidak terjadi pada Si Tatang.Ia hanya perlu melanjutkan tidurnya dan menyatu dengan lingkungan yaitu berubah warna.Lalu,Johny sedang ketar ketir dengan Sang Pemburu.Tanpa ia sadari,ia telah diujung batang.Johny pun terjatuh ke dalam lubang.hari pun berlalu.
"Tolong.....tolong" suara yang telah membangunkan Tatang ternyata suara Si Johny.Tanpa berpikir panjang ia langsung menolong Johny."Johny,pegang dengan eratlah tangkai ini!" seru Tatang."baiklah" jawab Johny.setelah kejadian itu berlalu,Johny meminta maaf kepada Tatang atas perbuatnya selama ini.Di akhir cerita,mereka berteman dan saling menolong.
                             SELESAI
Nama : Muhammad Ichsan Yusuf



Nama : Ardhani Priangga
Di suatu kampung ada sebuah pesantren. Pesantren itu dipimpin oleh seorang kiyai yang baik dan bijaksana. Santri-santri yang mengaji di sana sangat banyak, mereka tinggal di kobong-kobong yang telah disediakan. Cerita ini dimulai ketika ada seorang anak dari kampung lain yang disuruh oleh bapaknya agar mengaji di pesantren ini. Anak itu bernama Amirudin. Amirudin adalah anak terakhir dari 8 bersaudara. Dia baik, tapi ketika dia belajar di sekolah dia lama sekali untuk bisa menyerap dan mencerna materi yang diberikan gurunya. Oleh karena itulah nemo memasukannya ke pesantren. “siapa tahu anak saya pinter di bidang agama” kata nemo.
Satu hari kemudian, tepatnya pada waktu mengaji ashar. Amir dipanggil oleh kiyai yang sedang mengajar para santri. “santri baru silakan maju ke depan!”
Amirudin pun maju ke depan dengan wajah yang ketakutan. “ada apa kiyai?”
“kamu ini santri baru, coba perkenalkan diri di sini!”
“baik kiyai” jawab Amir dengan sedikit rasa takut.
“Nama, Amirudin…”
“ussh…” sahut kiyai. “jangan lihat muka saya, ke sana menghadap santri-santri!”
“ba.. baik kiyai”
“Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…”
“wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…” jawab para santri dengan serentak.
“per… perkenalkan namaku Amirudin,”
“wish… keren banget namanya” cetus salah satu santri.
“terimakasih” ucap Amirudin dengan tersenyum.
“baik… Aku lanjutkan. Aku dari kampung tamiang. Dan Aku biasa dipanggil cimplux”
“Bentar-bentar” ucap seorang santri.
“Nama kamu Amirudin, kok bisa sih dipanggil cimplux? Jauh banget. bener gak kawan?”
“Iya bener jauh banget” bisik para santri dengan pelan.
“Ehem…” raung kiyai.
“Enggak, sebenernya nama itu ada asal-usulnya” sanggah Amirudin
“Asal-usul? Kayak nama tempat aja” kata santri sambil tertawa.
“Ehem.. jadi gini, waktu Aku kecil, kira-kira 3 tahunan lah. Aku suka banget sama makanan yang namanya cimplung (sejenis pisang goreng). Singkat cerita, ketika Aku sedang asyik makan cimplung, tiba-tiba Ibuku memanggilku.
“Amirudin… sini nak”
Aku langsung berlari menuju Ibu. Tapi, sedikit lagi sampai, Aku terjatuh dan terdengar suara “PLUK”. Sponton Ibu tertawa dan menghampiriku. Lalu ibu memukul-mukul pantat kecilku dengan lembut dan berkata “cimpluk, cimpluk…”
“oh… saya tahu, pas kamu jatuh pasti gak pake celana ya?” tebak salah seorang santri
“yap… bener banget. Tapi, kok kamu tahu sih?” Amir menanya balik.
“Ya tahulah, soalnya saya pernah ngalamin pas kelas 4 SD” jawabnya sambil tersenyum lebar.
“wah… hebat kau” sahut santri lain padanya.
“wih… yaiyalah, Borgom gitu loh” ucap dia.
Tapi akibat perkembangan zaman, nama Cimpluk berubah menjadi Cipluk.
“Segitu saja dariku, wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh…”
“wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…” jawab seluruh santri dengan serantak dan dihiasi dengan tepuk tangan.
“ya… terimakasih, siapa tadi panggilannya?” tanya kiyai
“panggil aja Ciplux kiyai” jawab Amirudin dengn tersenyum.
“oh… yah… silakan duduk kembali” perintah kiyai.

Setelah beres ngaji, Ciplux kembali ke kobong. Dia menempati kobong yang bernama “IBNU HAJAR” dimana dia ditemani 4 orang santri lainnya.
“Ciplux, sini bantuin kita berempat” ucap Gondez.
“iya bentar, mau ngapain?”
“Cuciin beras nih!” perintah Gondez.
“baiklah, buat apa ni beras,?” tanya Cipluk.
“ya buat makanlah” sahut Faiz.
“Berhubung kamu santri baru, kamu gak usah patunganlah.” Ucap Borgom.
“Serius nih?”
“ya seriuslah” jawab Izul.
Mereka pun masak dan makan bersma. Malam tiba, mereka ngaji lagi dan setelah selesai, mereka semua tidur.



Pura - pura Bahagia

     Di bangku pojok kelas ini, dududklah seorang anaka bernama Reni. Ia adalah anak yang periang, disaat teman - temannya tertawa, ia yang paling keras tertawa. Tetapi aku perhatikan, tawa nya bukan tawa bahagia melainkan tawa menutupi kesedihannya. Tawany amenghasilkan ekspresi sedih di mukanya. Aku penasaran dengannya, aku ingin mengetahui lebih dalam tentangnya.
     Keesokan harinya, aku datang ke sekolah lebih awal. Dan ternyata, sudah ada Reni disana, di tempat duduknya. Ia sedang menunduk sambil memperhatikan sebuah foto. Tak lama kemudian, aku mendengar suara isakan. Disini hanya ada aku dan Reni, belum bertambah seorangpun temanku. Aku melihat ke arah Reni, ia sedang menangis. Aku coba mendekat dan menanyakan kepadanya. Awalnya ia tidak ingin menceritakannya. Tak masalah bagiku. Tetapiu saat aku ingin kembali ke tempatku, Reni menarik tanganku. Dan ia segera menceritakan masalahnya.
      Masalah yang dialami Reni, belum seberapa dibanding masalahku. Tetapi Reni bisa tertawa. Dari Reni aku tau, bahwa orang yang paling sering tertawa belum tentu jadi yang paling bahagia, dan belum tentu jadi yang tidak punya masalah.

Nama : Shinta Dewi Cahyani


RUMAH BARU
Waktu itu hari Jumat. Entah mengapa ibu dan ayah memutuskan membeli rumah dan pindah di samping rumah yang menurutku seram dengan lingkungan yang gelap.
Aku terdiam melihat lingkungan rumahku. Saat aku pertama membersihkan kamar entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Aku melihat bingkaiku jatuh tanpa ada hal apapun. 
Tak terasa waktu menunjukan pukul 23.00 aku tertidur karena lelah di kamar baruku itu. Tapi saat aku tertidur. Aku mendengar suara gemericik air entah dari mana. Dan semakin menyeramkan saat aku terdiam dan melihat jam sudah pukul 23.55. Terdengar suara lolongan anjing dan diteruskan dengan isak tangis.
Lalu aku terbangun dan kulihat tidak ada siapapun di kamarku dan pada saat yg bersamaan orangtuaku datang dan berbicara bahwa mereka mendengar hal yang sama, sehingga pada ke esokan harinya kami meninggalkan rumah baru tersebut dan berpindah ke rumah paman.

Nama : Bintang Prakasa
Absen : 4
Kelas : X MIA 2
SALAH NURUNIN RESLETING
Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.

Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.

Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.

Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.

“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”

Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.” 

Nama : Faris Rineksa








 Pada hari Minggu yang cerah, Mila sedang melakukan aktivitas pagi yang biasa ia lakukan yaitu menyiram tanamannya. Mila sangat menyukai alam. Dia memelihara bunga mawar, melati, dan anggrek. Setiap pagi Mila tidak pernah absen untuk menyiram tanamannya. Mila duduk di bangku kelas 2 SMP. Ayahnya bekerja di sebuah perusahaan iklan dan ibunya merupakan ibu rumah tangga. Ia mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Rian. Rian duduk di bangku kelas 5 SD. Mila terkadang tidak akur dengan adiknya, seperti kakak beradik pada umumnya.
     Berbanding terbalik dengan kakaknya, Rian merupakan anak yang tidak peduli dengan alam sekitarnya. Selain suka dengan tanaman, Mila cinta binatang. Ia memelihara ikan dan kucing. Kucingnya berwarna putih dan namanya Berry.
     Saat Mila sedang menyiram tanamannya, ia mendengar suara berisik dari luar rumahnya. Ternyata itu Rian, sedang memaki seekor kucing. “Pergi sana! Jangan mencuri yang bukan milikmu!” katanya sambil menendang badan kucing tersebut. “Rian! Stop! Jangan ditendang begitu kasihan dia!” kata Mila menarik lengan Rian. “Jangan ganggu deh kak!” kata Rian kesal, “kucing jelek ini mengambil ikan di dapur, kakak lupa sih, kenapa pintu depan ga di tutup? Masuk deh dia.”  Mila menjawab, “Tapi jangan sampai ditendang begitu dong. Kamu ga lihat badannya kurus begitu?” “Aku tidak peduli,” kata Rian lalu dia bergegas masuk ke rumah. Mila masih sangat kesal, sewaktu dia mau melihat kondisi kucing itu, kucingnya sudah hilang. Lalu dia pergi masuk.
Keesokan harinya, yaitu hari Senin, pukul 6.15 Mila dan Rian sudah siap untuk ke sekolah. Kebetulan sekolah mereka berdekatan dan tidak jauh dari rumahnya. Mila mengingat kejadian kemarin dan langsung melihat Berry. Dia takut Rian bisa saja melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Rian! Jangan pernah kau menyentuh Berry dengan kasar ya! Ikanku juga. Awas sampai iya,” kata Mila pada Rian. “Seperti tidak ada hal lain aja yang bisa kulakukan,” jawab Rian.
Setelah seharian sekolah, Mila sampai di rumah. Mila kaget melihat kucing kurus yang kemarin pagi. Ternyata, ia habis melahirkan dan punya 3 anak. Dia sangat iba melihatnya. Lalu, ia bergegas ke dalam untuk mengambil makanan. Untung, ia masih punya makanan anak kucing karena pernah dititipkan beberapa bulan punya saudaranya. Dia lihat ada Rian di dalam lalu berkata, “Rian, ikut aku keluar.” Mila kaget karena Rian langsung menyetujui. Mereka berdua sampai di tempat kucing-kucing itu. Lalu Mila kaget karena ternyata sudah ada makanan disitu tapi ia tidak lihat tadi. “Itu aku yang kasih,” kata Rian. “Apa?!” Mila terkejut, “kesambet apa Ri?” “Iya kak, aku sadar kok perbuatanku sangat salah. Mereka juga makhluk Tuhan. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” kata Rian. “Wah!!! Bagus deh, akhirnya kamu sadar,” kata Mila senang. Setelah itu, Rian punya tanaman sendiri, ia pun membeli hamster. Tanaman, binatang, itu semua makhluk Tuhan. Kita harus menjaga dan menyayangi mereka selalu.
Nama : Talitha Abel
HATI-HATI…
Karya : Adelia Trinita
Bandung adalah kota yang sejuk dan indah menurut saya. Kota yang dikelilingi banyak pohon ini membuat hati saya merasa tenang. Orang-orang yang ramah dan cuaca yang sejuk sangat sulit saya temukan di kota besar seperti Jakarta. Hal itu lah yang membuat saya ingin terus kembali ke Bandung. Suatu hari, saya dan keluarga saya sedang berwisata ke salah satu tempat di wilayah Lembang,Bandung. Tempat wisata ini adalah tempat untuk berkuda, memancing, dan bermain, namanya adalah De Ranch. Tempat wisata ini sangatlah menarik karena dihiasi bunga dan dedaunan. Di sana juga terdapat danau yang masih sangat jernih. Saya berkuda mengelilingi perkebunan dan hal ini membuat mata saya segar. Saya juga bermain trampoline dan outbond disana. Setelah saya dan keluarga saya menghabiskan waktu di tempat wisata, kami sekeluarga pun memutuskan untuk kembali ke rumah kami setelah sholat maghrib.
Sebelum kami melakukan perjalanan pulang, ayah saya bertanya kepada salah satu petugas di tempat wisata itu. Ayah saya menanyakan jalan manakah yang lebih efektif untuk menuju ke Jakarta. Setelah mengetahui jalan mana yang akan kami lalui, ayah saya ingin memastikannya dengan menggunakan GPS , tetapi seketika GPS tersebut tidak berfungsi. Karena tidak ada cara lain, akhirnya, kami mencoba memulai perjalanan. Setelah berjalan, di pertigaan ayah saya bingung dan memutuskan untuk bertanya ke tukang parkir yang berada di sebelah mobil kami.
Punteun kang, mau nanya, kalo ke Jakarta lewat mana ya? ” tanya ayah saya.
“Belok kiri aja, lewat situ paling satu jam , hati-hati ya semoga selamat sampai tujuan,” ujar tukang parkir.
Lalu, kami pun mengikuti arahan yang diberikan tukang parkir tersebut. Kami melewati jalan yang benar-benar sepi, kami tidak melihat seorang pun di jalan itu dan tidak ada satu kendaraan pun yang melintas di jalan tersebut. Otak kita semua pun dipenuhi banyak pertanyaan aneh, tapi kita tetap menelusuri jalan yang sepi itu.
Setelah berjalan untuk cukup lama, kami menemui sebuah masjid yang besar sekali, bahkan mungkin istana saja kalah megah nya. Masjid tersebut dihiasi banyak lampu, kami pun terkesima dengan nya. Kami pun akhirnya membicarakan masjid indah tersebut yang berada di dekat sebuah danau yang sangat luas. “Duk!” tiba-tiba ada yang memukul keras pintu samping mobil kami, namun, tidak ada apapun disana. Suara yang keras dari pukulan tersebut membuat semua orang di dalam mobil panik. Aneh nya lagi, sejak ada pukulan itu, kaki kami menjadi lebam yaitu biru-biru. Kami semua mulai merasa ada yang tidak beres dari semua ini. Ayah saya pun akhirnya berhenti di tempat yang ada lampu dan tidak terlalu sepi untuk memeriksa keadaan mobil setelah ada pukulan keras. Tapi, tidak ada kerusakan apapun di mobil kami.
Kami pun meneruskan perjalanan dan setelah dipikir-pikir mengapa daritadi kami melewati jalan yang sama. Setelah kita nengok kea rah kana nada kuburan di sepanjang jalan. Aneh nya lagi, setiap mobil yang lewat berwarna putih dan langsung menghilang. Kami semua pun mulai pasrah dan berdoa.
Akhirnya, setelah jalan 4 jam kami bertemu kantor polisi dan disana ayah saya bertanya kembali.
“Maaf pak, mau nanya, ke Jakarta benar lewat sini?” tanya ayah saya.
“Benar pak , hati-hati ya di jalan,” jawab pak polisi.
Kami pun meneruskan perjalanan dan akhirnya kami sudah berada di jalan tol,  kami semua pun merasa lega sudah menemukan jalan yang ramai.
Tepat jam 12 malam  kita semua sampai di rumah. Hal yang baru saja kita alami merupakan pengalaman baru dan pelajaran untuk jangan pergi setelah waktu maghrib. Kami pun meneliti apa yang sebenarnya terjadi, kami bertanya pada orang yang berpengalaman. Ternyata kita semua telah dibawa ke  alam gaib dan kita semua bisa saja meninggal dunia. Kami pun merasa bersyukur masih bisa diberikan kehidupan dan kami menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran hidup.



Ruru si Buku Harian Biru

Hai, kenalkan aku Ruru, sebuah buku harian berwarna biru. Aku milik seorang anak perempuan cantik bernama Tania. Tania anak yang baik dan sangat menyenangkan. Ia juga senang membantu orang lain. Ia pun peduli pada lingkungan di sekitarnya. Aku ingin berbagi kisah tentang Tania kepada kalian. Kisah ini ditulis Tania beberapa hari setelah ia dan aku mengalami kejadian dalam kisah ini.

Tania anak perempuan cantik yang disukai banyak orang karena ia ramah, peduli, dan senang menolong. Suatu ketika ia pernah bercerita kepadaku,
“Hai Ruru, tadi aku melihat sesuatu yang membuatku tertegun. Tadi kebetulan aku melewati sebuah jalan memutar sepulang sekolah, sengaja ku pilih jalan ini karena aku ingin melihat suasana di jalan yang belum pernah aku lewati ini. Di sana aku melihat ada sebuah rumah tangan sangaat kecil, aku pun berfikir siapa ya yang kira-kira tinggal di sana? Sambil terus berjalan dengan perlahan, aku memperhatikan pintu rumah itu. Setelah cukup jauh dari rumah itu aku yang masih penasaran memutuskan menunggu, kebetulan di dekat aku berdiri ada bangku dengan pohon yang menaungina menghindarkan yang duduk disana dari panas matahari. Tak berapa lama, aku melihat seseorang yang wajahnya seperti aku kenal berjalan menuju rumah itu dan masuk ke dalamnya. Setelah kuperhatikan ternyata benar, wajah anak perempuan itu adalah Valita, teman sekelasku. Ruru, aku tidak tahu kenapa Valita masuk ke rumah itu, setahuku ia tidak tinggal di sana. Aku ingin menceritakan tentang Valita, Ruru. Valita orang yang sangat menyenangkan dan juga ramah, dan ia pun selalu berwajah ceria. Aku sangat senang berteman dengannya. Tetapi, aku memang belum pernah menanyakan di mana rumahnya. Aku hanya mendengarnya dari teman-teman yang lain. Kata mereka Valita tinggal di sebuah rumah dekat sekolah. Melihat kejadian hari ini membuatku bingung, Ruru.”
Begitulah sedikit kisah yang ia bagi kepadaku, buku hariannya.

Tania selalu mencurahkan perasaannya padaku setiap hari, aku pun selalu dibanya kemana-mana. Suatu ketika, bebrapa hari setelah kejadian itu, aku dibawa Tania ke sekolah. Ternyata Tania ingin menyelidiki Valita dengan aku sebagai teman dan catatannya.
“Ruru, hari ini tanggal 5 Mei, aku ingin mengikuti Valita sepulang sekolah, kamu temani aku ya…..” Tulis Tania sesampainya ia di sekolah.

Teng… Teng… Teng… Teng… bel pulang sekolah pun berbunyi.
“Ruru, ayo kita mulai penyelidikannya.” Tulis Tania sambil matanya sesekali melihat Valita yang sedang membereskan buku. Tak lama kemudian Valita pun beranjak keluar kelas, diikuti Tania yang berjalan perlahan di belakangnya. Valita berjalan menuju jalan memutar yang waktu itu dilewati Tania. Dibelakangnya, Tania berjalan mengendap endap mengikutinya. Akhirnya sampailah Valita di depan rumah itu, ia pun mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam rumah terdengan balasan, kemudian ia masuk.

“Ruru, kenapa Valita menutup pintunya ya? Apa benar itu rumahnya?” tulis Tania heran sekaligus bingung.
Tania pun mendekati rumah tersebut dan ia tidak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di dalamnya.
“Neng Valita datang kemari lagi? Kayaknya ibu udah ngerepotin neng Valita ya, sampai harus repot repot antar makanan ke sini. Lain kali ibu aja yang ambil ke sekolah eneng.” Terdengar suara ibu-ibu.
“Gak apa-apa bu, Valita senang bisa nganter makanan ke sini sekalian main sama Sita kan udah lama gak ketemu.”
“Ya udah neng main dulu sana Sita, biar ibu bawa makanannya ke belakang. Kita makan sama-sama aja di sini!”
“Makasihhh banyak bu, tapi Lita uadah ada janji sama Mama mau pulang cepat, mau bantuin masak katanya pesenak catering lagi ramai.”
“Oh ya udah neng, makasih juga buat makanannya, besok ibu aja yang ambil makanannya ke sekolah eneng. Ibu titip salam buat Mama ya…”
“Ok bu, nanti Lita sampaikan. Lita pamit dulu ya.. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”

Kreeekk… pintu pun terbuka, mengagetkan Tania yang sedang asyik mendengar pembicaraan itu. Tania pun segera tersadar dan menghampiri Valita dengan tergesa.
“Valita.!! Lita.! Lita.! Tungguin aku dong..” Tania berteriak mamanggil Valita.
“Haah… Haahh… akhirnya kamu berhenti juga. Tadi, kamu ngapain di rumah itu?” kata Tania to the point.
“Lho, bukannya kamu udah tau?” balas Valita sebal.
“Hehehe, maaf Lita aku udah nguping pembicaraan kamu. Habisnya kamu sering banget ke rumah tu dan gak pulang bareng yang lain, jadi aku memutuskan buat ngikutin kamu, ehh gak sengaja denger pembicaraan kamu di rumah itu deh.” Jelas Tania panjang lebar.
“Iya, iya, tenang aja aku udah maafin kamu kok Tan. Tadi itu, aku nganterin makanan pesenan Mamaku buat ibu itu. Ibu itu tadinyapembantu yang bantuin Mamaku ngurus catering, tapi karena anaknya sakita dia jadi berhenti sementara.” Valita menjelaskan.
“Ohh begitu, sekali lagi aku minta maaf ya Lita…”
“Udah…  gak apa apa, kita pulang bareng aja yuk udah sore” ajak Valita.
“Yukk!!” Tania menerima ajakan itu.
Aku menjadi saksi percakapan mereka sore itu. Cdan semua kisah mereka hari ini tertulis di salah satu lembarku, Ruru buku harian biru.

Nama: Azka Muthia Saffana
Absen: 03
Kelas: X MIA 2
Nama : Chiquita Jasmine Tolluka

Semuanya dimulai ketika Farah berjalan pulang dari warung. Tidak ada yang salah sama sekali dengan situasi tersebut. Angin meniup pepohonan hingga menari, menemani perjalanan Farah yang sepi. Sandalnya yang sederhana membuat bunyik ‘takk’ kecil ketika menyentuh aspal. Di tangan Farah, sebuah kantong plastik hitam bersemayam.
Ketidakpastian. Itulah yang dirasakan Farah setiap hari. Ketika ia berjalan, berlari, berbicara, bernapas- semua itu Farah pikirkan. Mungkin pikirannya terlalu padat dan dalam. Farah menggeleng kepalanya. Ia hanya terlalu paranoid dengan setiap hal.
Saat itu juga, sebuah truk melintas dan hampir menabrak Farah.  Darah seakan-akan tertarik dari wajahnya, karena pucat pasi adalah yang tampak seketika. Matanya mebelalak dengan kaget. Kaki Farah gemetar dengan rasa ngeri dan syukur Alhamdulilah.
Namun ada yang salah.
Tangan Farah yang bergetar seiring dengan detak jantungnya yang sangat cepat, terasa kosong. Tekstur halus yang tadinya menekan kulitnya dengan tajam hilang dalam sekejap.
‘ tidak mungkin, ‘ pikir Farah seraya berdoa dalam hati. Matanya melirik ke kanan secara perlahan. Setiap detik terasa seperti satu menit bagi Farah. Pikirannya dipenuhi dengan berkas-berkas harapan yang mulai menyempit dan menggelapi terowongan harapannya. Betul saja. Apa yang dipikirkan Farah benar.
Farah tahu jika seseorang menyelamatkannya. Tidak, bukan seseorang, ‘Sesuatu’ lebih tepatnya. Dilihatnya warna sawo matang yang sangat familiar. Mulus seperti porselen, ditutupi hitam pekat yang merefleksikan cahaya matahari terik. Keringat dingin bercucuran seperti sungai, namun Farah tidak mempedulikan itu. Ia merasa mual dengan pemandangan di depannya. Pada saat itu, hanya satu kalimat yang terlintas di pikiran Farah,
“ Telorku sekilo pecah- “






Lingkungan Baru Doni

            Doni adalah seorang pelajar SMA yang baru saja pindah dari Jakarta ke rumah barunya di daerah Bandung. Pergaulan di sana sangat berbeda dari yang ia rasakan di kota asalnya. Mulai dari permainan hingga bahasa yang dipakai. Doni pun merasa sangat asing karena ia tak mengerti apapun.
            Hampir dua bulan berlalu Doni merasa seperti itu. Di sekolahnya, ia termasuk anak yang pendiam sehingga jarang yang mengajaknya bermain bersama. Padahal, saat di Jakarta, ia memiliki banyak teman bermain. Bahkan, tak jarang temannya berkunjung ke rumahnya untuk bermain. Saat ini, ia hanya memiliki satu teman yang duduk sebangku  dengannya di sekolah. Temannya bernama Irfan. Doni selalu bertanya kepadanya saat ia kesulitan belajar, atau hanya ingin sekadar mengobrol.
            Sampai suatu ketika, Irfan mengajak Doni untuk bermain sepak bola bersama teman-temannya. Pada awalnya, Doni menolak karena ia takut diejek teman-teman Irfan. Akan tetapi, setelah Irfan meyakinkan Doni, akhirnya Doni pun menerim ajakannya. Saat awal bermain, Doni masih merasa canggung bermain dengan teman-teman barunya. Ia mengatakan kepada Irfan bahwa ia masih agak canggung sehingga permainannya tidak begitu bagus. Irfan pun mengatakan kepadanya untuk tidak merasa canggung lagi saat bermain karena teman-temannya itu seumuran dengannya dan bersekolah di sekolah yang sama.
            Sampai pada akhirnya, setelah mereka bermain bersama, Doni tidak menjadi pendiam lagi dan mulai bersosialisasi di sekolahnya. Karena saat di Jakarta ia mengikuti ekskul futsal, ia pun melanjutkannya di sekolah barunya. Mulai saat itu, Doni tidak lagi dikenal sebagai orang yang pendiam dan tidak memiliki teman.

Nama : Darryl Raditya Aribowo
Kelas : X MIA II
No. Absen : 8






Akibat Meninggalkan Salat

        “Gifari, bangun ayo salat subuh” teriak Ibu dari dapur. “Ah males, kemaren aku abis begadang belajar mtk ngantuk mau tidur bentaran sebelum ke sekolah”, ibu yang mendengar teriakan gifari dari dalam kamar pun langsung menghampiri Gifari ke kamarnya “anak ini, cepetan salat! Abis itu mandi siap siap ke sekolah”, “ah iya iya bentar dulu”. Setelah ibu keluar dari kamar, Gifari malah tidur kembali. Setelah tidur lagi sebentar, Gifari langsung bersiap-siap dan turun ke bawah untuk sarapan. “Gif, sudah salat?” “Sudah bu” kata Gifari berbohong. Gifari pun akhirnya berangkat ke sekolah setelah berpamitan kepada ibunya.

        “Gip, lu udah belajar buat mtk?”, “udahlah gue ampe begadang kemaren” “ah iyadah ranking seangkatan mah beda belajar aja ampe begadang gue mah males”, “iyalah belajar dong, gue kan mau jadi dokter.” Akhirnya percakapan di pagi itu pun terhenti karena bel masuk sudah berbunyi.

       Kertas ulangan sudah di meja, nampak terlihat wajah wajah panik murid kelas 10 menatap lembaran yang akan menentukan nilai mereka kecuali satu orang, Gifari, tentu saja dia tidak panik karena dia yakin dia bisa mengerjakan soal tersebut. “Ya, sekarang kalian boleh membalik kertas ujiannya”. Gifari dengan santai membalik lembar jawabannya. “Lah kok, yang keluar bukan perpangkatan?” Gumam Gifari dalam hati, Gifari yang bingung pun bertanya ke teman sebelahnya “eh, kok yang keluar bukan perpangkatan sih? Bukannya kita ulangan perpangkatan?”, “lah, lu ngelantur ya? Orang minggu lalu bu Susi bilang kita ulangan bangun ruang”, “wah parah nih, gue salah belajar”. Gifari yang panik akhirnya menjawab soal seadanya.

       Seminggu kemudian, ulangan matematika pun dibagikan. “Gifari, 30”, murid kelas 10 terkejut mendengar hasil nilai murid peraih nilai tertinggi seangkatan tersebut.  “Wah demi apa? Gifari? 30?” “Udah bosen belajar kali dia” “wah parah gue gak percaya”, Gifari berjalan dengan langkah gontai ke depan kelas untuk mengambil kertas ulangan tersebut. “Gifari, kenapa nilai ulangan kamu kali ini jelek? Apa kamu tidak belajar?”, “saya salah belajar materi bu”seisi kelas tertawa mendengar itu. “Sudah sudah jangan ditertawakan, Gifari ini pelajaran lain kali kalau ibu memberi tahu tentang ulangan kamu dengarkan ya, jangan karena kamu pintar kamu tidak mau mendengarkan” “iya bu”.

       Gifari sampai di rumah dengan wajah yang lesu, ia sedih karena nilainya jelek. “Assalamualaikum”, “Waalaikumsalam kamu kenapa nak? Kok lesu?” Tanya ibu khawatir. “Nilai ulanganku jelek ma aku dapet 30” “oh yaudah gak apa apa nak mungkin Allah punya rencana yang lebih baik” kata ibu menasehati “oh iya ma bener aku selama ini gak salat” “tuhkan yang selama ini ngasih kamu kepintaran tuh Allah loh masa disuruh salat aja susah” “iya ma maafin aku ya aku ninggalin salat terus aku juga bohong mama aku bilangnya aku salat” kata gifari menyesal. “Iya nak ibu maafkan tapi jangan minta maaf sama ibu aja minta maaf sama allah juga ya jangan pernah ninggalin salat lagi” “siap ma”.

       Akhirnya semenjak saat itu Gifari tidak pernah meninggalkan salat lagi.
         
Nama : Farah.S



Balas Budi
Di suatu taman kota, terlihat seorang gadis berusia sekitar 17 tahun sedang duduk termenung di sebuah kursi taman. Gadis itu mengedarkan pandangan ke arah anak-anak balita yang sedang bermain pasir dengan penuh canda tawa. Lalu, dia mengalihkan pandangannya pada orangtua dari anak-anak tersebut yang sedang mengobrol ria sambil memperhatikan anak-anak mereka. Gadis itu berpikir, apakah dirinya pernah merasakan hal yang sama seperti halnya mereka? Bermain dengan penuh riangnya dan ditemani oleh orangtua. Gadis itu menggelengkan kepalanya cepat, lalu menepuk kedua pipinya pelan untuk menyadarkan dirinya.
Gadis bernama Chizu itu turun dari kursi, lalu  berjalan kaki menjauhi taman kota menuju ke rumahnya. Saat gadis itu memsuki rumahnya, keheningan melanda, lampu-lampu tidak menyala, hanya cahaya senja dari luar saja yang menerangi ruang tamu rumahnya. Gadis itu berjalan, lalu duduk di atas sofa panjang yang menhadap ke arah televisi. Dia melihat sebuah kertas kecil di atas meja di depannya yang ditindih sebuah remot. Gadis itu membacanya. Kertas berisi catatan kecil itu berisi tentang pemberitahuan jika sang ibu harus ke rumah sakit untuk melakukan operasi mendadak dan tentang makan malamnya yang sudah tersedia di meja. Gadis itu sudah terbiasa dengan tidak adanya serseorang di rumah. Orangtuanya telah bercerai. Karena itu, gadis itu hanya tinggal bersama sang ibunda. Chizu memaklumi pekerjaan keduanya yang banyak memakan waktu, sehingga membuat mereka terpisah pula.
Dulu, saat Chizu berusia sekitar 7 tahun. Gadis itu selalu mendengar teriakan kedua orangtuanya dari arah ruang tamu, sehingga membuat dirinya mendekam di dalam kamar selam seharian penuh. Namun, lama kelamaan gadis itu mulai muak dengan keluarganya sendiri sehingga ia memutuskan untuk kabur dari rumah saat malam hari melalui jendela kamarnya. Gadis itu, menjadikan rumah sahabat laki-lakinya yang bernama Kai sebagai tempat kaburnya. Gadis itu, berkompromi dengan keluarga Kai pula untuk menyembunyikan dirinya. Keesokan harinya, Chizu tak menyangka jika kedua orangtuanya datang ke rumah Kai untuk mencari dirinya. Namun, dengan mulut lihai orangtua Kai, kedua orangtua Chizu pulang kembali. Chizu dan Kai yang bersembunyi di dalam kamar pun mulai berdiskusi. Dan, Kai menyarankan jika gadis itu segera pulang karena raut wajah orangtua gadis itu terlihat sangat khawatir, urusan di rumah adalah urusan nanti, katanya. Dengan segala pertimbangan, akhirnya, Chizu pulang dengan diantar oleh Kai.
Saat di rumah, Chizu memencet bel rumahnya sendiri, seperti halnya para tamu yang datang ke rumahnya. Settelah beberapa saat, ibunda chizu membuka pintu, lalu terkejut atas kedatangan Chizu. Sang ibunda langsung memeluk erat Chizu, bahkan air mata sang ibu, membasahi kaus yang dipakainya. Gadis itu bingung harus berbuat apa. Dia merasa sangat bersalah karena membuat ibundanya menangis. Lalu, gadis itu melihat ke depannya, ada ayahnya yang melihatnya sambil tersenyum. Setelah sang ibu, melepas pelukan eratnya, ia menyuruh Chizu dan Kai untuk memasuki rumah. Kedua anak kecil berbeda gender tersebut, duduk di sofa panjang yang menghadap ke arah orangtua Chizu yang duduk di sofa panjang pula. Kai memegang erat tangan Chizu. Dan disaat itu pula, orangtua Chizu memutuskan untuk bercerai. Selama persidangan berlangsung Chizu tinggal di rumah Kai, sampai akhirnya ia tinggal bersama sang ibunda dan harus berpisah dengan Kai, sahabatnya itu.
Sudah 10 tahun sejak saat paling suram bagi Chizu, gadis itu tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik, mandiri, cerdas, dan ceria. Karena sejak saat itu, Chizu bertekad untuk mendapatkan perhatian kedua orangtuanya melalui jalan prestasi yang dimilikinya. Karena, jika ia mengikuti lomba atau memenangkan sesuatu, salah satu dari orangtuanya akan datang untuk melihatnya. Dia tidak ingin mendapatkan perhatian orangtuanya dengan cara yang buruk, ia terlalu takut untuk membuat orangtuanya menangis dan seakan menyesal memiliki anak seperti dirinya. Karena itu, dia berjanji akan membuat orangtuanya bahagia baik dunia maupun akhirat, untuk membalas semua kebaikan kedua orangtuanya yang telah merawatnya sejask dalam kandungan sampai sekarang, ini semua adalah balas budi Chizu untuk kedua orangtuanya.

Nama : Fitri Aliyah


 Perjalanan Yang Berharga

Hai, namaku adalah Hope. Aku tinggal di sebuah hutan yang dekat dengan desa kecil . Aku tinggal bersama dengan ke 6 teman- temanku. Mereka adalah Ramo, Soji, Nyno,Raki, Taki dan Jeon. Kami  merupakan anak anak yang selalu memalak dan memaki maki orang yang tinggal di desa. Kami selalu membuat kerusuhan yang ada di desa. Suatu  hari,  Kehidupan kami yang menyenangkan  berubah menjadi kacau saat desa kecil itu diserang. Aku dan teman teman ku berlarian meninggalkan hutan itu. Kami menemukan sebuah gua. Dari luar gua itu nampak sangat menyeramkan. Kami tidak punya pilihan penyerang desa kecil itu menghancurkan hutan dan desa. Aku dan teman-temanku pun  merasa lega,tanpa disadari semua orang telah terlelap termasuk diriku.
Aku terbangun dari tidur lelapku. Aku  merasakan bahwa aku dan teman-temanku telah berpindah tempat. Aku dan teman-temanku tidak lagi sedang tidur di dalam gua. Aku membangunkan teman temanku. Kami sedang berada didalam istana. Istana itu sangat besar. Tiba-tiba kami merasakan hentakan kaki yang mengguncang lantai. Saat kami mencari sumber hentakan itu,kami semua terkejut. Ternyata,kami sedang berada di istana para raksasa. Kami semua ketakutan dan mencoba untuk melarikan diri. Tetapi, raksasa tadi menagkap kami semua. Kami di jadikan tahanan sekaligus pembantu. Jika kami melakukan sebuah kesalah raksasa itu tidak segan-segan melempar kami. Tapi, suatu ketika datanglah raksasa yang baik hati. “hai kalian,tidakkah kalian menyadari apa pentingnya kehidupan?” tanya raksasa itu.
 “Ah,aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan wahai raksasa!”teriak Nyno. Raksasa itu terseyum.
” Bersyukurlah kalian atas setiap nikmat yang diberikan tuhan, hormatilah semua orang.”raksasa itu berbicara sambil berjalan pergi.
“Teman-teman, yang dimaksud raksasa tadi adalah kita harus merubah sikap kita. Dulu, kita hanya meminta uang dan memaki-maki orang didesa. Seharusnya, kita menghormati dan menolong mereka semua.” Jelas Ramo panjang lebar.
Kami semua pun tersadar. Kami menyesali semua yang telah kami perbuat.
“Aku merindukan warga desa.”gumam Raki.
“Ya, aku juga.”jawab Taki.
“Aku merindukan makanan makanan dari desa.”Jeon menambahkan.
“Ya, kita semua merindukan itu.”kata Soji.
“Baiklah teman-teman sebaiknya kita tidur sekarang.”kataku yang sudah mulai mengantuk.
Ketika kami terbangun dari tidur kami. Kami semua sudah kembali di dalam gua tadi. Kami semua menatap satu sama lain. Saat, kami keluar dari gua itu. Semua telah kembali seperti dulu. Tidak ada kebakaran hutan, desa tetap berjalan seperti biasanya.
“Apa yang kita alami sebelumnya?apakah itu hanya sebuah mimpi?” tanya Ramo kepada kami.
“aku tidak tau yang jelas aku bahagia kita semua kembali.”jawabku senang.
Kami semua berlarian menuju desa. Kami meminta maaf kepada semua warga desa. Setelah semua yang kami alami. Kami menjadi lebih bahagia dan bersyukur atas nikmat yang diberikan tuhan.

Nama : Laura Prima Azairin
Absen : 21
Kelas : X MIA 2














Usaha

Disebuah desa terpencila tinggalah seorang remaja bernama Yoga. Remaja berusia 17 tahun itu berbeda dengan remaja pada umumnya dimana dia tidak bisa menikmati kehidupan remajanya layaknya anak seusianya lantaran himpitan ekonomi. Dalam sehari-hari Yoga tidak pernah bermain, tidak pernah membeli jajan, dan hanya menghabiskan waktunya untuk membaca buku serta membantu ibunya.

Meskipun kehidupan Yoga sangat sulit untuk dilalui, namun remaja ini tetap berusaha tegar dan menjalani kehidupannya dengan apa adanya. Ketika dia menyadari kehidupan teman-temannya yang dirasakannya serba kecukupan, Yoga tidak pernah merasa iri, tetapi dia jutru dia menjadikan hal itu sebagai motivasi baginya untuk terus menatap masa depan.

21 Desember 2012 genaplah usia Yoga 18 tahun. Diusianya yang sudah 18 tahun, Yoga masih belum memperlihatkan perubahan berarti dalam hidupnya. Aktivitas sehari-harinya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian, Yoga tetap berpikiran positif dan dia tetap ingin merealisasikan cita-citanya untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Siang-malam Yoga selalu berpikir, dan ia bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkannya hingga pada suatu hari detik-detik perubahan dalam kehidupannya mulai tampak.

Pada pagi hari itu Yoga membuat sebuah karya kerajinan. Karya tersebut akhirnya berhasil diselesaikannya pada petang harinya. Yoga berencana untuk menjual karya kerajinannya itu disebuah pameran yang akan didakan dikota 30 km dari tempat tinggalnya. Info pameran tersebut didapat Yoga dari seorang teman dekatnya kala masih duduk dibangku SMP.

Waktu pameran kerajinan akhirnya tiba, Yoga datang bersama temannya untuk memperkenalkan barang hasil karya ciptanya. Tanpa diduga-duga, ternyata hasil karya kerajinan buatan Yoga berhasil menucri perhatian dewan jui. Dia pun memenangkan kontes tersebut. Yoga mendapat hadiah 5 juta dan uang tersebut dibagikan kepada temannya serta orangtuanya. Sementara sisasnya, 3 juta ia simpan untuk kebutuhan dia sendiri.

Sejak hari itu, Yoga berubah drastis. Ia berhasil menjadi seorang pengrajin yang cukup dikenal. Dan penghasilan dia pun cukup tinggi dari bidang yang digelutinya itu.

Nama:M.Ryan Fachri Addar

Nama : Naila Ramadhanty Arifahputri
“Ditemukan lagi seorang korban mutilasi di daerah Tanah Abang. Korban diduga kehilangan satu matanya. Bagi saksi untuk segera melap-“

Kumatikan TVku. Gagal sudah tugasku menjadi seorang polisi. Menjaga keamanan warga, bukankah itu hal yang mudah? Ya, akan tetapi, penjahat sekarang sudah berkeliaran dimana-mana. Bagaimana bisa kita membasmi mereka semua dalam sekali tangkap? Mereka bukanlah serangga yang langsung mati jika disemprot dengan racun. Bahkan, serangga pun sekarang sudah banyak yang tahan akan racun itu. Gimana manusia? Mereka sangatlah bod-

*dering telpon*

Sunyinya rumahku dihilangkan oleh dering telponku.

“Sean”

Ada perlu apa Sean menelponku semalam ini?

“Hey Sam maaf mengganggu tapi bisakah engkau ke markas? Sekarang.”

Kulangsung bergegas ke markas. Kenapa suara Sean terdengar ketakutan? Apa yang sebenarnya terjadi?

Sesampainya di markas kulangsung bergegas menemui Sean. Ia lalu menyuruhku untuk masuk ke tempat penyelidikan mayat mutilasi.





Kopi dan Kolam
Suatu ketika, hiduplah Kakek dan seorang cucunya yang bernama Adi. Pada suatu hari, Audi pulang dengan langkah gontai. Raut wajahnya menunjukan dia sedang dirundung banyak masalah.
Tanpa membuang waktu, Adi menceritakan semua masalah yang menimpanya. Kakek yang bijak hanya mendengarkannya dengan saksama. Ia lalu mengambil sesendok kopi, dan teko untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya!” ujar Kakek.
“Pahit. Pahit sekali, Kek.” jawab Adi, sambil meludah kesamping.
Kakek tersenyum. Ia mengajak Adi, untuk berjalan ke tepi kolam dekat tempat tinggal mereka. Mereka berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi kolam berlariran tenang itu.
Kakek lalu kembali menaburkan sesendok kopi, ke dalam kolam itu. Dengan sepotong kayu diaduk-aduklah aliran air itu sehingga terciptalah riak air, mengusik ketenangan kolam itu.
“Coba, ambil air dari kolam ini, dan minumlah!” seru Kakek sembari memberikan gelas
 Saat Audi selesai meneguk air itu, Kakek bertanya kembali, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar, Kek” sahut Adi.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya Kakek lagi.
“Tidak,” jawab sang cucu.
Dengan bijak, Kakek itu menepuk-nepuk punggung Adi. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping kolam itu.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya sesendok kopi, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama, dan memang selalu sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, tergantung dari wadah yang menaunginya. Kepahitan itu, itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
“Hatimu, adalah wadah itu.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Adi merasa terkesan akan nasihat Kakeknya, mulai saat itu ia mencoba melapangkan hatinya saat menghadapi masalah.




SI BERUANG PENYENDIRI

            Pada suatu hari hiduplah seekor beruang. Beruang ini suka menyendiri sebab berdasarkan pemikirannya ia tak perlu bersosialisasi karena itu hanya akan merepotkan dan membuang buang waktunya. Meskipun selalu menyendiri ia tak pernah merasa kesepian sebab jika dia merasa bosan dia bisa berhibernasi untuk menghabiskan waktu. Sewaktu waktu ada beruang lain yang menghampirinya untuk mengajak bermain,namun ia menolak ajakan tersebut,tapi beruang yang lain memaksanya untuk bermain lalu Si Beruang Membentak beruang yang lainnya dan bertingkah menyeramkan.Ia melakukan itu agar ia dijauhi oleh yang lain sehingga ia bisa melanjutkan hidupnya yag selalu menyendiri.Pada akhirnya rencana nya berhasil beruang yang lain pun menjahuinya selain menjauhinya beruang yag lain merasa takut kepadanya,tapi pada saat yang bersamaan Si Beruang tidak merasa bersalah karena menurutnya apa yang dilakukannya selama ini dianggapnya benar.
           
Suatu saat Si Beruang tertimpa masalah dan masalah tersebut adalah suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan seorang diri bagaimanapun caranya. Ia pun sadar kalau ia tak bisa menyelesaikan masalah tersebut dan ia juga sadar bahwa dirinya  membutuhkan pertolongan dari pertolongan dari beruang yang lain.Akhirnya ia pergi ke tempat di mana beruang yang lainnya berada sesampainya ia disana,dirinya tidak tahu bagaimana cara meminta pertolongan kepada yang lain dengan benar karena selama hidupnya ia tak biasa meminta pertolongan pada yang lain apalagi berbicara pada yang lain .

Si Beruang bingung harus minta tolong kepada siapa dan sesaat ada beruang lain yang pernah ke rumahnya yang mengajaknya bermain pada saat itu ia pun menghampirinya dan langsung meminta tolong kepadanya,namun permintaan tolongnya ditolak karena beruang itu masih merasa takut kepadanya pada akhirnya beruang itu kabur darinya tanpa berkata apapun.Si Beruang pun sadar kalau yang ia lakukan terhadap yang lainnya itu salah.Lalu ia bertanya kepada dirinya sendiri “Kenapa semuanya berakhir seperti ini?”Si Beruang pun menyesal sambil berkata “Mengapa aku melakukan semua ini?”.Lalu ia kembali kerumahnya, sesampai nya dirumah ia langsung masuk ke kamar di kamarnya ia merenungkan apa yang selama ini ia lakukan sambil meneteskan air matanya ia pun bergumam “Memang benar aku ingin hidup sendiri tapi bukan seperti ini yang aku inginkan dan aku juga yakin kalau yang aku inginkan itu bukanlah seperti memahami dan akrab satu sama lain.Aku tidak ingin dimengerti hanya saja aku ingin mengerti semuanya karena aku takut terhadap apa yang tidak dimengerti olehku dan aku ingin memahami kenapa aku melakukan ini semua?Aku tahu aku ini egois tapi aku hanya menginginkan kehidupan yang damai dan tentram.”Tapi Si Beruang sadar bahwa semua ini adalah salahnya jadi ia harus menanggung apa yang ia perbuat,kemudian ia menghapus air matanya lalu berkata dengan tegas “Aku pasti bisa mendapatkan kehidupan yang damai dan tentram seperti yang kuinginkan dan aku tak akan menyerah sebelum berhasil mewujudkannya.

SYAUQI ZAIDAN TUHFAH

























Rahasia
Jendela-jendela besar. Sofa kulit empuk berwarna hitam. Kertas dinding kamar dengan motif gelap. Ranjang besar empuk tempat bersembunyi dibawah selimut. Aku menyukai kamarku, apalagi jendela-jendela besar yang dapat membuatku melihat suasana luar.
Sekarang ini, senja dikalahkan oleh pasukan awan gelap yang tampak menutupi langit cerah. Awan gelap itu menambah kesan suram dikamarku, dan entah kenapa aku menyukainya. Hujan rintik-rintik juga tidak kalah menyemarakkan suasana, membuatku terduduk nyaman di karpet bulu yang melapisi lantai kayu kamarku.
Aku terduduk didepan jendela, menekuk lututku dan memeluknya. Orang-orang ramai berlalu lalang, banyak anak kecil yang tertawa bahagia dibawah siraman air hujan, tak memperdulikan sinar kilat yang turut menghiasi hujan tersebut. Aku tersenyum kecil, melihat anak-anak tersebut dapat tersenyum senang tanpa rasa khawatir atau cemas akan sesuatu yang menyelimuti mereka. Dapat tersenyum tanpa maksud tertentu. Ah, ya. Aku tak mau memikirkan itu lagi.
Andai saja aku bisa menjadi seperti mereka. Tertawa bahagia dengan teman-teman, tidak merasa sedikitpun takut dengan kata-kata marahan yang akan menyambut mereka dari orangtua mereka yang menunggu dirumah.
“Nona, Tuan dan Nyonya sudah menunggu dibawah untuk makan malam.”
Suara lembut milik salah satu pembantu rumahku membuatku bangkit, sebelum akhirnya melangkahkan kakiku keluar dari satu-satunya ruangan favoritku di rumah ini.
Rumahku tampak seperti istana, kata orang-orang. Berdiri megah diantara rumah-rumah menengah yang berada di lingkup kota Jakarta, di jaga dengan pengamanan ketat dari bodyguard-bodyguard terlatih yang entah didapatkan Ayah-ku darimana. Aku juga tak mengerti. Meskipun rumah ini tampak hangat dari luar, mereka tidak tahu bagaimana rasanya didalam, bukan? Rumah ini kosong—tentu tidak dalam arti yang sebenarnya. Rumah ini penuh kerinduan, penuh kesepian.
Ayahku adalah tipe seseorang yang maniak kerja, rela mengorbankan apapun demi harta dan tahta. Ayahku bahkan tak terlalu peduli denganku dan keluarganya yang lain. Ayahku keras, tegas, dan dingin. Apapun yang Ayah-ku lakukan, aku tidak suka dengan sikap Ayahku. Ia mengenaskan, telah dibutakan oleh candu maut yang disebabkan oleh uang, uang, dan uang. Apalagi yang ia cari? Apakah statusnya sebagai kepala sebuah keluarga kaya raya belum cukup mempuaskannya? Psh.
Ibuku. Beda lagi. Ia seorang perfeksionis, meskipun karakternya bertolak belakang dengan Ayahku. Ia lembut, baik hati, dan tetap tegas. Ia dilahirkan di sebuah keluarga yang berada, meskipun tak sekaya keluarga Ayahku. Ia sudah merasakan turun dan naiknya kehidupan, bahkan putarannya. Tidak seperti Ayahku, menurutku Ibu lebih berpengalaman dengan hidupnya Ia tahu apa tujuannya untuk hidup, ia tahu apa yang ia cari, dan ia akan tahu apabila ia sudah mendapatkannya. Ibuku tidak gila dengan uang, dan setidaknya ia satu-satunya orang yang kutahu sangat menyayangiku.
Selain aku, Ibuku, dan Ayahku, masih ada saudara-saudaraku. Seorang Kakak yang tidak akan pernah menjalankan tugasnya sebagai Kakak yang baik, dan seorang adik yang masih terlalu kecil untuk bisa menjadi penopang hidupku. Keduanya berjenis kelamin lelaki, dan pasti Ayah akan menuntut salah satu dari mereka untuk menjadi penerus tunggal perusahaannya. Aku tak perduli. Aku memiliki impianku sendiri untuk membuat kebahagiaan pada orang lain—cukup aku yang terus merasakan gelapnya hidup, biarkan orang lain tinggal dalam gelimang cahaya yang menyenangkan. Aku tak mau orang lain menderita sepertiku, dilahirkan di keluarga kerajaan namun terkurung dalam kesedihan. Rasanya, sama seperti kebahagiaanmu diserap perlahan oleh Dementor-Dementor yang terdapat di Azkaban.
-
Aku tidak tahu ada apa dengan keluargaku hari ini. Yang jelas, di mataku mereka tampak janggal. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang jelas sesuatu yang buruk sedang berlangsung.
Setelah pulang sekolah, seperti biasa—aku langsung melaju pulang kearah rumahku. Tidak seperti kebanyakan teman-temanku yang berkumpul dan membicarakan sesuatu di kantin, pinggir sisi lapangan, atau kafe sekolah, supirku akan langsung menjemputku dan membawaku pulang.
Dan begitu aku sampai dirumah, pandangan tak biasa menyambutku. Ibu terduduk di sofa ruang tengah dengan televisi dihadapannya. Terlihat matanya yang sembab menatap lurus kearah televisi yang menyajikan acara yang sama sekali tidak edukatif—bukan tipe acara tivi keluargaku. Hanya sekali lihat kearahnya, aku tahu pandangan Ibu tampak kosong.
Mengasumsikan Ibu butuh waktunya sendiri, aku mengarahkan kakiku menuju tangga dan menaiki tangga keatas, menuju kamarku.
Cklek.
Begitu kubuka pintu kamarku, sepasang mata tajam langsung terarah padaku. Kakakku. Ryan. Sedang apa ia disini? Ia tidak pernah datang ke kamarku sebelumnya. Jangankan berkunjung ke kamarku, mengobrol saja kami jarang.
“Tiara, lo udah tahu apa yang menimpa kita sekarang?”
“Apa maksud lo? Gue nggak ngerti sekalipun apa yang lo omongin.”
“Ayah… Ayah terlibat kasus korupsi, Ti. Mau ditaruh dimana muka kita sekarang?”
Terperanjat.
Satu kata yang cocok untukku sekarang.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Ayahku dapat melakukan perbuatan sekeji itu. Seharam itu. Tanpa memperdulikan ucapan Ryan, aku berlari keluar kamar dan menuruni tangga, lalu langsung berlari ke sofa ruang tengah.
“I-ibu… Apa yang terjadi pada Ayah sekarang?”
“Oh, sayangku.” Ibu langsung memelukku, lalu kubalas pelukan hangatnya.
“Apakah benar Ayah yang melakukannya?”
“Kita belum tahu, Sayang. Sekarang Ayah sedang diperiksa. Ibu-pun tak tahu bagaimana Ayah-mu dapat melakukan perbuatan hitam seperti itu.”
Selanjutnya, kepalaku terasa kupening. Kakiku terasa mati rasa, seakan-akan kakiku terbuat dari agar-agar favorit Dio, adikku.
Kegelapan.
Itulah yang selanjutnya kurasakan.
-
3 bulan berlalu setelah Ayah yang dinyatakan korupsi. Banyak kejadian yang terjadi. Lebih banyak dari yang kupikirkan dapat kutanggung.
Sampai sebuah malam, peristiwa tak terduga terjadi.
Malam itu, malam yang cukup mengejutkan untukku.
Sekolahku sedang mengadakan pekan ujian, dan mau tak mau aku harus belajar keras. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini pagi, namun lampu di kamarku masih menyala, terang benderang. Rasa haus yang melanda kerongkonganku benar-benar tak dapat ditoleransi lagi.
Begitu kulangkahkan kakiku kebawah,  betapa terkejutnya aku melihat Ibu-ku tersenyum sinis dengan handphone yang masih berada dalam genggamannya.
“Beres, Say. Suamiku memang bodoh. Sangat bodoh. Mau-maunya dia menutupi kasus korupsi yang sebenarnya dilakukan olehku. Sekarang aku bisa tenang, deh. Perlahaan bakal kusingkirkan dia dari hidupku, juga anak-anakku.”
Mulutku terbuka. Mataku melotot, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Jadi, selama ini, kasus itu ternyata Ibu yang melakukannya?
Gelas yang tadi kupegang terjatuh ke lantai, menimbulkan suara pecahan yang menggema kemana-mana. Ibuku menatapku dengan pandangan takut, ia membuka mulutnya untuk berbicara.
“Aku tak perlu penjelasan.”
-
Ayah dibebaskan, Ibu dipenjara. Keadilan ditegakkan begitu tingginya. Semuanya terdengar begitu bahagia sekarang. Orang-orang menganggap akulah pahlawannya—agak konyol, sebenarnya. Dan, kehidupanku jauh lebih ceria sekarang. Perhatian melimpah, dan tak ada lagi kesedihan. Semuanya terasa begitu…
Berwarna.
Nama : Maharani Azzahra

Karya Faiz
Di sebuah laut yang luas ada seekor raja laut. Raja laut itu adalah hiu. Walaupun ia raja laut, dia sangat rakus dan tidak mempedulikan rakyatnya sendiri. Banyak sudah ikan yang jadi korban hiu. Saking bencinya, rakyatnya ingin membunuh hiu tapi caranya selalu gagal karena tubuh dan giginya yang terlalu kuat.
Sang hiu kemudian membuat peraturan, bahwa rakyatnya harus memberi makanan kepada hiu setiap hari. Apabila tidak mematuhi aturannya dia akan membunuh rakyatnya secara sadis di depan seluruh ikan.
Untunglah ada seekor ikan yang beracun ingin menyelamatkan ikan-ikan. Dengan sengaja ia tidak memberi makan kepada hiu. Hiu pun marah dan langsung memakan ikan beracun tersebut. Hiu tak tahu bahwa ikan itu beracun.

Beberapa jam kemudian hiu langsung lemas dan pucat.
“Tolong… tolong … tolong aku!!” Teriak hiu yang kesakitan.
Akhirnya, ikan-ikan bergembira melihat hiu mati tapi mereka juga sedih melihat pahlawannya mereka mati.



Aku
Musim semi tahun 2002, ibuku termenung menatap keluar jendela melihat bunga sakura berguguran. Tangan selembut sutera mengelus perutnya dengan sayang seraya menunggu ayah pulang mengadu nasib. Ibu beranjak dari kursi goyang disudut kamarnya, ia keluar dan duduk di ayunan yang sudah berkarat di halaman yang sudah ada sejak ia masih kecil, tak lama kemudian ayah pulang dengan wajah lelah sebenarnya, namun terlihat sumringah. Tangan kasar sehabis memukul palu itu sekarang memegang tas berwarna biru langit berisi pakaian mungilku dulu, mulut ibu membuat lengkungan keatas menandakan dia bahagia.
Musim semi tahun 2007, ayah menggendongku di pundaknya. Merasa bahwa ia adalah pesawat yang siap menerbanganku hingga angkasa luar. Tak lama berselang ibu memanggil kami dengan aroma pai ayam yang menyambut indera penciuman kami. Ayah menerbangkanku hingga ke dapur ia mendudukkan aku berusia lima tahun di bangku tinggi bertokoh kartun. Setelah itu kami makan bersama dalam suka cita.
Musim gugur tahun 2015, aku berusia tiga belas sudah menduduki sekolah menengah pertama. Daun-daun berguguran terlihat saat ayah melajukan mobil sedannya agak melambat. Aku melihat teman-temanku yang berjalan untuk kesekolah bersama. Sebenarnya aku ingin tapi ayah dan ibu melarangku.
“Ayah boleh aku berangkat dan pulang sekolah bersama teman?” Ucapku.
“Boleh, tapi ketika kau sudah berusia dua puluh, sebelum itu ayah bersedia menjadi supir pribadi putri kecil ayah.”
Aku hanya mengangguk patuh untuk mengiyakan. Walaupun sebenarnya malu terus dicemooh sebagai “anak mami”
Musim gugur tahun 2017, setelah pulang sekolah biasanya aku dan keluargaku berberkumpul diruang tengah, untuk membicarakan kejadian yang kami alami. Saat giiranku akumalah mengeluh tentang semua kejadian yang ada di sekolah. Aku yang sudah mulai beranjak dewasa merasa sedikit angkuh dan berbicara seenakku saja. Tteapi, ayah dan ibu hanya terlihat memaklumi. Aku mengeluh tentang aku yang terus terusan dicemooh “anak mami”, aku mengeluh tentang ayah dan ibu yang selalu membuatku malu saat datang pada pertandingan basketku dengan menyemangatiku dengan berteriak keras, dan aku meminta untuk dibebaskan. Ayahku mengganguk dan ibuku juga namun ada raut khawatr di wajah keduanya yang sudah mulai menua.
Musim panas tahun 2019, semenjak ayah dan ibu memberiku kebebasan aku hidup dengan “liar” membolos saat les, kekantin saat jam pelajaran, keluar rumah tanpa izin bahkan pulang dai tempat berkumpulku dengan teman-teman hingga malam. Reputasiku yang baik tercoreng dengan puluhan catatan merah. Ayah sempat memarahiku namun aku bersikap acuh, aku bahkan sudah tak menganggap mereka lagi. Aku yang tadinya berada dalam sisi terang sekarang ada pada sisi gelap, hanya ada dan kebebasan.
Musim semi tahun 2020, aku menangis. Aku kacau dan aku hancur. Aku seakan ingin mengakhiri hidupku. Aku sudah terjerumus kedalam dunia narkotika dan seks bebas. Aku ingin menumpahkan segala keluh kesahku pada orangtuaku namun aku bahkan sudah tak punya lagi harga diri dihadapan mereka. Entah mengapa penyesalan datang di akhir, jika sejak awal aku mengetahui ini mungkin aku akan mematuhi mereka,walaupun merasa terkekang namun ini ternyata demi kebaikanku. Kebebasan yang kugunakan malah membuatku tersesat karena tak punya lagi petunjuk untuk berjalan.
Musim semi tahun 2021, aku berada jauh dari orangtuaku. Sangat jauh, hingga bahkan mereka hanya dapat mendoakanku. Bersyukur sekali kala mereka masih mendoakanku: anak mereka yang tak tahu diuntung.


Nama : Kyra Diva Anjani (20)



Hadiah terakhir untuk sahabat
Karya Yunia Harmulyati

Seminggu sebelum sahabatku pindah jauh di sana. Selepas pulang sekolah, aku lansung kembali pulang dan bergegas ke taman untuk bermain dengan sahabatku.

“Hei, kemana saja kamu? Dari tadi aku nungguin” Tanya sahabatku yang bernama Arik.  “Hehe, tadi aku makan siang dulu di rumah.” jawabku. “Oh ya sudah, kita main yuk!’ ajaknya. Setelah selesai bermain dengannya, tiba-tiba raut wajah Arik berubah. Aku pun bertanya “Kenapa kamu tiba-tiba sedih?” Arik pun menjawab “Sebenarnya sudah lama ada yang ingin aku sampaikan kepada kamu.” Mendengar kata-kata itu, seketika hatiku gelisah. Aku pun bertanya kembali “Apa yang ingin kamu sampaikan, Rik?” Arik pun menjawab “Seminggu lagi aku akan pindah ke Jepang” dengan rasa ingin tau, aku pun bertanya kembali “Kenapa kamu akan pindah ke Jepang? Apa kamu tidak suka berteman denganku?” Arik pun membalas “Bukan begitu, aku senang berteman denganmu. Kamu itu baik dan lucu. Tapi ayah harus pindah ke Jepang karena alasan pekerjaan. Bunda pun memutuskan kami sekeluarga pindah ke Jepang.” Aku pun tidak bisa berkata-kata lagi, hanya raut wajah sedih yang dapat kutampangkan di depan Arik. Arik pun memegang bahuku dan berkata “Aku juga sedih, karena aku akan meninggalkan kamu. Tapi kita ngak boleh sedih, walau sedih kamu harus tetap tersenyum. Aku janji kalau nanti aku sudah di Jepang, aku akan tetap menjadi teman aku. Aku akan memberi kamu kabar lewat email. Tetapi kamu jangan sedih ya?” Aku pun berusaha untuk tersenyum di depannya dan aku pun mengangguk untuk menyetujuinya. “Janji ya?” kataku sambil memberikan jari kelingking kecilku. “Iya Lynia, aku janji” kata Arik sambil membalas jari kelingking ku. Setelah itu, kami pun pulang ke rumah masing-masing.

Sampai di rumah, aku pun berniat memberikan sebuah hadiah untuk Arik. Aku pun membuka celengan tabunganku. Aku berniat membelikan Arik sebuah jam tangan kesukaannya yang sampai sekarang belum sempat ia beli. Keesokan harinya, setelah pulang sekolah aku pergi ke toko jam. “Permisi, ada yang bisa saya bantu?” Kata pemilik toko jam itu. “Saya ingin membeli jam yang seperti ini.” Jawabku sambil memberi sebuah foto jam tangan kepadanya. “Oh ada, sebentar saya ambilkan.” Jawabnya. Tak lama kemudian sang pemilik toko pun kembali dan membawa sebuah jam tangan dan berkata “Ini jam tangan yang kamu inginkan. Tapi bukannya ini untuk anak laki-laki ya?” aku pun menjawab “Benar pak. Ini untuk sahabat saya.” “Oh begitu, karena ini untuk sahabat kamu, maka saya juga akan memberi harga yang lebih bersahabat.” Aku pun menjawab “Benarkah pak? Terima kasih ya pak!” jawabku senang. Aku pun membayar harga jam tangan itu dan bergegas pulang.

Dua hari kemudian saat aku sedang mengerjakan PR di kamar, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Kubuka pintu kamarku, ternyata itu adalah Arik! Aku pun bergegas menyebunyikan hadiah untuknya yang berada di atas meja belajarku. Ia pun terlihat kebingungan dan bertanya “Kamu kenapa? Kok tiba-tiba duduk di kursi meja belajarmu?” aku pun menjawab “Ti..tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengambil ponselku untuk menanyakan nomor ponselmu.” Dia pun membalas “Bukannya kamu telah memilikinya? Bahkan kita sering saling menelpon bukan?” Aku pun menjawab “Hehehe, siapa tau kamu ganti nomor ponsel. Kan bisa jadi.” Dia pun menjawab dengan tertawa “Hahaha, kamu itu lucu ya. Ya.. kalau aku ganti nomor ponselku, kamu tidak bertanya pun, pasti akan lansung aku beri tahu. Kamu kan satu-satunya sahabatku. Ada-ada saja alasanmu ini” Aku pun kembali menjawab “Hehehe, iya juga ya.”. Setelah itu, kami pun membicarakan hal-hal ringan seputar sekolah.

Hari-hari pun berjalan seperti biasa. Dan hari dimana Arik harus pergi pun datang. Aku pun ikut mengantarkannya sampai bandara. Di bandara, aku pun berkata kepada Arik “Arik, ini ada sebuah kenang-kenangan dariku.” Kataku sambil memberikan sebuah kotak ke tangannya. “Apa ini?” tanyanya “Buka saja.” jawabku. Arik pun membukanya dan terkejut akan isi dari kotak itu. Dan mengucapkan terima kasih padaku. Saat ingin berpamitan, tiba-tiba ada pengumuman tentang pesawa yang akan dinaiki Arik akan segera berangkat. Arik dan keluarganya pun bergegas pergi. Dan tak lupa Arik berkata sambil melambaikan tangan “Terima kasih untuk hadiahnya, Lynia! Aku sangat menyukainya! Aku tidak akan melupakanmu. Sampai bertemu lagi!” Aku pun hanya bisa melambaikan tangan, menahan air mata yang keluar.

Di perjalanan pulang, ibuku mendapat kabar bahwa ada kecelakaan yang menimpa pesawat yang ditumpangi oleh Arik. Yang menyebabkan Arik dan keluarganya tidak selamat. Aku pun tak kuasa menahan air mataku. Aku pun menangis mendengar berita itu. Di saat itulah aku berpisah untuk selama-lamanya dengan Arik dan di saat itulah terdapat hadiah terakhir untuk sahabatku, Arik.


Ulangan Dadakan

Pagi itu, di kelas 6B,murid-murid sudah menunggu kedatangan guru yang akan mengajar di kelas tersebut. Ada yang asik mengobrol,bermain,dan ada yang sibuk membaca. Ibu Ani, guru IPA akhirnya masuk ke kelas. “Selamat pagi, Bu” anak-anak serempak memberi salam. “Pagi anak-anak” jawab Ibu Ani. Setelah diabsen, Ibu Ani member tahu pengumuman yang membuat anak-anak di kelas tersebut panik. “Hari ini,kalian akan ada ulangan dadakan” kata Ibu Ani. Tentu saja murid-murid tidak belajar malam sebelumnya karena mereka tidak tahu akan diadakan ulangan. Ulangan pun dibagikan dan mereka mulai mengerjakan. Ada yang bingung,ada yang berusaha menyontek, dan ada yang hanya pasrah. Tetapi, ada pula satu anak yang bisa mengerjakan ulangan dengan tenang dan baik. Murid itu adalah Sania, anak Ibu Ani. Kebetulan, semalam dia baru saja membeli buku pengetahuan tentang alam yang ia beli dengan tabungannya sendiri. Sania pun dengan semangat membaca buku yang memang sudah dari lama ia inginkan tersebut. Maka itu dia bisa mengerjakan soal dengan baik.
Beberapa hari kemudian, ulangan IPA tersebut dibagikan. Seisi kelas heboh dengan nilai mereka yang dibawah kkm. “ah aku cuma dapat 47 nih. Orangtuaku pasti akan marah” kata Bob. “nilaimu masih lebih baik daripada aku. Nilaiku 35. Aduh gimana ini” kata Ninda. “kalau kamu dapat berapa, Sania?” tanya Aryn. “um,nilaiku juga tidak terlalu bagus kok” Sania berkata sambil agak malu. Tentu saja sebenarnya Sania mendapat nilai tertinggi di kelasnya, tetapi ia tidak mau mengakuinya karena ia tidak enak karena teman-temannya mendapat nilai kurang bagus. “ah masa? Kemarin kok kamu bisa mengerjakan dengan tenang. Sepertinya kamu tidak kesusahan” kata Bob yang tidak percaya dengan kata-kata Sania. “ah enggak kok,kemarin aku juga agak bingung mengerjakannya” jawab Sania. “ah bohong. Mana sini aku mau lihat kertasmu” kata Ninda yang selanjutnya merebut kertas ulangan Sania.
“Apa?! Nilaimu 94!” teriak Ninda. Seisi kelas pun langsung kaget. “tidak mungkin! Inikan ulangannya dadakan” “kok bisa?” “nilainya tinggi sekali!” kata teman teman seisi kelasnya heboh. “Ah! jelas saja dia mendapat nilai bagus,dia kan anak Ibu Ani,pasti dia kemarin sudah diberi tahu kalau akan diadakan ulangan dadakan” Lisa,salah satu temannya berkata. “mungkin saja tuh!” kata Bob. “bahkan mungkin dia sudah diberi tahu soal soalnya, curang sekali!” Aryn berkata. “Tidak kok! Kebetulan saja semalam aku-“ “ah tidak usah banyak alasan!” kata Lisa. Seisi kelas kembali heboh dengan hujatan untuk Sania. Sania yang sudah tidak tahan lari keluar dari kelasnya sambil menangis.
Dia tidak curang sama sekali. Walaupun ibunya seorang guru disekolahnya, ibunya tidak pernah memberi tahu jika ada ulangan dadakan, apalagi memberi tahu soal-soal ulangan. Ibu Ani sangat adil dan selalu memperlakukan Sania layaknya murid yang lain. Semua yang terjadi hanyalah kebetulan.
Hari-hari berlalu, teman teman Sania sering mengabaikan Sania. Terkadang mereka juga membicarakan Sania tentang hal-hal yang tidak benar. Hari ini, Ibu Ani mengadakan ulangan dadakan lagi. “aduh! Aku belum belajar sama sekali. Aku semalam asik menonton televisi. Bagaimana ini!” pikir Sania. Tetapi, berbeda dengan sebelumnya, murid yang lain sudah mempersiapkan diri dan sudah belajar dihari sebelumnya. Saat ulangan, mereka semua dapat mengerjakan soal dengan baik.
Saat dibagikan, teman-temannya mendapat hasil yang memuaskan. Rata-rata anak murid dikelas itu mendapat nilai diatas 80. Tetapi, saat ulangan Sania dibagikan, dia satu-satunya murid yang mendapatkan nilai 38. Mengetahui hal itu,  teman teman Sania kaget. Mereka pun akhirnya tahu bahwa Ibu Ani merupakan guru yang adil dan tidak pernah memberi tahu Sania jika akan diadakan ulangan dadakan, walaupun Sania adalah anaknya. “Maafkan aku ya Sania,aku sudah menuduhmu” Aryn mengungkapkan. “aku juga. Seharusnya aku memberikan kamu kesempatan untuk menjelaskan” kata Lisa “Iya, maafkan aku juga ya, aku harusnya percaya denganmu”  kata Bob. Teman-temannya yang lainpun ikut meminta maaf. “Iya tidak apa apa, sebenarnya waktu itu kebetulan saja aku membaca buku pengetahuan IPA, aku juga sempat kaget waktu tahu ada ulangan dadakan” kata Sania.
Sejak saat itu Sania berteman lagi dengan teman-temannya. Mereka pun kadang belajar bersama dirumah Sania. Mereka juga berjanji tidak akan berprasangka buruk lagi terhadap orang lain. Teman temannya sekarang sudah tahu bahwa Ibu Ani adalah guru yang adil dan tidak pernah membedakan antara anaknya dengan murid-murid yang lain.
   



Nama : Raysa Allana S.
Kelas : X MIA 2
BOLOS
Adzan Maghrib pun berkumandang. Fikri segera melaksanakan sholat maghrib berjamaah bersama Ibunya. Setelah melaksanaka sholat maghrib ia meminta doa kepada Allah agar dia kelak saat dewasa nanti menjadi orang shaleh dan menjadi orang yang sukses. Dia juga tidak lupa untuk mendoakan ayahnya yang telah meinggal saat Fikri masih kecil. Karena sejak saat itu Ibunya Fikri menjadi tulang punggung dengan bekerja sebagai Karyawan swasta di sebuah perusahaan ternama.
Keesokan harinya, Fikri dan teman – temannya berjanji untuk bermain sepak bola di lapangan depan perumahan mereka. “Ibu, Fikri izin bermain sepak bola dulu ya bu?.” Izin Fikri kepada ibunya. “Iya, kamu boleh bermain sepak bola asalkan, sebelum maghrib sudah sampai di rumah.” Jawab ibu kepada Fikri. “Iya, Fikri janji bu.” sahut Fikri kepada ibunya. Fikri pun langsung pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai sepedanya menyusuri jalan perumahan yang basah karena hujan baru saja mengguyur tempat itu.
Saat tiba di lapangan ternyata teman-teman Fikri sudah menunggunya sejak tadi. ‘’Itu dia si Fikri.” Kata Badu sambil menunjuk ke arah Fikri. “Oh, iya itu dia baru datang.” Kata Doni sambil melihat ke arah Fikri. Fikri melihat teman-temannya dari kejauhan, Fikri berpikir pasti teman-temannya tak sabar untuk bermain bola bersama dia. “Maaf, aku telat sudah membuat kalian menunggu lama..” Kata Fikri minta maaf kepada temannya. “Iya Fik, tidak apa-apa lagipula kita tidak buru-buru mau bermain sepak bola.” Sahut Badu kepada Fikri. “Iya, benar kata Badu.” Sahut Doni. “ Jadi kan kita bermain sepak bola?” tanya Fikri kepada teman-temannya. “Jadi, ayo kita bermain sepak bola!” seru Doni kepada teman-temannya. Permainan pun berlansung dengan seru. Tiba-tiba Doni tidak sengaja menyenggol kaki kanan Fikri sehingga dia terjatuh. “Kamu tidak apa – apa kan Fikri?” tanya doni sambil membantu Fikri untuk berdiri. “Ng..Nggak apa-apa.” Jawab Fikri sambil menahan rasa sakit di kaki kanannya. “Sudah lebih baik kita berhenti saja bermain bolanya.” Kata Badu kepada teman-temannya. “Fik, bagaimana kalau aku mengantar kamu pulang?.” tanya Doni kepada Fikri. “Iya, boleh” jawab Fikri kepada Doni. Akhirnya permainan mereka pun selesai. Fikri diantar pulang oleh Doni karena kaki kanan Fikri yang tidak bisa mengendarai sepeda sedangkan Badu pulang sendiri ke rumahnya.
Sesampai tiba di depan rumah Fikri, dia langsung berterima kasih kepada Doni karena Doni telah mengantarkan Fikri ke rumahnya. “Don, maaf sudah membuat kamu repot mengantarkan aku ke rumah.” Permintaan maaf Fikri kepada Doni. “tidak apa – apa Fik lagipula kan aku sudah membuat kaki kanan kamu terluka tadi saat bermain sepak bola seharusnya aku yang minta maaf bukan kamu.” Jawab Doni kepada Fikri. “Iya aku sudah maafin kamu kok, terima kasih Fik sudah antar aku ke rumah.” Sahut Fikri. “Iya, sudah ya Fik aku mau pulang ke rumah dulu nanti dimarahi oleh Ibu kalau pulang setelah maghrib.” Pamitnya kepada Fikri. “Iya, hati-hati di jalan. “ Sahutnya
Fikri pun masuk rumah sambil menahan rasa sakit pada kaki kanannya. “Assalamualaikum bu, Fikri pulang.” Salamnya sambil membuka pintu rumah. “Wallaikumsalam, akhirnya kamu pulang juga ibu sudah siapkan makanan buat makan malam.” Jawab Ibu kepada Fikri. “I..iya bu.” Kata fikri sambil menahan rasa sakit pada kakinya. “Kaki kamu kenapa Fik?” tanya Ibu kepada Fikri. “Iya bu ini tadi Doni tidak sengaja menyenggol kaki Fikri sampai aku terjatuh.” Jawab Fikri kepada Ibunya. “Oh, ya sudah sana mandi setelah itu obati luka yang ada pada kakimu.” Jawab Ibu kepada Fikri. “Baik bu.” Sahut Fikri kepada ibunya.
Setelah Fikri melaksanakan Sholat maghrib ia pun langsung bergegas menuju ke ruang makan dan menyantap makan malam itu. “ Fik, bagaimana masakan ibu enak tidak?.” Tanya ibu kepada Fikri. “Alhamdulillah, enak bu.” jawabnya. “Oh iya Fik ibu punya hadiah buat kamu.” Kata ibu. “Hadiah apa bu?” tanya Fikri kepada ibunya. Ibunya segera mengeluarkan sebungkus kotak yang masih terbungkus dengan rapih. “Ini ibu membelikan kamu sebuah ponsel kebetulan ibu dapet rejeki hari ini.” kata Ibu sambil memberikan ponsel kepada Fikri. “Terima kasih bu, Fikri berjanji setelah dibelikan ponsel Fikri akan lebih giat lagi dalam belajar.” Sahutnya. “Bagus Fikri Ibu suka kalau kamu akan lebih giat lagi setelah kamu diberikan ponsel baru.
Keesokan harinya saat Fikri tiba di sekolah, Kelas sudah mulai rame tidak seperti biasanya. Suasana kelas bercampur aduk ada yang sedang mengobrol dan ada pula yang sedang bermain ponsel dengan asiknya. “Hai Fikri.” Panggil Rio kepada Fikri teman sebangkunya. Fikri pun lansung duduk disebelah Rio. Bel masuk pun telah berbunyi dan pelajaran pun akan dimulai. Pelajaran pertama yaitu kimia oleh Bapak Widi. Beliau pun masuk lalu menyuruh ketua kelas untuk memimpin doa. Saat pelajaran dimulai Rio hanya fokus kepada ponselnya saja. “Rio,sstt Rio udah berhenti main ponselnya.” tegur Fikri kepada Rio dengan nada pelan. “Kenapa?, tanggung ini lagi seru mainnya.” Jawab Rio. “Nanti kamu kena marah sama pak guru.” Tegur Fikri kepada Rio. Ternyata diam-diam Pak Widi memperhatikan mereka yang sedang berbisik-bisik itu. “Fikri dan Rio apa yang sedang kalian bicarakan? Dari tadi kalian hanya berbicara saja.” tegur Pak Widi kepada mereka berdua. “Nggh ini pak si Rio.. si Rio..” jawab Fikri dengan rag-ragu. “Ada apa dengan Rio, Fikri?” potongnya. “Si Fikri dari tadi tidak memperhatikan selama Bapak menjelaskan tadi.” jawab Fikri. “Apa benar Rio kamu tidak memperhatikan pada saat Bapak menjelaskan di papan tulis tadi?” tanya Pak Widi kepada Rio. “I..iya pak.” jawab Rio dengan terbata-terbata. Tanpa pikir panjang Pak Widi segera bergegas menuju tempat duduk mereka berdua. “Coba keluarkan ponselmu.” Tegur Pak Widi kepada Rio dengan nada marah. “B.. Baik ini pak.” sahutnya Rio sambil megeluarkan ponsel dan memberinya kepada Pak Widi. “Pasti ponsel ini yang membuat kamu tidak memperhatikan Bapak tadi, benar bukan?” tanya Pak Widi, “Iya pak.” jawabnya dengan lesu dan menahan malu. “Mulai hari ini Bapak akan memegang sementara ponsel ini kalau kamu ingin ponsel ini kembali, temui Bapak bersama orang tua kamu besok di ruang guru.” kata Pak Widi dengan tegas. Pak Widi pun langsung melanjutkan pelajaran hingga bel istirahat berbunyi
Bel istirahat pun berbunyi, Pelajaran Pak Widi pun selesai. Semua siswa keluar kelas untuk menuju ke kantin. Tapi tidak dengan Rio dia hanya tertunduk lesu dan lemas mungkin karena ponsel dia disita oleh Pak Widi. “Kamu kenapa Rio dari tadi kok lemas?” tanya Fikri. “Iya, aku malu kalau sampai besok orang tua aku harus menghadap Pak Widi apalagi masalahnya tentang ponsel tadi.” jawab Rio dengan nada agak kesal. “Oh, soal tadi lagian kamu kenapa tidak mau dengar nasihat aku tadi jadi ponsel kamu disita.” jawab Fikri kepada Rio. “Tadi itu aku sedang keasikan kirim pesan sama teman lama aku.” jawab Rio. “Ya sudah kamu bilang aja ke orang tua kamu tentang masalah ini secara baik-baik siapa tahu orang tua kamu bisa mengerti maksud kamu tanpa harus marah-marah.” sahut Fikri. “Tidak tahu lah , aku pusing mikirin soal masalah ini.” jawab Rio sambil meninggalkan Fikri. Bel masuk pun berbunyi, selama pelajaran berlangsung tampak dari muka Rio yang murung karena memikirkan masalah yang tadi bagaimana dia harus memberitahu masalah itu kepada orang tuanya karena kedua orang tua Rio bekerja di luar negeri bahkan saat pengambilan hasil nilai semester lalu pun di wakilkan oleh bibinya. Bel pulang pun berbunyi Fikri lansung bergegas pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, bel masuk pun sudah berbunyi tetapi Rio belum datang ke sekolah. tidak ada yang tahu kabar Rio apakah dia sakit atau izin yang jelas Rio tidak datang ke sekolah hari ini. Saat bel istirahat pun Pak Widi juga menanyakan kepada teman – teman di kelas mengapa Rio tidak datang sekolah padahal hari ini dia mempunyai janji untuk membawa orang tua Rio ke sekolah. Akhirnya Fikri memutuskan untuk ke rumah Rio seusai pulang sekolah bersama Badu dan Doni.
Bel pulang pun telah berbunyi. Fikri,Badu dan Doni berniat untuk mengunjungi rumah Rio. Saat tiba di rumah Rio, Fikri pun langsung menekan bel yang ada di depan pagar ruamah Rio. “Assalamualaikum, Rio!” panggil Fikri dengan nada keras. “Wallaikumsalam, eh ada Fikri,Badu dan Doni. Ayo, silakan masuk!” ajaknya Bibi kepada mereka. “Terima kasih bi, tidak usah masuk takut ngerepotin bibi.” jawab Badu kepada Bibi. “Sebenarnya ke datangan kami kesini untuk menanyakan mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini, memang mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini?” tanya Doni kepada Bibi. “Lho, bukannya hari ini Rio datang ke sekolah?” jawab Bibi dengan kaget. “Tidak bi, seharian ini Rio tidak datang ke sekolah padahal Pak Widi menayakan kabar Rio.” jawab Fikri. “Tadi pagi Rio sudah izin kepada bibi sambil mengenakan seragam sekolah.” jawab Bibi. “Tapi kami tidak melihat Rio, bi padahal Rio sudah punya janji untuk menghadap Pak Widi bersama orang tua.” jawab Fikri. “Rio, juga tidak cerita kepada bibi kalau hari ini dia dipanggil untuk menghadapa Pak Widi bersama orang tua, memang ada apa dengan Rio?” tanya Bibi kepada mereka. “Begini bi, pada saat pelajaran Pak Widi, Rio tidak memperhatikan dia hanya asik dengan ponselnya sehinnga Rio ditegur dan dimarahi oleh Pak Widi serta beliau menyita ponsel milik Rio karena itu ponsel milik akan di kembalikan apabila orng tuanya telah menghadap Pak Widi.” Kata Fikri menjelaskan masalah yang terjadi. “Oh jadi begitu, itu si Rio baru pulang.” jawab Bibi sambil menujuk ke arah Rio. “Maaf bi, Rio tidak meberitahukan masalah ini kepada bibi.” kata Rio sambil tertunduk lesu. “Iya tidak apa – apa lain kali kalau ada masalah seperti ini langsung bilang ke bibi.” Nasihat Bibi kepada Rio. “Iya, benar kata Bibi, Rio.” sahut Badu. “Jadi besok kamu masuk ke sekolah kan?” tanya Fikri. “Iya besok aku akan pergi ke sekolah” jawab Rio. “Bi, kami izin pamit pulang dulu. Assalamualaikum.” pamitnya Doni kepada Bibi “Iya, wallaikumsalam hati-hati di jalan. Mereka pun bertiga bergegas ke rumah masing – masing sedangkan Bibi tetap melaporkan masalah ini kepada kedua orang tua Rio.
Esok paginya. Bibi Rio yang menghadap Pak Widi karena kedua orang tua Rio tidak bisa datang ke sekolah karena mereka masih ada urusan pekerjaan di luar negeri. Pak
Widi pun mengembalikan ponsel milik Rio dengan syarat dia harus berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi dan Rio pun menerima janji itu.

Nama ; Farsya Putri K.F

Komentar